Tuesday, May 24, 2016

[Fiction] : Beda Hujan

Setelah sekian lama, akirnya ikutan malam narasi lagi, dan ngeposting ceritanya di mari lagi. Dan baru kali ini lagi eke bikin angst. Ahey~

Cekidot, mbabro~


BEDA HUJAN




"Ah, sial. Lagi-lagi payungku ketinggalan."

Sejak pagi tadi turun hujan tanpa henti, oh tidak, dua jam sebelum ini sudah berhenti dan aku kira akan selamat dari hujan saat pulang sekolah.

"Nggak bisa ditebak deh cuaca sekarang." Kukibaskan beberapa air yang terlanjur menyerap di pakaian sekolahku. Dan terpaksa aku harus singgah di halte, tidak jauh dari sekolah.

Hujan adalah salah satu hal yang aku suka. Karena setelah hujan akan ada pelangi yang membuatku nyaman saat melihatnya.

"Eh..." Aku menghentikan gerakan tanganku ketika melihat seseorang melintas di depanku dengan payungnya.
'Cowok itu!!' Dan kesukaanku bertambah ketika di saat hujan aku selalu bertemu dengannya.

Cowok dengan raut wajah sedih dan sendu.
Cowok yang menyita perhatianku.
Cowok yang membuat hatiku sakit saat melihatnya.
Dia selalu membuatku menahan diri untuk tidak memeluknya dan mengatakan bahwa aku ingin melindunginya.

"Ini kesempatanku..." gumamku. Yah, aku tidak bodoh. Biarpun aku selalu mendapat nilai merah di raportku, kalau soal itu saja aku bisa tahu dengan jelas.

Aku tahu jelas sekali. Dia menyukainya.

Aku memutuskan untuk mengikutinya di belakang. Aku tahu, dia pasti akan menemuinya. Tapi kakiku tetap melangkah maju dan mengikutinya di belakang.
Tanpa payung, hanya ditemani hujan yang terus merembes ke dalam hatiku dan membuatnya semakin perih.

Tepat, dia menemuinya. Gadis itu telah menunggu di sana. Di depan sekolah kami, menanti dengan senyum terbaiknya.
"Guntur..." seru gadis itu ketika melihatnya.

Aku ingat jelas namanya. Nama yang selalu mengingatkan pada hujan. Tapi selalu membuatku takut ketika mendengar suaranya.
"Kamu benar-benar tidak pernah membawanya lagi ya?" suara yang terdengar begitu menyakitkan. Aurora tersenyum getir. Tanpa menjawab, hanya berusaha mendekat dan meneduh di bawah payung Guntur.

Aurora teman sekelasku. Karena absen sekolah selama dua bulan dan baru masuk lagi tiga minggu yang lalu, dia kesulitan dalam bergaul.

Dalam diam aku mengikuti mereka. Dan mereka tidak mengatakan satu patah katapun. Aku tidak pernah sejauh ini mengikuti mereka. Selalu berakhir di depan gerbang sekolah dan meratapi nasib melihat keduanya tampak saling membutuhkan.

Kali ini, kali ini saja, aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan sepanjang jalan. Namun, tidak pernah aku tangkap sekalipun kata yang keluar dari mulut mereka.

Aku mulai menggigil kedinginan dan merasa sesak. Namun napasku berhenti sejenak ketika mereka berdua berhenti di depan jembatan yang melintang di atas sungai.

"Guntur..." suara Aurora terdengar lirih.

"Aku berpikir untuk berhenti melakukannya..." Guntur melihat ke arah Aurora yang terlihat kaget.

"Gak! Kamu tahu dia nggak akan menyukainya!"

"Aurora..."

"Kamu tau kan, dia selalu meminta payung saat hujan turun, dia akan bermain di bawah hujan dengan payungnya, dia...."

Guntur melepaskan payungnya dan memeluk Aurora dengan erat.
"Dia... biarkan dia beristirahat dengan tenang, Ra..."

"Gak! Jangan begitu, Guntur! Kakakku nggak akan senang..." Aku bisa mendengar suara Aurora yang bergetar, dia terlihat lemah. "Aku mohon... berikan payung itu pada kakak."

Aku melihat Guntur diam sejenak sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya ke atas jembatan dan menjatuhkan payung itu ke bawah sungai.

"Rinai... dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bukan karena kita... Aku nggak ingin kamu terus menyalahkan dirimu." Bahu Aurora bergetar. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan.

"Aku... kalau saja aku nggak memutuskan untuk menjalani hubungan denganmu. Kakakku... dan aku...." tangis Aurora pecah dan dia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Guntur mendekat dan hendak memeluknya tapi Aurora mendorongnya.

"Aku... aku tau ini seharusnya nggak terjadi. Kakak selalu melihat ke arahmu, Guntur. Kenapa kamu nggak sekalipun menyadarinya? Aku... kita... sebaiknya nggak usah bertemu lagi." Aurora pergi berlari menyebrangi jembatan dan tak pernah sekalipun menoleh ke arah Guntur.

Guntur terlihat frustasi. Dia hanya bisa terduduk dan mengusap wajahnya dengan kasar.

Saat itu aku ingin sekali memeluknya, memberikan semua kekuatanku yang aku punya. Tapi tidak bisa. Aku bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun dari tempatku. Merasakan jantungku yang berdenyut sakit.
Ya, tanpa sadar sepertinya aku bisa memahami semua situasi ini.

Aku paham kenapa sejak kematian kakaknya, Aurora tidak bisa datang ke sekolah sampai dua bulan.
Aku paham kenapa beredar gosip bahwa Aurora penyebab kematian sang kakak.
Dan aku paham kenapa ekspresi Guntur terlihat begitu menyakitkan

Hujan bagiku adalah keindahan. Tapi bagi sebagian orang adalah luka. Kini aku bahkan tidak mengerti harus memaknainya bagaimana. Karena saat ini air hujan berubah menjadi jarum yang menusuk-nusuk tubuhku.

#MalamNarasi
#BedaHujan
#Zu
18/5/16

--
NB: ntah dapet atau ngga itu angstnya yang penting bikin lah. wakaka

No comments:

Post a Comment