Sunday, May 17, 2020

[Story Blog Tour] Deserve To Be Happy

Asslamualaikum, alhamdulillah ya, masih balik lagi dan ngisi-ngisi kekosongan hati di sini, wakkaka

Eiii, kali ini saya kembali lagi dengan SBT (Story Blog Tour)!! *tepuk tangan dan kaki*

Story Blog Tour adalah sebuah challenge menulis yang dibuat beramai-ramai. Dimana member lain yang sudah diberi urutan, melanjutkan cerita sesuai imajinasi di blog pribadi masing-masing. Yang kami tentukan di awal hanya genre cerita. Karakter, plot, alur cerita, konflik akan berkembang seiring cerita. Diskusi mengenai kelanjutan cerita dilakukan seminim mungkin agar tidak mengurangi keseruan, efek kejutan dan plot twist yang terjadi pada tiap chapter.

Gue, Zu. Mendapat giliran menulis chapter KELIMA dari cerita kami yang bergenre Romance - Comedy. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini. Silakan membaca chapternya di sini, ya

Ep 1 : An Unspeakable Word by Saa
Ep 2 : A New Journey: Love? by Kenti
Ep 3 : Longing For You by Dhira
Ep 4 : Troublesome Personality by Nana
Ep 5 : Deserve To Be Happy by Zu
Ep 6 : still on progress


Ep. 5 Deserve To Be Happy

cr : tumblr

Aku hanya berusaha dan akan terus yakin kepada diriku sendiri, kalau aku pantas untuknya. Karena hanya dialah, aku merasa kehidupan ini patut untuk diperjuangkan.
--
Sesi interview dengan Aditya Ismail berjalan dengan baik. James sudah mengatakan berkali-kali pada dirinya bahwa tidak ada hal yang tidak bisa Bia lakukan dengan baik, kecuali dengan sikap temperamennya. Namun dengan profesionalitas yang dimiliki Bia semua bisa terkendali dengan baik.

“Nggak buruk juga.” James melihat Bia yang sedari tadi serius mengecek catatan dan recorder-nya setelah melakukan wawancara dengan Aditya. Dengan tatapan sendu, semu hangat di wajahnya, James terkekeh pelan.

“Jangan bilang sekarang Abang jadi sinting.” Bia tersadar dengan kekehan James yang membuatnya salah tingkah. Entah kenapa Bia merasa dirinya telah melakukan hal yang memalukan dan membuat James menertawakannya. Wajahnya bersemu merah.

“Kalo Abang sinting, kamu apa? Eh-” keluar begitu saja dari mulut James, tidak sengaja. Lalu tiba-tiba dia terkesiap, karena merasa salah bicara.

“Ish, aku mah waras.” Bia cemberut dan membuatnya terlihat menggemaskan. Entah karena moodnya sedang bagus, atau karena wawancara dengan Pak Gubernur, membuat suasana hatinya bagus. Kali ini sikapnya terlihat begitu imut di mata James.

“Gila sih. Bisa juga dia ngambek yang kayak gini. Super imooeetss!”

“Ngomong-ngomong Eliana dan Xander kemana ya? Apa langsung ke tempatnya Pak Gubernur?” Bia sudah menyingkirkan semua urusan kerjaannya dan sudah bersiap untuk pulang.

“Kamu ada perlu sama temenmu itu?” James mulai berjalan di sampingnya, menyelaraskan langkahnya dengan Bia.

“Gak juga sih. Aku punya firasat dia dan Xander akan nge-date, jadi nggak mungkin aku jadi nyamuk.”

“Kok jadi nyamuk?” tanya James bingung. Langkahnya berhenti, Bia malah memandangnya aneh.

“Kok abang bego sih, orang yang gangguin orang pacaran ya disebutnya ‘nyamuk’, pengganggu.”

“Loh, kamu kan bareng aku, masa masih disebut pengganggu?” James mengatakannya dengan wajah datar dan serius.

NYESSS.

Wajah Bia bak kepiting rebus, jantungnya seakan dihantam palu besar dan berdenyut keras. Rasanya sangat aneh. Bia sudah terbiasa atau lebih tepat muak dengan berbagai gombalan pria yang menyatakan perasaan cinta kepadanya, sehingga tidak pernah membuatnya menginginkan hal itu lagi.

Kali ini beda. Perasaan aneh ini datang dari sikap James yang tidak jelas. Dia tidak tahu apa  yang katakan itu bercanda, atau serius. Dan Bia tidak tau, apa maksud kalimat yang di lontarkan James itu. Semuanya ambigu. Membuat sensasi aneh yang menggelitik di perutnya Bia. Memunculkan satu kata yang sudah lama tidak pernah ia inginkan, kata itu adalah : berharap.

“Apa sih Bang James!!” Tabokan super kuat Bia melayang ke lengan James yang besar. Ya, besar, bukan berorot. “Y-yaudah aku mau nunggu El, di café belakang ajah!” Bia berjalan mendahului James yang masih mengaduh kesakitan karena tangannya terasa kebas, perih dan nyeri setelah dipukul oleh Bia.

“WUUOOO SUAKIT POOLLLL” sebagai lelaki sejati, James berusaha menahan rasa sakitnya dan tidak berkomentar akan rasa sakitnya itu. Setelah menghapus air matanya, James melihat Bia dari kejauhan. Dia terlihat menggaruk kepalanya dengan gelisah dan mengalihkan pandangannya ke belakang untuk melihat James.

“Bang… ikut ngga?” rajuk Bia. James menegakkan badannya dan tersenyum lebar.

“Iya.” Mungkin hari ini ada yang salah dengan Bia. Tapi James sangat yakin, bahwa sikapnya Bia kali ini adalah bagian dari diri Bia yang jarang orang lain tahu. Dan hari ini dia merasa telah menemukan sesuatu yang paling berharga baginya. “Kalau tau dia punya sisi kayak gini, nggak rugi juga kalau harus PDKT-in lebih gencar lagi.”

--

[Kami menunggu di café belakang Hotel Mutiara.] Pesan singkat Eliana kepada Aditya, sang gubernur.

Dan di sinilah, Aditya bersama Eliana dan Xander yang menunggunya saat dia sedang melakukan wawancara bersama James dan rekannya, Bia.

Sebelumnya dari kejauhan, Eliana dan Xander terlihat sangat hangat dan berbicang dengan santai dalam pandangan Aditya. Namun kini saat dia duduk di hadapan mereka, suasana mencengkam terpancar dari keduanya.

“Hemm, jadi?” Aditya memulai pembicaraan mereka, bermaksud untuk mencairkan suasana dengan melemparkan senyuman tertampannya kepada mereka. Syukur-syukur pujaan hati yang ada di hadapannya ini makin cinta dengannya.

“Maafkan saya, jadi menyita waktu Pak Aditya di tengah-tengah acara Bapak.” Eliana masih enggan mencairkan suasana yang dia bangun sejak Aditya duduk di hadapannya.

“Tidak masalah, tapi saya pikir kamu akan membicarakan hal yang sangat pribadi dengan saya.” Lalu Aditya melirik sebentar ke arah Xander, “Namun bapak yang satu ini…?”

“Xander adalah bagian dari pembicaraan pribadi kita.” Memang tidak banyak pengalaman Aditya tentang percintaan, namun siapapun yang ada di posisinya akan menyadari hal ini. Terlebih Aditya adalah orang berpendidikan yang sangat paham membaca situasi. Namun kali ini dia menolak untuk menggunakan akal sehat dan logikanya.

“Bagaimana bisa dia termasuk dalam urusan pribadi kita? Apa mungkin dia juga mengurusi hal-hal seperti Wedding Organizer?”

“Sepertinya bapak salah paham.” Eliana sudah mulai mempersiapkan dirinya untuk mengatakan semua yang ingin dia katakan sejak tadi. Namun tidak dengan Aditya, dia tidak ingin dengar.

“Kamu tau, Eliana? Karena hubungan baik ayahmu denganku, kamu nggak perlu sungkan untuk mengurus sendiri pernikahan yang kamu inginkan. Kamu bisa…”

BRAK

Xander bangkit dengan kasar dari tempat duduknya. Dia tahu tujuan mereka kali ini ke tempat Aditya untuk menolak pernikahan yang sempat menjadi topik pembicaraan Aditya dengan ayah angkatnya itu, namun Xander tidak bisa menahan perasaannya untuk meninju lelaki keras kepala di hadapannya itu. Walaupun sulit, dia berusaha agar tetap waras dan sebisa mungkin menahannya. Xander mohon diri dari pembicaraan mereka.

“Saya akan tunggu di luar.” Xander beranjak dari tempat itu. Sebenarnya yang paling dia benci adalah, dia melihat dengan jelas dan tahu kalau Aditya tidak berbohong atas perasaannya kepada Eliana.

-

-

“Suatu kehormatan bagi saya bisa mendapatkan perhatian dari Pak Aditya, dan saya tidak mungkin berbohong kalau saya tidak senang…”

“Saya bisa mengusahakan apa yang kamu inginkan, Eliana. Bahkan saya yakin Tio bisa dengan cepat menyukaimu.”

“Saya sangat tersanjung. Tapi urusan hati bukanlah hal yang bisa kita paksakan, Pak…” Eliana memendarkan pandangannya ke arah luar café. Di sana ada Xander yang menghadap ke arah jalan, dan memperlihatkan punggungnya yang kesepian. “Dicintai dalam diam. Selama ini dia hanya memberikannya tanpa berharap saya bisa mengembalikannya.”

“…” Aditya seketika merasa sangat terpojok. Perasaannya terhadap Eliana bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Kepercayaan diri yang dia bangun seketika runtuh.

“Kali ini, saya ingin melakukan sesuatu untuknya.” Eliana tersenyum kepada Aditya. “Saya benar-benar berterima kasih atas perasaan Pak Aditya terhadap saya dan…” dengan air mata yang mengembang di pelupuk matanya, dia mengucapkan kalimat ini dengan sangat hati-hati, “…maaf.”

Eliana undur diri setelah memberi salam kepada Aditya.

Sebenarnya ada yang disembunyikan oleh Aditya dari Eliana. Perasaan tertarik Aditya dengan Eliana memang tulus dan murni. Namun saat pertama kali bertemu dengannya di Acara itu, Aditya merasakan sikap Eliana sama seperti orang itu. Mengingatkannya terhadap mendiang istrinya yang telah meninggalkan dunia ini terlebih dahulu.

“Ah… aku tahu, aku yang salah…” Aditya menatap langit-langit café, berusaha untuk tidak menumpahkan semua perasaannya dalam tetesan menyedihkan.

Aditya masih ingat dengan jelas, janjinya kepada mendiang istrinya. Istrinya mengatakan di tengah kondisi kritisnya, untuk mencarikan pengganti dirinya. Istrinya tidak mau, Aditya terus sendiri dan meratapi kesepiannya. Dan Tio butuh sosok teman dan ibu yang terus mendukungnya.

Sangat sulit mencari pengganti istrinya yang bisa menjadi pendamping dan pendukung Tio dan dirinya, karena itu saat bertemu Eliana dia berharap semuanya akan berjalan dengan lancar. Tapi manusia itu hanya bisa berencana.   

-

-

“B-bang…” dari kejauhan, Bia yang menggengam ponselnya kuat-kuat. Tapi tangannya ditahan oleh James.

“Jangan, Bi…”

“Abang bego ya?! Ini berita besar, Bang! Kesempatan langka dapet berita ekslusif kaya gini.” James tidak sengaja mengeluarkan hampir setengah kekuatannya dan menahan tangan Gabia. Gabia pun merasakan hal aneh, karena dia tidak pernah menganggap James sekuat ini. Rasa sakit yang menjalar dipergelangan tangannya dia hiraukan karena ambisinya.

“Apa yang kamu dapat dari berita seperti itu? Kamu bukan wartawan infotaiment, Bi. Dan lagi… cewek itu kan temanmu.”

“Bang kita juga bisa cuma bikin info highlight, dan nggak harus nampilin mukanya El.”

“Nggak, Bi. Percaya sama abang, di dunia ini semua nggak se-ideal yang kamu pikirkan. Demi kebaikan teman kamu juga.” James menatap Bia dengan serius, tatapannya berbeda dari biasanya. Tanpa sadar mematikan gerakan Bia. Bia mengangkat tangannya (yang sedari tadi digenggam oleh James) sampai sejajar dengan pandangan James.

“Sakit, tau.” Wajah keduanya memerah. Karena salah tingkah mereka jadi sibuk sendiri dan tidak menyadari urusan orang-orang yang sedang mereka intai berakhir dengan suasana haru.

James melihat Aditya termenung sendirian setelah Eliana pergi, dia tersenyum di tengah-tengah renungannya. Rasa kagum kembali memenuhi James. Sebelumnya dia berpikir Gubernur yang umurnya tidak jauh berbeda dengannya ini, sangat mengagumkan. Profesionalitas terhadap pekerjaan tidak diragukan lagi. Tapi saat ini dia melihat kebesaran hati yang luar biasa dari seorang Aditya. Tidak mudah bagi seorang yang memiliki jabatan serta ambisius tinggi dalam segala kinerjanya, bisa merelakan hal yang tidak sesuai dengan rencananya.

Karena dia paham benar, manusia itu adalah makhluk yang serakah.

--

Tio menghampiri Shania yang masih sibuk dengan makalah penelitiannya.

Tahun ketiga ini jauh lebih berat dari sebelumnya. Kuliah semakin membuat Shania sering hilang fokus pada pekerjaan utamanya ini. Babysitting Tio telah dia lakukan sejak 5 tahun yang lalu, tidak mungkin karena kuliahnya dia harus merelakan pekerjaan utamanya dan berpisah dengan Tio yang sudah dia anggap adik sendiri.

Berkat bekerja dengan Pak Aditya, dia bisa berkuliah (meski dia telat 3 tahun). Berkat bekerja dengan Pak Aditya, dia bisa menghidupi keluarganya. Berkat Pak Aditya, kehidupannya pun terjamin. Kini semua yang ada dihadapannya terlihat seperti jalan gelap yang sudah memiliki penerang.

Awalnya dia buta terhadap dunia luar. Sedikit demi sedikit dia belajar dari Pak Aditya. Kadang bercengkrama dengan Pak Aditya tentang dunia luar, atau dunia yang bahkan tidak akan pernah disentuhnya, yaitu dunia politik, terasa menenangkan. Semua terbuka dengan baik di kepalanya dan menjadikan wawasan baru yang menyenangkan.

Kalau saja tidak ada penyakit narsisnya Pak Aditya, maka Shania berpikir Pak Aditya adalah orang sempurna tanpa celah.

“Kak Shania! Papa nggak ketemu…” tatapan Tio terlihat resah. Air matanya sudah sampai pelupuk matanya. Tio sangat sayang kepada Ayahnya, dan dia selalu bilang ingin melindungi Ayahnya karena tidak punya Ibu yang bisa menjaga Ayahnya. Entah sejak kapan pikiran Tio menjadi dewasa sebelum waktunya begini. Tapi bisa jadi semuanya berkat Shania.

“Oh, Tio…” Shania menyimpan kembali makalah penelitiannya ke dalam tas. “Aku bantu cari yah, yuk…” Dia menjulurkan tangannya kepada Tio dan disambut dengan senyum cerianya.

Setelah berkeliling hampir setiap lantai gedung ini, Tio dan Shania merasa sangat putus asa.

“Gi-gimana kalau Papa dijahatin sama Om yang tadi…” tiba-tiba genggaman tangan Tio kepada Shania menguat. Shania selalu mengajarkan kepada Tio untuk selalu kuat kalau ingin melindungi ayahnya. Namun kali ini dia terlihat kehilangan rasa percaya dirinya untuk itu.

Shania menjajarkan tinggi tubuhnya dengan Tio, “Tio, Papa Tio orang yang hebat kan?”

Tio menatap Shania sambil berusaha untuk menahan air matanya yang jatuh, dan mengangguk dengan pasti saat mendengar pertanyaan dari Shania.

“Orang hebat, nggak mungkin gampang dijahatin orang. Orang hebat punya kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi kekuatan dari Tio juga akan membantu Papa untuk bisa jadi lebih kuat lagi.”

Tio menghapus air matanya yang tidak sengaja terjatuh. “Tapi…”

“Kamu liat Kakak? Saat ini kakak juga lagi kesusahan karena banyak tugas sekolah. Tapi Papa Tio selalu bantu Kakak dan Kakak jadi punya kekuatan untuk menyelesaikannya. Papa Tio bantu Kakak dan Kakak jadi kuat.” Shania membantu Tio untuk menghapus air matanya dan mengelus kepalanya Tio dengan lembut.

“Tio akan jadi kuat dan bantu Papa, supaya Papa lebih kuat.” Tio mengepalkan kedua tangannya di depan dadanya. “Ayo cari Papa lagi, Kak!” Tio mulai semangat lagi dan ketika hendak berlari maju, dia melihat sosok ayahnya yang dirindukan. “PAPAAA!”

Tio berlari langsung dan Aditya menyambut pelukan hangat dari buah hatinya.

“Kamu nyari-nyari Papa?”

“Iyaaa…” Airmatanya tidak bisa dia tahan lagi, Tio menangis tersedu-sedu di bahu ayahnya.

“Maaf ya, seharian ini Papa janji mau nemenin kamu jalan-jalan sekitar sini, tapi Papa ada urusan mendadak.”

Tio menggeleng dengan cepat, “Nggak papa. Tio kuat.” Aditya tertawa lirih melihat ketegaran anaknya. Dia tidak menyangka anaknya telah tumbuh jadi anak yang kuat.

“Maaf ya, saya janji kasih waktu kamu buat belajar. Kamu malah kerepotan karena Tio nyari saya.”

“Tidak masalah, Pak.” Aditya dan Shania berjalan menuju hall utama. “… karena urusan bapak sangat penting, jadi bapak nggak punya pilihan kan?”

“Eh?” Aditya tidak tahu kenapa Shania sangat pandai dalam menebak situasi. Tapi sepertinya dia memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Shania.

“Dasi bapak nggak mau diperbaiki dulu? Bapak kelihatan kucel lho.”

“Eh masa?”

“Iya, jadi selevel di bawah Narcissus.” Shania membuka tangannya, “Biar Tio sama saya, bapak ke toilet aja dulu.”

Aditya mengulang kembali apa yang di dengarnya di depan lobi saat masuk ke gedung utama. “…Papa Tio bantu Kakak dan Kakak jadi kuat.” Dia selalu berpikir bahwa menjadi kekuatan untuk seseorang itu adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi menjadi kuat karena seseorang yang mendukung itu juga tidak kalah bagusnya.

Keluar dari toilet, Aditya disuguhkan pemandangan yang menyenangkan. Saat Tio dan Shania yang duduk di bangku tunggu tertawa dengan geli, menularkan tawa dan kebahagian di dalam dirinya.

“Hei…” Aditya menjajarkan dan mencondongkan tubuhnya ke depan Tio dan Shania yang sedang duduk. “Kalian tahu artinya ‘Gajah di pelupuk mata tak tampak’?” Kemudian matanya bertemu dengan Shania. Lalu senyumnya mengembang dan membuat dentuman aneh di dada Shania.

“Itu…” baru saja Shania ingin buka suara untuk menutupi rasa gugupnya dan sekaligus membuktikan bahwa dia itu cerdas dan pintar. Tapi Aditya segera menggandeng tangan Tio, membuat kesempatan Shania menjawab hilang.

“Kita ke dalam lagi.”

“Sial, jangan-jangan tadi itu kuis dadakan untuk naik gaji, aakkkkkkk” membayangkan kenaikan gaji yang melayang begitu saja di depannya, Shania terlihat sangat frustasi.

Bersambung~

No comments:

Post a Comment