Eiii, kali ini saya kembali lagi dengan SBT (Story Blog Tour)!! *tepuk tangan dan kaki*
Story Blog Tour adalah sebuah challenge menulis yang dibuat beramai-ramai. Dimana member lain yang sudah diberi urutan, melanjutkan cerita sesuai imajinasi di blog pribadi masing-masing. Yang kami tentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter.
Gue, Zu. Mendapat giliran menulis chapter KELIMA dari cerita kami yang bergenre Romance - Comedy. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini. Silakan membaca chapternya di sini, ya
Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti
Ep 3 : Longing For You by Dhira
Ep 4 : Troublesome Personality by Nana
Ep 5 : Deserve To Be Happy by Zu
Ep 6 : still on progress
Ep. 5 Deserve To Be Happy
![]() |
cr : tumblr |
Aku hanya berusaha dan akan terus yakin kepada diriku sendiri, kalau aku pantas untuknya. Karena hanya dialah, aku merasa kehidupan ini patut untuk diperjuangkan.
--
Sesi
interview dengan Aditya Ismail berjalan dengan baik. James sudah mengatakan
berkali-kali pada dirinya bahwa tidak ada hal yang tidak bisa Bia
lakukan dengan baik, kecuali dengan sikap temperamennya. Namun dengan
profesionalitas yang dimiliki Bia semua bisa terkendali dengan baik.
“Nggak buruk juga.” James melihat Bia yang sedari tadi serius
mengecek catatan dan recorder-nya setelah melakukan wawancara dengan Aditya. Dengan
tatapan sendu, semu hangat di wajahnya, James terkekeh pelan.
“Jangan
bilang sekarang Abang jadi sinting.” Bia tersadar dengan kekehan James yang
membuatnya salah tingkah. Entah kenapa Bia merasa dirinya telah melakukan hal
yang memalukan dan membuat James menertawakannya. Wajahnya bersemu merah.
“Kalo Abang
sinting, kamu apa? Eh-” keluar begitu saja dari mulut James, tidak sengaja. Lalu
tiba-tiba dia terkesiap, karena merasa salah bicara.
“Ish, aku
mah waras.” Bia cemberut dan membuatnya terlihat menggemaskan. Entah karena moodnya sedang bagus, atau karena
wawancara dengan Pak Gubernur, membuat suasana hatinya bagus. Kali ini sikapnya
terlihat begitu imut di mata James.
“Gila sih. Bisa juga dia ngambek yang kayak
gini. Super imooeetss!”
“Ngomong-ngomong
Eliana dan Xander kemana ya? Apa langsung ke tempatnya Pak Gubernur?” Bia sudah
menyingkirkan semua urusan kerjaannya dan sudah bersiap untuk pulang.
“Kamu ada
perlu sama temenmu itu?” James mulai berjalan di sampingnya, menyelaraskan
langkahnya dengan Bia.
“Gak juga
sih. Aku punya firasat dia dan Xander akan nge-date, jadi nggak mungkin aku jadi nyamuk.”
“Kok jadi
nyamuk?” tanya James bingung. Langkahnya berhenti, Bia malah memandangnya aneh.
“Kok abang
bego sih, orang yang gangguin orang pacaran ya disebutnya ‘nyamuk’, pengganggu.”
“Loh, kamu
kan bareng aku, masa masih disebut pengganggu?” James mengatakannya
dengan wajah datar dan serius.
NYESSS.
Wajah Bia
bak kepiting rebus, jantungnya seakan dihantam palu besar dan berdenyut keras. Rasanya
sangat aneh. Bia sudah terbiasa atau lebih tepat muak dengan berbagai gombalan pria yang menyatakan
perasaan cinta kepadanya, sehingga tidak pernah membuatnya
menginginkan hal itu lagi.
Kali ini
beda. Perasaan aneh ini datang dari sikap James yang tidak jelas. Dia tidak
tahu apa yang katakan itu bercanda, atau serius. Dan Bia tidak tau, apa
maksud kalimat yang di lontarkan James itu. Semuanya ambigu. Membuat sensasi aneh
yang menggelitik di perutnya Bia. Memunculkan satu kata yang sudah lama tidak
pernah ia inginkan, kata itu adalah : berharap.
“Apa sih
Bang James!!” Tabokan super kuat Bia melayang ke lengan James yang besar. Ya,
besar, bukan berorot. “Y-yaudah aku mau nunggu El, di café belakang ajah!” Bia berjalan
mendahului James yang masih mengaduh kesakitan karena tangannya terasa kebas,
perih dan nyeri setelah dipukul oleh Bia.
“WUUOOO SUAKIT POOLLLL” sebagai lelaki sejati, James
berusaha menahan rasa sakitnya dan tidak berkomentar akan rasa sakitnya itu. Setelah
menghapus air matanya, James melihat Bia dari kejauhan. Dia terlihat menggaruk
kepalanya dengan gelisah dan mengalihkan pandangannya ke belakang untuk melihat
James.
“Bang… ikut
ngga?” rajuk Bia. James menegakkan badannya dan tersenyum lebar.
“Iya.”
Mungkin hari ini ada yang salah dengan Bia. Tapi James sangat yakin, bahwa sikapnya
Bia kali ini adalah bagian dari diri Bia yang jarang orang lain tahu. Dan hari
ini dia merasa telah menemukan sesuatu yang paling berharga baginya. “Kalau tau dia punya sisi kayak gini, nggak
rugi juga kalau harus PDKT-in lebih gencar lagi.”
--
[Kami menunggu di café belakang
Hotel Mutiara.] Pesan singkat Eliana kepada Aditya, sang gubernur.
Dan di sinilah, Aditya bersama
Eliana dan Xander yang menunggunya saat dia sedang melakukan wawancara bersama
James dan rekannya, Bia.
Sebelumnya dari kejauhan, Eliana dan
Xander terlihat sangat hangat dan berbicang dengan santai dalam pandangan
Aditya. Namun kini saat dia duduk di hadapan mereka, suasana mencengkam
terpancar dari keduanya.
“Hemm, jadi?” Aditya memulai
pembicaraan mereka, bermaksud untuk mencairkan suasana dengan melemparkan
senyuman tertampannya kepada mereka. Syukur-syukur pujaan hati yang ada di
hadapannya ini makin cinta dengannya.
“Maafkan saya, jadi menyita waktu
Pak Aditya di tengah-tengah acara Bapak.” Eliana masih enggan mencairkan
suasana yang dia bangun sejak Aditya duduk di hadapannya.
“Tidak masalah, tapi saya pikir kamu
akan membicarakan hal yang sangat pribadi dengan saya.” Lalu Aditya melirik
sebentar ke arah Xander, “Namun bapak yang satu ini…?”
“Xander adalah bagian dari
pembicaraan pribadi kita.” Memang tidak banyak pengalaman Aditya tentang
percintaan, namun siapapun yang ada di posisinya akan menyadari hal ini. Terlebih Aditya
adalah orang berpendidikan yang sangat paham membaca situasi. Namun kali ini
dia menolak untuk menggunakan akal sehat dan logikanya.
“Bagaimana bisa dia termasuk dalam
urusan pribadi kita? Apa mungkin dia juga mengurusi hal-hal seperti Wedding
Organizer?”
“Sepertinya bapak salah paham.”
Eliana sudah mulai mempersiapkan dirinya untuk mengatakan semua yang ingin dia katakan sejak tadi. Namun tidak dengan Aditya, dia tidak ingin dengar.
“Kamu tau, Eliana? Karena hubungan
baik ayahmu denganku, kamu nggak perlu sungkan untuk mengurus sendiri
pernikahan yang kamu inginkan. Kamu bisa…”
BRAK
Xander bangkit dengan kasar dari
tempat duduknya. Dia tahu tujuan mereka kali ini ke tempat Aditya untuk menolak
pernikahan yang sempat menjadi topik pembicaraan Aditya dengan ayah angkatnya
itu, namun Xander tidak bisa menahan perasaannya untuk meninju lelaki keras
kepala di hadapannya itu. Walaupun sulit, dia berusaha agar tetap waras dan sebisa
mungkin menahannya. Xander mohon diri dari pembicaraan mereka.
“Saya akan tunggu di luar.” Xander
beranjak dari tempat itu. Sebenarnya yang paling dia benci adalah, dia melihat
dengan jelas dan tahu kalau Aditya tidak berbohong atas perasaannya kepada
Eliana.
-
-
“Suatu kehormatan bagi saya bisa
mendapatkan perhatian dari Pak Aditya, dan saya tidak mungkin berbohong kalau
saya tidak senang…”
“Saya bisa mengusahakan apa yang
kamu inginkan, Eliana. Bahkan saya yakin Tio bisa dengan cepat menyukaimu.”
“Saya sangat tersanjung. Tapi urusan
hati bukanlah hal yang bisa kita paksakan, Pak…” Eliana memendarkan
pandangannya ke arah luar café. Di sana ada Xander yang menghadap ke arah
jalan, dan memperlihatkan punggungnya yang kesepian. “Dicintai dalam diam. Selama ini dia hanya
memberikannya tanpa berharap saya bisa mengembalikannya.”
“…” Aditya seketika merasa sangat
terpojok. Perasaannya terhadap Eliana bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Kepercayaan
diri yang dia bangun seketika runtuh.
“Kali ini, saya ingin melakukan
sesuatu untuknya.” Eliana tersenyum kepada Aditya. “Saya benar-benar berterima
kasih atas perasaan Pak Aditya terhadap saya dan…” dengan air mata yang
mengembang di pelupuk matanya, dia mengucapkan kalimat ini dengan sangat
hati-hati, “…maaf.”
Eliana undur diri setelah memberi
salam kepada Aditya.
Sebenarnya ada yang disembunyikan
oleh Aditya dari Eliana. Perasaan tertarik Aditya dengan Eliana memang tulus
dan murni. Namun saat pertama kali bertemu dengannya di Acara itu, Aditya merasakan
sikap Eliana sama seperti orang itu. Mengingatkannya terhadap mendiang istrinya
yang telah meninggalkan dunia ini terlebih dahulu.
“Ah… aku tahu, aku yang salah…”
Aditya menatap langit-langit café, berusaha untuk tidak menumpahkan semua
perasaannya dalam tetesan menyedihkan.
Aditya masih ingat dengan jelas,
janjinya kepada mendiang istrinya. Istrinya mengatakan di tengah kondisi
kritisnya, untuk mencarikan pengganti dirinya. Istrinya tidak mau, Aditya terus
sendiri dan meratapi kesepiannya. Dan Tio butuh sosok teman dan ibu yang terus
mendukungnya.
Sangat sulit mencari pengganti
istrinya yang bisa menjadi pendamping dan pendukung Tio dan dirinya, karena itu
saat bertemu Eliana dia berharap semuanya akan berjalan dengan lancar. Tapi
manusia itu hanya bisa berencana.
-
-
“B-bang…” dari kejauhan, Bia yang menggengam
ponselnya kuat-kuat. Tapi tangannya ditahan oleh James.
“Jangan, Bi…”
“Abang bego ya?! Ini berita besar,
Bang! Kesempatan langka dapet berita ekslusif kaya gini.” James tidak sengaja
mengeluarkan hampir setengah kekuatannya dan menahan tangan Gabia. Gabia pun
merasakan hal aneh, karena dia tidak pernah menganggap James sekuat ini. Rasa sakit
yang menjalar dipergelangan tangannya dia hiraukan karena ambisinya.
“Apa yang kamu dapat dari berita
seperti itu? Kamu bukan wartawan infotaiment, Bi. Dan lagi… cewek itu kan
temanmu.”
“Bang kita juga bisa cuma bikin info
highlight, dan nggak harus nampilin
mukanya El.”
“Nggak, Bi. Percaya sama abang, di
dunia ini semua nggak se-ideal yang kamu pikirkan. Demi kebaikan teman kamu
juga.” James menatap Bia dengan serius, tatapannya berbeda dari biasanya. Tanpa
sadar mematikan gerakan Bia. Bia mengangkat tangannya (yang sedari tadi
digenggam oleh James) sampai sejajar dengan pandangan James.
“Sakit, tau.” Wajah keduanya
memerah. Karena salah tingkah mereka jadi sibuk sendiri dan tidak menyadari
urusan orang-orang yang sedang mereka intai berakhir dengan suasana haru.
James melihat Aditya termenung sendirian
setelah Eliana pergi, dia tersenyum di tengah-tengah renungannya. Rasa kagum kembali memenuhi James. Sebelumnya dia berpikir Gubernur yang umurnya
tidak jauh berbeda dengannya ini, sangat mengagumkan. Profesionalitas terhadap
pekerjaan tidak diragukan lagi. Tapi saat ini dia melihat kebesaran hati yang
luar biasa dari seorang Aditya. Tidak mudah bagi seorang yang memiliki jabatan
serta ambisius tinggi dalam segala kinerjanya, bisa merelakan hal yang tidak
sesuai dengan rencananya.
Karena dia paham benar, manusia itu
adalah makhluk yang serakah.
--
Tio menghampiri Shania yang masih
sibuk dengan makalah penelitiannya.
Tahun ketiga ini jauh lebih berat
dari sebelumnya. Kuliah semakin membuat Shania sering hilang fokus pada
pekerjaan utamanya ini. Babysitting
Tio telah dia lakukan sejak 5 tahun yang lalu, tidak mungkin karena kuliahnya
dia harus merelakan pekerjaan utamanya dan berpisah dengan Tio yang sudah dia
anggap adik sendiri.
Berkat bekerja dengan Pak Aditya,
dia bisa berkuliah (meski dia telat 3 tahun). Berkat bekerja dengan Pak Aditya,
dia bisa menghidupi keluarganya. Berkat Pak Aditya, kehidupannya pun terjamin.
Kini semua yang ada dihadapannya terlihat seperti jalan gelap yang sudah
memiliki penerang.
Awalnya dia buta terhadap dunia
luar. Sedikit demi sedikit dia belajar dari Pak Aditya. Kadang bercengkrama
dengan Pak Aditya tentang dunia luar, atau dunia yang bahkan tidak akan pernah disentuhnya,
yaitu dunia politik, terasa menenangkan. Semua terbuka dengan baik di kepalanya
dan menjadikan wawasan baru yang menyenangkan.
Kalau saja tidak ada penyakit
narsisnya Pak Aditya, maka Shania berpikir Pak Aditya adalah orang sempurna
tanpa celah.
“Kak Shania! Papa nggak ketemu…”
tatapan Tio terlihat resah. Air matanya sudah sampai pelupuk matanya. Tio
sangat sayang kepada Ayahnya, dan dia selalu bilang ingin melindungi Ayahnya
karena tidak punya Ibu yang bisa menjaga Ayahnya. Entah sejak kapan pikiran Tio
menjadi dewasa sebelum waktunya begini. Tapi bisa jadi semuanya berkat Shania.
“Oh, Tio…” Shania menyimpan kembali
makalah penelitiannya ke dalam tas. “Aku bantu cari yah, yuk…” Dia menjulurkan
tangannya kepada Tio dan disambut dengan senyum cerianya.
Setelah berkeliling hampir setiap
lantai gedung ini, Tio dan Shania merasa sangat putus asa.
“Gi-gimana kalau Papa dijahatin sama
Om yang tadi…” tiba-tiba genggaman tangan Tio kepada Shania menguat. Shania
selalu mengajarkan kepada Tio untuk selalu kuat kalau ingin melindungi ayahnya.
Namun kali ini dia terlihat kehilangan rasa percaya dirinya untuk itu.
Shania menjajarkan tinggi tubuhnya
dengan Tio, “Tio, Papa Tio orang yang hebat kan?”
Tio menatap Shania sambil berusaha
untuk menahan air matanya yang jatuh, dan mengangguk dengan pasti saat
mendengar pertanyaan dari Shania.
“Orang hebat, nggak mungkin gampang
dijahatin orang. Orang hebat punya kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi
kekuatan dari Tio juga akan membantu Papa untuk bisa jadi lebih kuat lagi.”
Tio menghapus air matanya yang tidak
sengaja terjatuh. “Tapi…”
“Kamu liat Kakak? Saat ini kakak
juga lagi kesusahan karena banyak tugas sekolah. Tapi Papa Tio selalu bantu
Kakak dan Kakak jadi punya kekuatan untuk menyelesaikannya. Papa Tio bantu
Kakak dan Kakak jadi kuat.” Shania membantu Tio untuk menghapus air matanya dan
mengelus kepalanya Tio dengan lembut.
“Tio akan jadi kuat dan bantu Papa,
supaya Papa lebih kuat.” Tio mengepalkan kedua tangannya di depan dadanya. “Ayo
cari Papa lagi, Kak!” Tio mulai semangat lagi dan ketika hendak berlari maju,
dia melihat sosok ayahnya yang dirindukan. “PAPAAA!”
Tio berlari langsung dan Aditya
menyambut pelukan hangat dari buah hatinya.
“Kamu nyari-nyari Papa?”
“Iyaaa…” Airmatanya tidak bisa dia
tahan lagi, Tio menangis tersedu-sedu di bahu ayahnya.
“Maaf ya, seharian ini Papa janji
mau nemenin kamu jalan-jalan sekitar sini, tapi Papa ada urusan mendadak.”
Tio menggeleng dengan cepat, “Nggak
papa. Tio kuat.” Aditya tertawa lirih melihat ketegaran anaknya. Dia tidak
menyangka anaknya telah tumbuh jadi anak yang kuat.
“Maaf ya, saya janji kasih waktu
kamu buat belajar. Kamu malah kerepotan karena Tio nyari saya.”
“Tidak masalah, Pak.” Aditya dan
Shania berjalan menuju hall utama. “… karena urusan bapak sangat penting, jadi
bapak nggak punya pilihan kan?”
“Eh?” Aditya tidak tahu kenapa
Shania sangat pandai dalam menebak situasi. Tapi sepertinya dia memang tidak
bisa menyembunyikan apapun dari Shania.
“Dasi bapak nggak mau diperbaiki dulu? Bapak kelihatan kucel lho.”
“Eh masa?”
“Iya, jadi selevel di bawah Narcissus.”
Shania membuka tangannya, “Biar Tio sama saya, bapak ke toilet aja dulu.”
Aditya mengulang kembali apa yang di
dengarnya di depan lobi saat masuk ke gedung utama. “…Papa Tio bantu Kakak dan Kakak jadi kuat.” Dia selalu berpikir
bahwa menjadi kekuatan untuk seseorang itu adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi
menjadi kuat karena seseorang yang mendukung itu juga tidak kalah bagusnya.
Keluar dari toilet, Aditya disuguhkan
pemandangan yang menyenangkan. Saat Tio dan Shania yang duduk di bangku tunggu
tertawa dengan geli, menularkan tawa dan kebahagian di dalam dirinya.
“Hei…” Aditya menjajarkan dan
mencondongkan tubuhnya ke depan Tio dan Shania yang sedang duduk. “Kalian tahu
artinya ‘Gajah di pelupuk mata tak tampak’?” Kemudian matanya bertemu dengan
Shania. Lalu senyumnya mengembang dan membuat dentuman aneh di dada Shania.
“Itu…” baru saja Shania ingin buka
suara untuk menutupi rasa gugupnya dan sekaligus membuktikan bahwa dia itu
cerdas dan pintar. Tapi Aditya segera menggandeng tangan Tio, membuat
kesempatan Shania menjawab hilang.
“Kita ke dalam lagi.”
“Sial, jangan-jangan tadi itu kuis dadakan untuk naik gaji, aakkkkkkk” membayangkan kenaikan gaji yang
melayang begitu saja di depannya, Shania terlihat sangat frustasi.
Bersambung~
No comments:
Post a Comment