Monday, June 29, 2015

[Cerpen] BSH : Sandal Bermagnet

sih atas kerja keras kalian partner BSH. Semoga kita nggak lama-lama dengan grup ini ya, semoga segera bubar semua. *udah kaya Kata Pengantar di buku xD*

Silahkan dicek juga cerpen lainnya :
Nana : Potongan Terakhir
Saa : Hadiah Pelangkah dari Allah


Sandal Bermagnet


Info saldo Rp. XXXX

Kulirik lagi dengan hati yang berat nominal uang yang tertera di laporan SMS. Dikirimkan oleh operator sebuah Bank. Lalu helaan napas panjang keluar begitu saja.

“Kalau dua atau tiga undangan, sih, beli kado dengan biaya sendiri masih bisa diusahain...” lalu aku menggeleng  perlahan, “Nggak, kayaknya nggak mungkin...”

Tanganku kembali menghitung undangan yang ada di tangan. “Sepuluh, meen...”

Aku tidak habis pikir deh. Apa mungkin saat penulisan jodoh di Lauhul Mahfudz jarak mereka berdekatan? Jadi nomor antrian mereka bisa berurutan begitu?

Nanar. Kutatap undangan kesepuluh dengan penuh khidmat. Kuambil pena dan kucoba guratkan kegelisahanku dalam sebuah surat.

Assalamu’alaikum, dear Kak Cici, ini Sholihah... Mungkin kakak udah sering denger curhatanku tentang ditinggal nikah sama temen seangkatan aku, sekarang kakak... ah, sudahlah. Bukan kak, aku bukannya sakit hati sama kakak, aku bahagia, kok. Aku bersenang hati...” Air mataku mengembang di sudut mataku, terasa pedih.

Bohong kalau aku tidak merasakan sakit hati sedikitpun mendengar Kak Cici—kakak senior yang selalu menjadi tempat curhat kegalauanku itu—akan menikah. Ibarat magnet, Kak Cici mempunyai kutub yang berbeda denganku tapi kami saling menarik. Tak jarang juga membuatku bergantung padanya. Hanya pada Kak Cici-lah aku menumpahkan curhatanku.

Beberapa kenangan bersama Kak Cici mencuat di pikiranku.

“Kakak tau kan? Si Muli, temenku itu nggak ada pemberitahuan apa-apa, besoknya ngasih undangan... Mukanya ngeselin banget lagi.”
“Emang gimana mukanya, Azka?”
“Mukanya datar, minta ditimpuk.”
“Wadududuh... Istigfar, Ka... Istigfar....”
“Astagfirullahal ‘adzim... Kakak ngerti kan perasaanku? Kita kan sama-sama menyandang status yang sama.... Aku tau kakak ngerti apa yang aku rasakan...”
“Iya... Udah, minum dulu nih. Ini suara yang ngisi kajian kalah sama suara kamu...” Kak Cici terkikih geli.
Ifa dan Ema yang juga datang di acara seminar tentang jodoh, menonyor badan Azka beramai-ramai. Sambil mendelik tajam mereka berbisik, “Katup mulut kau!”

Tidak akan ada lagi ajakan untuk datang ke seminar tentang jodoh atau kuliah pra-nikah.
Tidak akan ada lagi kata-kata yang menenangkan hati ketika curhat dengannya.
Tidak akan ada lagi waktu Kak Cici untukku. 

Hah... semua tidak akan sama lagi.

Ponselku berdering untuk kesekian kalinya. Setelah deringan ketiga, aku menyadari di seberang telepon pasienku telah menunggu. Ya, akulah si magnet curhat yang tidak pernah kehabisan klien.

Penelpon pertama hari ini dari Ifa dan Ema yang mengajak bertemu dan mengabarkan bahwa undangan Kak Cici datang. 
Kedua, Muli yang bercerita baru saja mendapati dirinya kalau kini tengah mengandung anak pertamanya. 
Ketiga, Rini, si bumil yang curhat tentang keasyikannya menggeluti bisnis kue kering. Keempat, Nia, yang (dengan sangat galau) curhat tentang kekasihnya tidak kunjung melamar. 
Dan yang kelima...

“Serius? Udah lahiran? Subhanallah... Selamat ya, Ran.” Aku tidak berbohong, saat aku bahagia sekali mendengar bahwa salah satu temanku melahirkan anak pertamanya. 
Rani seakan tidak kehabisan tenaga saat menceritakan kronologi kelahiran anaknya.

Seperti yang kubilang tadi, aku sangat gembira mendengar kabar bahagia teman-temanku. Namun tidak jarang hal itu mengguratkan perasaan lain di hati, rasa iri. Perasaan—yang sebenarnya—kutanggung sejak aku menyandang gelar “Si Magnet Curhat”.

Memang, tugas magnet curhat sebenarnya tidak sulit, hanya mendengarkan—sesekali merespon—apa yang sedang diutarakan lawan bicara. Namun mau tidak mau konsekuensinya harus diterima juga. Yaitu, terobrak-abriknya perasaan karena  ikut terbawa suasana.

Apa sudah terbayang, bagaimana tercampur aduknya perasaanku hari ini? Ini bahkan lebih kompleks daripada perasaan saat terlilit hutang.

Ughh... Ingin rasanya menangis sepuasnya, namun air mataku tidak kunjung keluar, yang ada hanya meninggalkan serak yang tak kunjung tuntas di tenggorokan.

Kutinggalkan surat yang selalu berakhir dengan lumuran tipe-x dan tidak kunjung selesai itu. Aku beranjak ke dapur bermaksud mengambil segelas air untuk meredakan dahaga. Namun ketika aku melintas, ibu—yang sedang asyik menonton—berdecak senang saat melihatku, “Nah, kebetulan Ka, ini ceramahnya bagus banget lho...”

Ah, ternyata acara tausiyah yang sudah kuhapal semua isi materinya. Ujung-ujungnya hanya menyuruh agar kami, para jomblo, cepat menikah, dan kami langsung gigit jari karena pasangnya pun tidak kunjung kelihatan.
“Kenapa, Nak?” setelah beberapa lama ibu baru menyadari kebisuanku.

“Nggak, Bu. Cuma rasanya ada yang mau kukeluarkan tapi susah dikeluarkan...”

“Kamu sembelit?” wajah ibu tidak dihiasi oleh seringai yang biasa dia lakukan. Sepertinya dia serius mengkhawatirkanku.

“Bukan, Bu...”
Mungkin aku termasuk salah satu orang yang paling jarang bercerita tentang masalah pribadi kepada orang tua. Karena jaman kuliah dulu aku merasa sudah punya Kak Cici sebagai kakak senior yang bisa menenangkanku dan mendengarkan keluh kesahku, tidak bercerita dengan orang tua pun tidak masalah bagiku. 
Namun kini, semua akan berubah. Mungkin mulai sekarang aku harus mencari pengganti Kak Cici, sebagai satu-satunya tempat curhatku.

Pelan-pelan kucoba bercerita pada ibu dari undangan yang kuterima bulan ini, kemudian curhatan teman yang bertubi-tubi membuat perasaan iriku semakin melebar, dan terakhir undangan Kak Cici dan dimintanya aku menjadi 'Penerima Tamu' menyempurnakan kegalauanku.

Menyadari suaraku sedikit bergetar, aku mencoba menguasai diriku untuk mengendalikan emosiku agar tidak hancur berantakan.

“Azka dengar...” ibu menyibakkan ujung jilbab pastelku ke bahuku dan berkata dengan sangat lembut, “perasaan yang seperti itu sangat manusiawi...” itu adalah kalimat pamungkas pendengar yang baik. Hanya dengan mendengar kalimat itu, siapa pun yang mendengarnya merasa bahwa dirinya akan selalu memiliki orang yang selalu mendukung dan mengerti dia. Namun...

“Tapi dari sekian banyak orang yang datang, mustahil tidak ada satu pun pangeran yang tidak kepincut hatinya sama kamu. Tenang saja, Nak.” tiba-tiba gurat antusias di wajah ibu terlihat semakin nyata, “Ibu yakin, ini adalah kesempatan emas untukmu!”

Aku memutar bola mata dengan lelah. Ya, kalau ada organisasi pecinta drama korea garis keras mungkin ibu adalah anggota pertama yang terdaftar.  Tapi tolonglah, Bu... anakmu ini butuh tempat curhat, bukan malah dibuatkan skenario FTV.  Pikiran beliau entah kenapa selalu serupa dengan apa yang dipikirkan oleh Ifa. Tidak jarang aku beranggapan bahwa kami sebenarnya sempat tertukar.

Mungkin keputusanku untuk curhat dengan beliau kurang tepat. Mungkin sebaiknya semua masalahku aku simpan sendiri baik-baik. Mungkin ada baiknya aku segera tidur... Ya, mungkin...

Namun, baru saja aku beranjak dari sana, ibu kembali memanggil.
“Oiya, ada kiriman crocs dari Mukhlis tuh...” mendengar nama orang itu disebut-sebut hatiku tiba-tiba langsung panas, seperti baru saja dilemparkan bara api. “Minta upah kok sendal crocs. Azka, Azka... mata duitan dikit dong jadi orang.” Aku merengut kesal.

“Dia cuma minta didengerin doang, ngapain juga aku minta yang mahal-mahal...” sebenci apapun aku dengan cowok itu, entah kenapa aku tidak pernah bisa menghindari topik tentangnya.

Kuambil lagi dengan gusar botol air mineral di dalam kulkas dan meminumnya dengan terburu. Maksudnya, sih, untuk meredakan panas yang kian lama terus menjalar ke seluruh tubuh...

“Ngapain ditanggepin kalau cuma minta curhat aja, coba tagih balik minta diajak nikah...”

“Wohoogh ohok!!” tapi semua air yang ada dimulutku meluncur bebas dari mulutku. Ibu panik dan segera mengambilkan tisue untukku.

“Pelan-pelan dong, Ka...” ibu menepuk-nepuk pelan bahu.

“I-ibu sih... ohok... nggak usah ngomong yang aneh-aneh.” Kini panas itu menjalar ke wajahku. Melihat ibu yang sepertinya menyadari perubahan air mukaku, aku segera memalingkan wajah, menggerutu tidak jelas dan kembali ke kamar.

Mukhlis, mantan tetangga yang tidak pernah bisa lepas membuntutiku. Alasannya klise, dia butuh tempat curhat agar ada orang yang selalu mendengarkan curhatannya.
Dan aku masih ingat, kemarahanku saat terakhir kali bertemu dengannya.

Cerita ini berawal dari beberapa minggu sebelumnya. Dengan berdalih ingin taaruf, ada seorang cowok minta tolong kepada tanteku—yang umurnya tidak jauh berbeda denganku—untuk minta dikenalkan denganku. Tentu aku menyambutnya dengan baik. Namun siapa sangka cowok itu adalah ‘cowok lagi ngapain’. Cowok yang tidak tahu bagaimana caranya membuka topik pembicaraan dan hanya bisa mengetik ‘Lagi ngapain?’ di pesan singkatnya. Lalu setelah melakukan beberapa kali percakapan dengannya, justru membuatku semakin tidak yakin padanya. Aku bahkan tidak yakin dia paham tentang taaruf atau tidak.

Reaksi Ema dan Ifa tadi siang persis sekali dengan reaksi si cowok menyebalkan itu, Mukhlis. Awalnya, cowok itu tidak tahu sama sekali masalah ini, tapi dengan lugunya tanteku itu memamerkan kepada teman-temannya kalau aku sedang melangsungkan proses taaruf. Dan ting, secepat kilat berita itu sampai ke telinga Mukhlis. 

“Masih ada gitu, cowok jaman sekarang yang mulai pembicaraan dengan kalimat ‘Lagi ngapain?’” Mukhlis tertawa sejadi-jadinya saat aku bercerita tentang cowok itu. “Azka, buka mata lu. Sekarang emang lu kelas berapa?” ya, benar. Sifat menyebalkannya itu benar-benar tidak tertolong.

Dia itu cowok antimainstream sedunia, cowok menyebalkan sejagad, cowok yang hanya bisa curhat masalah gebetan-nya, dan terakhir dia itu cowok yang bisanya selfie dengan pose wajah tampak samping. Karena tidak ada sama sekali bagus-bagusnya, aku yakin walau cowok di dunia hanya tinggal dia seorang tidak serta merta membuatku berpikir memilihnya. Ya, tidak akan. Tidak diragukan lagi.

Hih, namanya aja yang bagus, kelakuan minus.
Namun akhir-akhir ini, ketika mendengar peribahasa Jawa Kuno yang mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino”, malah membuatku semakin khawatir ketika berdekatan terus dengannya.

Mukhlis memang tiga tahun lebih tua dariku, namun rasa hormatku kepadanya sudah lenyap seiring jatuhnya wibawa cowok itu ketika curhat sambil termehek-mehek di depanku.

“Kalo gue ya, bahkan pas pacaran nggak akan bilang kaya gitu.” Diambilnya potongan roti bakar coklat keju milikku dan dimakannya tanpa ampun. “Apa kek gitu, kreatif dikit.”

Hari itu Mukhlis memaksaku untuk mendengarkan curhatannya tentang cewek yang ditaksirnya di kantor. Awalnya aku menolak keras, tapi setelah dia mengejek sendal kesayanganku yang lusuh tanpa bentuk, lalu dia mengiming-iming sendal yang baru untukku, aku menyerah dengan mudah.
Sial, aku benar-benar benci diriku.

“Emang kalo lo jadi dia, lo bakal bilang apa?” tentu saja aku tahu jawabannya akan membuatku merinding, tapi yang membuatku heran “APA SIH YANG KUPIKIRKAN??” sampai harus bertanya hal itu kepadanya.

“Kalau gue jadi dia, gue bakal mulai dengan, ‘Assalamu ‘alaikum, sekarang jam berapa sih, Dek Azka? Kok masih baca SMS abang?’” Mukhlis mengatakan itu sambil menatap lurus ke arahku, seakan dia benar-benar memposisikan aku sebagai orang yang sedang ia perjuangkan.

Hampir saja aku tersedak air jeruk hangatku. Mungkin satu tenda warung roti bakar ini merinding disko mendengar perkataan Mukhlis barusan, tapi aku akui jawabannya itu memberikan kesan lain di hatiku.

“Geliii....” kataku sambil menggidikkan bahuku. “Untung bukan lo orang yang dikenalin ke gue.”

“Lho, kenapa? Gue tampan, keren, macho... Orang yang dikenalin sama gue pastilah sangat bersyukur.”

“Duh, mau muntah...”

Manusia satu itu, penyakit narsisnya sudah akut stadium empat dan tidak bisa diobati. Pernah sekali aku ‘mengintip’ status FBnya, coba tebak apa yang kutemukan? Hal yang membuatku memijat kepalaku berulang kali.

Hari gini sholat jumat bikin ganteng? Ketinggalan banget sih lu, banci! Huahaha. Udah ah, gue mau sholat jumat dulu, biar makin...... macho.

Dan tanpa sadar aku bergumam, “Sakit nih orang.” Caci makian dari teman-temannya pun tidak kalah sadis. Beberapa di antaranya, ada yang berkomentar, “Dasar lo MAntan CHOpet!” atau “Lu yang banci, kuya!” atau “Kaga sholat aja ngaku sholat!” dan banyak lagi komen sadis lainnya.
Benar-benar tidak tertolong!

“Udah, lu nggak usah taaruf sama orang kaya gitu. Gue punya temen segudang, lu tinggal bilang aja sama gue...” mungkin saat itu Mukhlis hanya sedang bercanda atau... entahlah apa tujuannya.

Tapi aku tidak suka candaannya. Dia bicara seakan mencari pendamping itu adalah hal yang remeh, hal yang tidak perlu dipikirkan lama-lama, dan dia bicara seakan... dengan mudahnya dia merelakan aku kepada temannya.

“Sebut aja. Lu nyari yang kaya gimana?”

Daripada aku harus meledak di keramaian dan mempermalukan diriku sendiri, lebih baik aku pergi meninggalkan Mukhlis dari tempat itu. Aku beranjak bangun dan pergi begitu saja dari warung roti bakar tanpa pamit padanya dan tanpa membayar pesananku, meninggalkan Mukhlis yang masih terbengong-bengong.

Harusnya dia paham kalau aku marah dengannya, dan mengirimkan sesuatu yang lebih, selain sendal favoritku.

Kulihat bungkus kotak berwarna kecoklatan sedikit terbuka penutupnya di sudut kamarku. Crocs merah yang cukup nyaman dipakai. Pas sekali dengan ukuranku.

Hanya senyuman yang bisa kuselipan di antara perasaan senang dan kesal kepada cowok itu.

--

“Ka, lo pake crocs ke kondangan!? Lo kan jadi penerima tamu!” omel Ifa. Aku hanya bisa manyun, dan merasa bersalah.

“Gue lupaaa....udahlah nggak apa-apa. Kan nanti ketutupan meja,” elakku.

Ema mendesah. “Susah deh ini mah dapet jodohnya.”

“Emaaaa!! Jangan ngomong gitu dooong!!” Aku mulai panik. Memangnya apa hubungannya jodoh dengan sendal? Tapi setelah berpikir dua kali mengenai apa yang dikatakan Ema, aku jadi bermaksud untuk mencari pinjaman sepatu.

“Ya abis lo mikir juga, dong. Masa udah cakep-cakep pake gamis sama jilbab panjang begitu sepatunya crocs,” cerocos Ifa lagi. Ema hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

“Gue tadi buru-buru.... jadinya main ambil aja. Gue beneran lupa,” bohong, aku tentu saja berbohong pada mereka.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku begitu inginnya memakai sendal ini.  Tapi bisa disangka orang yang tidak waras oleh mereka kalau kubilang "sendal ini yang memintaku untuk memakainya." Tampaknya aku terlalu lelah sampai bisa berpikir begitu.

Setelah pembagian tugas, kami mulai bersiap ke tempat masing-masing. Awalnya aku berebut dengan Ema yang—dengan semangat 45—mengajukan dirinya untuk menjaga stand Es Potong. Namun setelah kupikir kembali, pasti tugasnya repot karena harus memotong es-es itu. Jadi kubiar Ema yang di sana, toh aku masih bisa datang ke sana berkali-kali untuk menerima es potong tanpa harus repot.

Acara berlangsung sangat meriah. Aura kebahagian terpancar di mana-mana. Namun sejauh mata memandang, tidak ada tamu yang bisa mencuri perhatian dariku.  Sampai bosan melanda, seorang cowok yang cukup tampan datang ke meja tamu.

“Mbak... maaf spidolnya,” dia tersenyum melihat Ifa yang malah bengong di hadapannya. Kusenggol lengan Ifa dan mengisyaratkan agar spidol yang ditangannya segera diberikan.

“Ah, ya, ini, ini.”

“Ganteng ya, Fa.” Bisikku saat pria itu memasuk ke dalam gedung.

“Udah mau nikah tuh,” cibir Ifa.

“Kok lo tau?” Aku takjub seakan aku baru saja mengetahui, kalau selama ini aku berteman dengan cenayang. Tapi detik selanjutnya dia hanya cengengesan dengan wajah menyebalkan. Dengan gemas kutoyor kepalanya.

Ketika aku ke tempat Ema, dia tampak sibuk dengan kehebohan bocah-bocah yang berebut mendapatkan es potong. Lalu aku beralih ke depan bangku pelaminan, melihat Kak Cici yang sangat bahagia membuat perasaanku kembali tercampur aduk. Lalu ke stand makanan, semua penuh dan aku terlalu malu untuk ikutan mengantri. Akhirnya aku kembali ke meja tamu.

“Kak Azka jalan-jalan mulu ih, tapi nggak ngambilin makanan buat kita.” Protes Dita yang duduk di meja tamu seberang. Karena aku terlalu aktif beberapa teman penerima tamu lainnya ikut-ikutan berkomentar.

“Jangan gitu, Dit. Itu Kak Azka juga lagi nyari celah...” Novia—temannya Dita yang juga adalah murid Kak Cici—bermaksud membelaku, meskipun aku tidak merasa terbela dengan kalimat itu.

“Ahh, Kak Azka enak banget sih, nggak perlu kesakitan sama sepatunya.”

Tiba-tiba rasa bangga menyelimuti diriku. Apa? Apa yang dibilang Dita tadi? Ingin rasanya teriak di kuping Ifa dan Ema. “Tindakanku nggak salah-salah banget, kan?”

Mendekati waktu sholat ashar dan akhir acara, semua jenis makanan juga hampir tak tersisa. Aku pasrah. Ini pertama kalinya aku tidak semaksimal biasanya dalam berburu makanan di kondangan. “Perut gue masih belum kenyang...” gerutuku.

“Kita kan penerima tamu, wajar lah nggak bisa berburu makanan kaya di kondangan yang biasa.” Hardik Ifa. “Udah ah, gue mau bawa kado-kado ini ke dalam dulu. Lo jagain ya, siapa tau masih ada yang dateng...”

Karena jalan terlalu cepat saat kembali ke meja tamu, aku hampir saja menabrak Mbak-mbak yang sejak tadi ada di depan pintu masuk. Aku mengangguk sopan untuk meminta maaf kepadanya, tapi Mbak bergaun maroon selutut itu malah melihatku dengan tidak ramah. Ingin sekali kubalas dengan tatapan, “Apa masalah lo?” tapi masih kutahan karena ini adalah acara berharganya Kak Cici.

“Duduk, Mba?” tawarku dengan ramah, ketika melihatnya memukul-mukul kakinya dengan gemas.

Namun, selang beberapa detik dia menoleh ke arahku, mobil Yaris hitam masuk ke parkiran dengan kecepatan yang lumayan. Seseorang keluar dari mobil itu dengan terburu-buru. Merasa kenal orang yang keluar dari mobil, mulutku ternganga sesaat.

“Kak Azka, kita ke dalam dulu ya...” Sambil menunjukkan beberapa kado yang mereka bawa, Dita dan Novia pamit. Sopannya anak-anak muda ini menyuruhku untuk berjaga sendirian.

Cepat-cepat kualihkan pandanganku ke tempat kado, tapi kado itu sudah habis dibawa sebelumnya.

Mati aku. Kok bisa ada dia?

“Kamu nggak usah janji kalo nggak bisa ditepati!!” tiba-tiba Mba bergaun maroon itu meledak, dia marah besar. Aku segera melihat siapa lawan bicaranya, yang tidak lain adalah Mukhlis.

“Sori, Ra. Tadi aku nganterin ibuku dulu...”

“Alah, nggak usah banyak alasan. Kalo dari awal kamu bilang nggak bisa, aku bisa kok minta teman lain untuk jemput! Satu jam! Aku nunggu satu jam!!”

“Maaf, yang tadi tuh bener dadakan...”

“Udah, capek gue sama lo. Masih mending sama mantan gue dulu, dia rela berkorban apa aja demi gue.” Gaya bicaranya mulai berubah. “Lebih baik gue nggak pedekate sama lo. Udah, gue mau pulang naik Gojek aja, lo nggak perlu ngejar gue lagi!”

“Ra, jangan gitu dong... Mira!” Seraya Mira—cewek bergaun maroon yang dipanggil Mukhlis itu—mengacungkan ibu jarinya ke bawah, Mukhlis pun menghentikan pengejarannya. Paling tidak dari sikap dan ekspresinya aku tahu, saat itu Mukhlis sadar ternyata dia salah memilih cewek itu.

Oh, ya, jangan bilang aku sok tahu, karena seakan bisa mengerti segalanya tentang dia, termasuk pikirannya. Ya, bertahun-tahun berteman dengannya cukup membuatku jeli dengan semua tingkah lakunya.

Sadar pikiranku mulai aneh, aku menampar pipiku sendiri.

Aku mikir apa, sih!

Oke, ini masalah internal rumah tangga mereka, eh... mereka belum menikah ya? Oke, aku ralat. Bagiku, barusan hanyalah potongan cerita FTV yang dibintangi oleh Mukhlis, si playboy cap teri. Tidak lebih. Tidak ada urusannya denganku.

Perlahan aku bergerak mundur, sialnya saat itu juga Mukhlis menoleh, “Azka?” menyadari yang ada di depannya siapa, Mukhlis malah bergerak maju ke depan. Sedang aku  bergerak ke arah salah satu stand untuk menutupi sendalku.

“Kok lu ada di sini?” Pertanyaan yang harusnya kuarahkan terlebih dulu kepadanya. Namun aku hanya bisa mematung tak menjawab. Semakin mendekat semakin jelas wajah Mukhlis terlihat. 

Helaian rambut bagian depannya basah dan disisir rapi ke belakang. Mungkin orang lain yang mengira, Mukhlis baru saja membasahi rambutnya dengan minyak rambut atau apapun itu, tapi mereka salah. Alisnya yang hitam dan masih terlihat basah itu adalah bukti lain, bahwa dia habis membasuh wajahnya, atau lebih tepatnya wudhu.

Satu yang aku salut darinya adalah ketepatan waktu sholatnya. Itu selalu menjadi prinsipnya yang tidak pernah dia tolerir dengan hal apapun. Aku yakin, saat adzan berkumandang tadi dia berhenti dulu dan menunaikan sholatnya.

“Udah, anggap aja gue nggak ngeliat, pergi sono!” kataku cepat-cepat, sebelum Mukhlis mendekat lebih jauh. Setelah mempelajari kondisinya dan penampilanku yang serupa dengan panitia-panitia yang masih berkeliaran di sekitar situ, nalarnya berjalan dengan sangat cepat.

“Gue kan tamu juga...” mengetahui Mba sadis tadi teman salah satu dari pengantin saja sudah membuatku shock. Apalagi mendengar kalau Mukhlis adalah tamunya Kak Cici, kalau tahu hal itu, mungkin aku tidak usah datang sekalian ke pernikahannya Kak Cici.

“Bohong!” kataku buru-buru. “Lagian, semua udah mau pulang. Acaranya udah selesai, lo pulang aja sana.” Dari kejauhan aku melihat Novia dan Dita yang tidak jadi menghampiriku, mereka kembali masuk ke dalam, yang sepertinya menyusul Ifa dan Ema.

“Sini lu!” seraya Mukhlis memberi isyarat agar aku lebih mendekat. Saat itu juga aku menyadari, bahwa dia memang bukan tamu undangan. Mukhlis menyuruhku untuk menghampirinya. Namun bukannya dia keluar lebih jauh lagi, dia malah mengambil tempat duduk di meja tamu yang sedang kosong melompong.

“Nggak, udah dari situ aja. Kita bukan mahram.”

“Ck, Azka... anggap aja kita udah maram!” deg! Jantungku mulai berdebar tak karuan.
Mukhlis terlihat kacau. Duduk di bangku meja tamu dengan menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya, dan sepertinya dia benar-benar tidak menyadari apa yang baru saja dikatakannya.

Oke, anggaplah aku yang gila. Mahramnya itu kan bisa berarti dia kakakku, atau mungkin bapakku. Mana mungkin yang dia maksud adalah suami...
Aku berjalan perlahan menghampirinya. Namun setelah sadar aku sedang memakai sendal pemberiannya, aku memutar arah dan berjalan ke meja tamu yang bersebrangan dengannya.

“Kenapa sih, cewek susah banget dimengerti?” Mukhlis mencari keberadaanku, setelah menemukan aku ada di seberangnya dia kembali berbicara, “Emang gue harus selalu ngertiin cewek ya? Emang nggak bisa sesekali mereka  ngertiin gue?”

“Lo ngomong seakan-akan gue bukan cewek...” Kataku mengerut kesal.

“Oh iya, maksud gue... cewek yang satu-satunya mengerti dan paham siapa gue tuh cuma lu. Jadi lu nggak masuk itungan ‘mereka’ yang gue maksud...” Entah sadar atau tidak, Mukhlis telah mengatakan sesuatu yang membuat jantungku semakin tidak karuan. Namun sekarang dia hanya tertawa bodoh seakan semua kata-katanya itu hanya kalimat yang biasa.

“Maksud gue, apa cewek nggak bisa belajar memahami kami, para lelaki?” melihatku yang tidak merespon Mukhlis angkat suara lagi, meminta dukungan. “Lu sependapat kan, Ka?”

“Menurut lo?” aku kembali bertanya kepadanya. Kali ini mungkin nada bicaraku sudah berbeda, kalau dia peka harusnya dia menyadari kekesalanku.

“Jangan bilang lu termasuk cewek-cewek kaya gitu juga, Ka. Jangan bilang lu di pihak mereka...” matanya seraya memohon. Akhirnya aku benar-benar bangkit dari dudukku. Lalu keluar dari meja tamu.

“Kenapa sih harus dibuat susah?” kataku menatap dia tajam. Namun Mukhlis menatapku tidak mengerti. “Kenapa sih lo harus mencari yang nggak bisa ngerti lo, sementara ada orang yang bisa ngerti lo?”

Aku yakin, nalarnya yang biasa berjalan dengan cepat itu bisa langsung mengarah kemana maksud perkataanku tadi. Dan aku sekarang benar-benar tidak bisa menatapnya lagi. “Dan satu lagi, bukan cuma lo yang butuh tempat curhat...” tadinya mau kucopot sendalku, kuberikan kepadanya dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya, namun akhirnya tidak kulakukan.

“Gue balikin sendal lu nanti.” Hanya itu yang kukatakan sebagai tanda perpisahan. Meskipun jauh di lubuk hatiku, aku tidak mau hubungan kami berakhir seperti ini.

--

“Udah selesei? Yuk langsung cus pulang.” Sergah Ema saat aku keluar dari kamar ganti.

“Ijin dulu sama Kak Cici kali...” tambah Ifa lalu disusul oleh “Oh iya”nya Ema.

“Ih, si Azka lelet banget sih jalannya!” Ema dan Ifa yang sudah berada di depanku menuntutku untuk jalan lebih cepat. Namun, suara pesan masuk di ponselku membuatku berhenti dan semakin tertinggal jauh.

From : Playboy Narsis

Assalamualaikum, sekarang jam berapa dek Azka? Kok masih baca sms abang? Oh iya, masih sore ya, hehehe. Yaudah kalau mau curhat, hubungi nomor ini ya. Aku siap kok jadi temen curhat kamu.

P.S : Pakai terus ya sendalnya.

Kalau tidak melihat nama yang tertera di sana, mungkin aku mengira ini adalah sms nyasar yang menawarkan bisnis prostitusi ilegal yang disebarkan secara random. Namun setelah membacanya tidak bisa dipungkiri seulas senyum tercipta di wajahku.

“Geli.” Kataku seraya mengulum senyum.

~FIN

A/N : Yah terlanjur jadi cerpen menggelikan ini. Yang baca jangan ikut-ikutan geli yak. Wakakakaka

Zu yang lagi cosplay jadi Azka xD





Tuesday, June 23, 2015

Saturdate : Tantangan Menulis Duet

I'm back!!

Hutang oh hutang. Dibayar satu tumbuh seribu.

Sebenernya gue mau nulis cerita ini udah dari kemaren-kemaren. Sampe Ruru dan Nana, dua-duanya udah ngeposting ceritanya, dan gue masih bengong aja, berkutat dengan pikiran yang lain.

Cerita gue tentang saturdate sabtu kemaren, bisa dicek di bawah~ :*


Wednesday, June 3, 2015

[Fiction] Pintu Gudang Belakang

Berikut ini adalah setoran saat malam narasi. Demi memenuhi janji pada Saa yang minta diterusin ceritanya, maka saya lanjutkan di blog.

Check this out yo~ (kali-kali bener xD)

[Pencitraan] Tolong Pahami Saya!

Sebenernya saya harus mengakui kalau penyakit saya, yang nggak bisa konsis sama tulisan ini, udah semakin parah lagi :(

Selalu ada excuse di setiap kesempatan.
Kadang saya sampai harus meneliti diri saya, ada apa sih dalam tubuh ini? Memang beberapa fakta terungkap. Memang....

Coba dilanjut di bawah.
(hati-hati menyebabkan capek mata dan hati membacanya)