Berikut adalah fanfic serial Card Captor Sakura yang berkolaborasi dengan Emud. Pemilik cerita CCS original tetap CLAMP, dan semoga cerita ini tidak merusak image tokoh-tokoh yang dibuat oleh CLAMP. Mohon dimaklumi apabila ada yang tidak sesuai dari cerita atau pun penokohan. Fanfic ini dibuat semata-mata hanya penyaluran hobi dan rasa gemas kami.
Jaa, cekidot~!
BERUBAH
Sakura PoV
![]() |
Source : Zerochan.net |
“Ohayou,
Sakura~” Tomoyo seperti biasa selalu datang dengan keceriaan yang memberi kesan
lembut dalam setiap geraknya.
“Ohayou, Tomoyo!”
“Hari ini pun kamu manis sekali, Sakura!” Sapaan
yang seperti biasa dari Tomoyo.
Ya... perlu diakui sih, semakin dewasa prilaku
Tomoyo semakin berubah. Tomoyo hampir tidak pernah lagi membawa handycam di setiap kesempatan. Hanya
kalau ada acara-acara penting saja. Dan juga sejak clow card terkumpul Tomoyo hampir tidak pernah lagi membuatkanku
baju-baju uniknya itu.
Ada sedikit rasa kesepian di hati, namun aku
bersyukur Tomoyo sudah bisa bersikap seperti layaknya anak perempuan biasa.
Cara bicaranya pun kini sedikit berubah. Tomoyo hampir sudah tidak pernah
memakai bahasa-bahasa sopan kalau sedang berbicara dengan teman-teman. Meskipun
penampilan Tomoyo tidak banyak berubah dengan rambut panjangnya yang hitam dan
lurus terurai itu, dia tumbuh dengan baik menjadi gadis yang menarik.
“Hei, Sakura. Apa natal tahun ini Lee Shaoran nggak
kembali juga?” tanya Tomoyo dengan penuh selidik.
Aku hanya tersenyum pahit. “Aku nggak mendapat kabar
apapun darinya.”
“Apa-apaan sih si Lee Shaoran itu, ih!” Sekarang pun
Tomoyo bisa dengan lebih jujur untuk mengungkapkan isi hatinya. Misalnya kalau
sedang kesal dengan seseorang tak jarang Tomoyo mengumpat kesal.
Wajar saja sih, sudah empat tahun berlalu dari
kejadian malam itu. Pasti banyak hal berubah di sekeliling kita.
“Tidak
masalah kalau Shaoran tidak bisa benar-benar mengingat siapa aku... Aku
menyukaimu. Shaoran-lah orang yang paling berarti bagiku!”
“Ya,
aku juga, Sakura...”
Tiba-tiba saja wajahku memanas.
Mengingat kejadian itu tak jarang membuat jantungku
berdebar. Sayangnya orang yang tak pernah lepas dari pikiranku ini, tidak
pernah lagi terlihat batang hidungnya di Jepang. Setelah malam itu, Shaoran
bilang dia ditelepon oleh ibunya dan harus segera pulang. Dan selama empat
tahun ini kami hanya sesekali bertukar email. Nampaknya dia sibuk sekali di
sana dan tidak ada waktu untuk memikirkanku. Terkadang aku ingin mengeluarkan
umpatan kesalku juga seperti yang Tomoyo lakukan.
Tapi, aku hanyalah orang bodoh yang sedang dibutakan
oleh rasa suka. Aku benci!
Aku menggelengkan kepalaku dengan gemas.
“Hei, Sakura~~ Selamat pagi!”
“Pagi Jiro...” Jawab Tomoyo yang langsung mengambil
posisi di depanku.
“Tomoyo, lagi-lagi kamu! Aku kan lagi ngomong sama
Sakura!”
“Jiro, sudah kuperingatkan berkali-kali sama kamu,
kalau Sakura tuh nggak bisa diganggu!”
Dan menurutku ini adalah salah satu faktor kenapa
Tomoyo berubah. Jiro, teman kami sejak SMP hingga kelas 2 SMA ini. Ajaibnya,
kami bertiga bisa satu kelas selama empat tahun berturut-turut.
“Tomoyo, Jiro, sudahlah... masih pagi begini lho.”
Lalu kualihkan pandangku ke Jiro. “Pagi juga
Jiro” Sejujurnya aku malah lebih penasaran hubungan antara mereka
berdua. Mereka selalu berselisih pendapat, tapi aku ustru melihat keakraban di
antara mereka. Aku pun tidak tahu kapan tepatnya mereka menjadi seperti ini.
“Kamu harus ingat perjanjian kita ya...” samar-samar
terdengar seperti itu setelah Tomoyo menarik Jiro agak menjauh dariku.
Namun, suara bel masuk berbunyi membuatku urung
untuk menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan.
--
Hari ini pun sekolah berjalan dengan biasa. Sejak
semua clow card terkumpul, aku merasakan
semuanya terasa hambar. Kalau perubahan Tomoyo sangat kontras terlihat dengan
dirinya empat tahun yang lalu, tapi tidak denganku.
Hoee,
Aku ini mikir apa sih!!
“...ra! Sakura!” Tomoyo meneriaki namaku untuk
membangunkanku dari khayalanku.
“E-eh... Maaf Tomoyo, apa tadi?”
“Kamu sedang melamunkan Lee?”
“Hoee, nggak kok! Ta-tadi itu aku sedang memikirkan
bahan-bahan kue yang diminta Kak Toya...”
“Masa sih?” Tomoyo melihatku dengan penuh arti. Aku mengangguk
dengan cepat. Ya kalau aku tidak berbohong mau ditaruh di mana mukaku.
“Kalau begitu, tidak masalah kan kalau natal tahun
ini aku tidak bersamamu?” Eh? Muka Tomoyo bersemu merah. Sudah jarang sekali
aku melihatnya seperti ini lagi.
“Sesungguhnya aku ingin sekali, ingiiinn sekali.
Tapi... ya itu tadi.”
“Eh?” Aku bengong karena sama sekali tidak paham
dengan apa yang dikatakan Tomoyo.
“Kamu nggak mendengarkanku ya tadi?” Tomoyo
menggembungkan pipinya dengan lucu. Wajahnya bersemu merah dan enggan untuk
mengatakan apa-apa lagi. “Pokonya sebagai gantinya aku sudah menyiapkan
beberapa hadiah untukmu.”
“Ah, kamu nggak usah repot-repot Tomoyo...”
Tapi dengan sigap Tomoyo langsung menggenggam
tanganku dan melihatku dengan wajah penuh dengan harap.
“Sakura, aku... padahal aku sudah menyiapkan handycam...” air mata Tomoyo mengembang
di sudut matanya.
“Ahaha nggak papa kok, Tomoyo. Aku bisa merayakan
natal nanti bersama Kak Toya, Kero, dan Kak Yukito kok.”
“Oh tidak, bukan dengan mereka Sakura.”
“Eh?”
“Pokoknya, sudah kusiapkan hadiah untukmu.” Tomoyo
bergegas melihat jam tangannya. Lalu dia segera pergi dan pamit kepadaku ketika
melihat mobil jemputannya. Tomoyo seperti mengatakan sesuatu tentang ‘packing’. Apa dia akan pergi ke suatu
tempat ya?
Uhh... ada apa dengan isi kepalaku ini. Aku terlalu
mengharapkan kedatangan orang yang belum tentu di sana memikirkanku.
Jujur saja, sepertinya selama empat tahun ini aku
memang sudah berharap terlalu jauh. Misalnya mengharapkan kedatangannya saat
hari ulang tahunku, atau saat kelulusanku di SMP atau misalnya saat musim
liburan. Tapi apa yang aku dapatkan, hanya ucapan selamat melalui email!
Ya
Tuhan!
Sejujurnya aku ingin sekali bertanya pada Lee
Shaoran itu, “Aku sedang berpacaran dengan agen asuransi atau apa sih!”
Tapi ujung-ujungnya aku tidak mengatakannya. Aku
terlalu takut untuk kehilangan dia. Aku takut perasaannya dengan mudah akan
berubah. Aku takut menerima kenyataan kalau hanya akulah yang terus menyukainya.
Tapi aku tidak sanggup melakukan apa-apa selain berharap.
Kinomoto
Sakura, kamu tidak pernah berubah.
--
“Waah, hari ini menunya Nasi Kare~! Asyik sudah lama
sekali ayah nggak bikin Kare.” Kuatur posisi dudukku dan bersiap untuk
menyantap hidangan yang disediakan ayah.
“Ayah nggak mau mengambil resiko kalau berat badan
anaknya bertambah setiap minggu.”
Mulai lagi, mulut tajam Kak Toya ini tidak pernah
berubah dari jaman ke jaman. Rasanya aku mengirimkannya ke planet lain dan
mengisolasinya di sana.
“Karena hari ini adalah hari terakhir Sakura masuk
sekolah di tahun ini, maka ayah sedikit ingin merayakannya.”
“Ah, betul juga! Aku hampir lupa, kalau hari ini
masuk sekolah di tahun ini. Aku bahkan mengira besok masih harus pergi
sekolah.”
“Biasanya orang yang seperti itu, tandanya dia
sedang berusaha menghibur diri sendiri dari segala harapan. Karena itu, rasanya
ingin pergi ke sekolah terus biar nggak fokus pada hal yang dia pikirkan
terus.”
Bisa-bisanya Kak Toya membaca pikiranku! Aku ingin
membalas ucapannya itu dengan menginjak kakinya atau melempar mangkuk Kare ini
ke mukanya, tapi tentu saja tidak aku lakukan. Karena aku malah sibuk dengan
debaran hati yang tidak jelas ini. Sial!
“Hanya orang bodoh yang mau ditinggal begitu lama,
tanpa ada kabar yang jelas.” Aku yakin benar, kalau Kak Toya telah membaca
email-email Shaoran yang ada di komputerku. Keterlaluan! Tidak sopan!
Argh!
Ya Tuhan buatlah orang ini segera menikah dengan seseorang dan keluar dari
rumah ini!
Ting
tong!
Tepat sebelum Kak Toya membuka mulut lagi dan aku
bersiap melemparkan gelas tehku padanya, bel pintu berbunyi.
“Sakura tolong ya...”
“...oke, Yah.”
Ayah yang sedari tadi melihat kami perang dingin
menghela napas lega dan menyuruhku untuk membukakan pintu. Sayup-sayup aku mendengar
ayah menasehati Kak Toya. Tapi seperti biasa, usahanya sia-sia. Bisa jadi Kak
Toya adalah kutukan buatku, dan dia akan menghujaniku dengan kata-kata menyebalkan
sampai aku mati nanti. Ih, sial banget!
Ting
tong!
“Ya, seben...”
Ya, Tuhan...
Tidak cukupkah hukuman tadi? Kak Toya sudah menjadi
hukuman yang paling berat hari ini, Tuhan...
Tolong jangan hukum aku dengan cobaan yang tidak
bisa aku pikul sendiri...
Kalau ini cuma mimpi, tolong jangan buat jantungku
berdebar secepat ini, Tuhan.
“Hei...” suara itu telah berubah. Aku hafal benar
dengan suaranya empat tahun yang lalu. Jadi aku sangat yakin kalau suara itu
berubah.
Tubuhnya pun jauh lebih tinggi. Model rambutnya
masih sama, tapi entah kenapa terlihat lebih pas dengan wajahnya yang sekarang,
semakin tegas. Oke, aku akan berkata jujur. Dia berubah menjadi sangat sangat
menawan dan... ganteng.
“Sha- Shaoran...?” aku masih tidak menyangka kalau
yang ada di depanku ini adalah Shaoran yang sesungguhnya. Apa ini mimpi? Ya,
Tuhan... kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku.
“Boleh aku masuk?” Shaoran membenarkan posisi ransel
yang digembloknya dan terlihat kedinginan karena berdiri terlalu lama di luar.
“Ho- hoeee... Ma-maaf, ayo masuk.” Shaoran membuka
pintu pagar dan menuju ke arahku. Shaoran berhenti persis ketika posisinya di
sampingku.
Tanganku mulai terasa dingin karena angin malam yang
bertiup. Namun tiba-tiba ada kehangatan yang diantarkan oleh sarung tangan
berbahan dasar wol.
Shaoran menggenggam erat tanganku. “Maaf tiba-tiba
dan membuatmu kaget.”
Aku yakin sekali, Shaoran menyinggungkan senyum
sebelum akhirnya dia masuk dan memberikan salam kepada keluargaku.
“I... ini bukan mimpi...” aku berbisik lirih.
Shaoran
yang aslii!! Hoeeee~~
--
Lanjut ke Chapter 2 dong~
Zuuuuuuu
ReplyDelete