Yang belom baca Chapter 2-nya, jangan lupa mampir dulu ke sini.
Seperti yang diketahui, untuk fanfic ini dibuat per-chapter dan per-pov. Saya bertugas membuat di POV Sakura, dan Emud di POV Shaoran. Mohon maaf kalau OOC, semoga ngga parah, dan inilah fanficnyaaaa~~~~
Cekidot!
TAMAN PINGUIN
SAKURA POV
![]() |
Source : Zerochan.net |
Tinit tinit tinit!
Selama
dua menit alarm itu terus berbunyi, namun bukannya bangun aku malah semakin
merapatkan tubuhku dengan selimut, tidak mau beranjak dari tempat tidur.
“Sakuraaaa...
banguuuun.” Kero dengan susah payah menyingkap selimut yang menutupi wajahku.
“Bangun Sakura, aku lap...” Kero menghentikan kalimatnya begitu melihat wajahku
yang kacau. Ya, itu pasti.
Semalam
suntuk aku menangis. Tentu saja alasannya sepele menurut kalian, tapi tidak
bagiku.
Orang
yang sangat ingin aku temui selama empat tahun, kemarin sengaja datang dari
jauh untuk menemuiku. Dan belum genap dia ada satu jam di rumah ini, dengan
teganya Kak Toya mengusirnya tanpa perasaan. Keterlaluan! Tidak punya hati!
Hati
mana yang tidak hancur kalau melihat orang yang kita sukai diperlakukan seperti
itu?
“...
kau nggak apa-apa Sakura? Wajahmu kacau sekali,” tanya Kero dengan khawatir.
“Memang
yang seperti ini bisa dibilang nggak apa-apa?”
“Err...”
Ting!
Smartphoneku
berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Dengan
malas aku mengambilnya, setelah mematikan alarm yang sejak tadi tidak berhenti
berbunyi.
From : Lee Shaoran
Hari ini luang?
Bisa ketemuan? Jam 11 di Taman Pinguin, gimana?
Sanking
senangnya. Sedetik setelah membacanya aku langsung tersenyum, sambil memeluk
smartphone-ku dan tertawa-tawa sendiri.
“Sepertinya
kau benar-benar nggak sehat...” cetus Kero.
“Ah,
Kero~” Karena merasa malu aku memukul Kero sampai dia terjatuh ke tempat tidur.
“Aduh...”
baru saja Kero ingin melakukan serangan balasan dengan melemparkan bantal
kepadaku, tapi gerakan tangannya berhenti karena omonganku.
“Sudah,
Kero. Aku nggak ada waktu buat ngobrol nih. Aku buru-buru.” Dengan sigap aku
turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi setelah membalas pesan Shaoran.
Sekilas
aku hanya melihat Kero yang bengong, seperti sedang heran dengan sikapku.
Kuakui,
mungkin sikapku sedikit tidak biasa. Tidak sedikit? Oke oke, terserah saja.
Tapi
untuk merasakan berbagai macam rasa pada saat yang berdekatan itu wajar kan?
Misalnya, tadi aku merasa sedih dan kacau, lalu beberapa menit setelah menerima
pesan dari Shaoran membuatku senang bukan main. Wajar kan?
Ya,
harusnya sih wajar. Atau cuma aku?
--
“Sakura,
apa sih yang kau lakukan?” Kero melihatku yang sedang berdiri di depan cermin
dengan gelisah. Tangannya terlipat di depan data, dan kepalanya menggeleng
lemah. “Kau yakin nggak mau ke dokter?”
Aku
hanya bersenandung senang dan tak memperdulikan pertanyaan Kero—yang alih-alih
menyindirku—itu, aku melihat dari cermin di meja riasku, respon Kero yang merengut
kesal.
Kukuncir
rambut panjang sebahuku dan kuatur sedemikian rupa selama 10 menit. Tapi karena
merasa tidak suka dengan hasilnya, akhirnya aku melepas kembali kunciran yang
sudah kutata selama 10 menit tadi dan membiarkan rambut sebahuku tergerai
begitu saja. Kusematkan beberapa jepitan lucu untuk memberikan kesan manis.
Yes, sempurna!
Aku
tersenyum puas.
“Bukannya
itu sama saja dengan yang pertama tadi?” komen Kero.
Sial.
Benar juga sih. Rasanya... aku terlalu berlebihan sampai bertingkah seperti
ini.
“Sakura...
lapaaaar,” Kero tergeletak lemas di depan meja riasku.
“Hoee,
maaf Kero. Akan kuambilkan sarapanmu ya...”
Saat
sedang menuruni anak tangga, aku mendengar Kak Toya sudah mulai merapalkan
kalimat-kalimat sihir untuk mengutukku.
“Mentang-mentang
libur, tidur sampai siang. Kalau mau sarapan, urus sendiri. Oh, iya, ayah sudah
berangkat kerja dan aku...” Omongan Kak Toya terhenti saat melihatku. “Mau
pergi kemana?”
“Bu-bukan
urusan Kakak, kan?” aku menjulurkan lidah ke arah Kak Toya yang tiba-tiba saja
jadi ragu untuk berangkat kerja.
“Bukan
menemui bocah itu kan?”
Hoeee~!
Tiba-tiba
jantungku berdegup kencang. Aku yakin saat ini Kak Toya sedang memandangku
dengan sinis. Punggungku bisa merasakan tatapan tajamnya. Terasa perih dan
panas.
“Sakura,
ingat sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan anak itu mendekatimu.” Baru
saja aku ingin berbalik untuk potes kepadanya, namun kakak sudah bergegas pergi
ke tempat kerjanya.
Dasar
kakak bodoh!
--
Kriingg!
Tepat
sebelum pergi, telepon berdering. Dari Tomoyo.
“Hai, Sakura... Kabarmu pasti baik? Aku nggak
ganggu, kan? Lagi berduaan sama Lee ya? Ah... rasanya aku ingin sekali berada
di sana... dan merekam semuanya.”
“Pelan-pelan
Tomoyo...” aku terkikih geli karena Tomoyo tak memberi kesempatanku untuk
menjawabnya.
Aku
menceritakan kejadian semalam kepada Tomoyo dan mengatakan sekarang Shaoran
tidak ada di sini. Awalnya Tomoyo sempat kesal juga dengan tingkah Kak Toya,
namun pada akhirnya Tomoyo mengatakan kalau dia mengerti perasaan Kak Toya. Aku
yang tidak mengerti lagi-lagi mengalah dalam topik itu.
“Tapi
terima kasih ya, Tomoyo. Sejak awal aku tahu, Shaoran datang ke sini itu semua
berkat usaha kerasmu. Karena meskipun aku merinduknnya, aku nggak bisa berbuat
apa-apa. Aku ini benar-bnar menyedihkan...”
“Hei, kenapa kamu bicara begitu... Aku akan senang
kalau kamu juga senang, Sakura.”
“Tapi
karena sibuk mengurusi hubunganku dengan Shaoran, kamu jadi tidak memikirkan
dirimu sendiri...”
“Eh, Maksudmu?” Jeda sejenak, namun
Tomoyo segera paham maksudku. “Oh... Tenanglah,
Sakura. Aku tahu kapan harus bergerak...” Aku seperti mendengar Tomoyo
sedang dipanggil seseorang dan berbincang sebentar kepadanya. “Sudah dulu, ya Sakura.”
Sambungan
langsung terputus saat Tomoyo pamit.
Eh? Tunggu dulu, Tomoyo
mengatakan ‘aku tahu kapan harus bergerak...’? Hoeee, apa itu berarti ada orang
yang dia sukai?
“Siapa
ya orang itu? Bisa jadi orang itu adalah Jiro?” Aku mulai meracau tidak jelas.
--
From : Lee Shaoran.
Jam 11, di Taman pinguin ya.
Sampai Nanti.
Ah,
karena terlalu bersemangat, aku datang lebih cepat 30 menit dari jam yang
dijanjikan. Tapi sepertinya wajar saja, kan? Bagaimanapun juga ini adalah date pertama kami setelah sekian lama
aku tidak bisa bertemu dengannya.
Aku
terkejut saat menyadari kalau di dalam taman pinguin terlihat seorang cowok familiar
yang tengah duduk di bangku taman.
“Sha-Shaoran...?”
Shaoran
pun kaget. Mungkin dia juga tidak berpikir akan mendapati aku sudah berada di
taman ini lebih cepat dari jam yang dijanjikan. Namun, senyum di wajahnya
menggantikan rasa kaget kami berdua.
“Hai...”
“Em...
Ha-hai...” aku tesenyum canggung.
Setelah
saling sapa dan dia menawarkanku duduk di bangku taman itu. Kami terdiam cukup
lama. Aku bahkan berpikir, ‘apa sebelum jam 11 kita dilarang berbincang?’.
Tentu saja itu pikiran bodohku.
“Em...
Bagaimana kabarmu?” Kemarin bahkan aku belum sempat menanyakan kabarnya. Dan tiba-tiba
rasanya aku sangat membenci Kak Toya.
Mendengar
pertanyaanku Shaoran tersenyum lagi.
“Menurutmu,
bagaimana?” Aku memandangnya bingung. “Tidak bertemu orang yang kusukai selama
empat tahun, aku rasa bukan termasuk kabar yang baik.”
Hoeee--- jangtungku! Aku merasakan rasa panas yang
menjalar di kedua pipiku, dan tidak sanggup memandangnya. “Ka-kalau begitu
kenapa nggak pernah datang menemuiku?”
“Aku
rasa aku sudah bilang alasannya pada ayahmu kemarin.”
“Kalau
begitu alasannya, aku nggak mau terima.” Aku melihatnya dengan sedikit kesal
dan menatapnya. Tapi lagi-lagi dia tersenyum setelah mata kami bertemu cukup
lama. Dan entah kenapa senyumnya selalu bisa membuatku sesak napas.
“Jadi
kamu mau aku bilang gimana?” aku tidak tahu Shaoran itu sengaja mengusiliku
atau apa, tapi jelas-jelas dia sengaja mendekatkan tubuhnya ke arahku tanpa
memperhitungkan jantungku yang bisa berhenti kapan pun.
“Ya-ya...
terserah. Ya-yang lebih masuk akal.” Lalu Shaoran tertawa pelan.
“Kalau
kamu marah wajar kok...” katanya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
Tatapan matanya yang teduh membuatku ingin menangis karena aku bisa merasakan
kerinduan yang teramat hanya dengan menatapnya. Bisa saja saat ini juga, aku
memeluknya dan menangis di pelukannya. Tapi sebelum itu kulakukan...
Krauk, krauk, krauk!
Terdengar
seperti ada seseorang yang sedang makan sesuatu.
Hoooeee!!!
“Ke-Kero!?”
“Huaa!
Kuenya!!” Shaoran tiba-tiba teriak panik.
“Eh?
Kue?”
“Apa
yang kau lakukan Kerberos!” Shaoran merebut bungkus kue yang dimakan oleh Kero.
“Kueku!!”
protes Kero.
Kenapa
Kero bisa di sini? Dan sejak kapan? Itu berarti dia memperhatikan kami sejak
tadi?
“Tinggal setengah...” wajah Shaoran terlihat
sangat merasa bersalah. “Maaf, Sakura. Padahal aku berniat untuk memberikannya
padamu tadi...”
Meski
awalnya aku bingung, aku langsung mengerti kondisinya. Aku menggeleng
cepat-cepat, “Nggak apa. Akan kuterima sisanya...” Aku mengulurkan tanganku ke
arahnya dan Shaoran memberikannya padaku dengan ragu. “Keliahatannya enak. Kamu
membuatkannya sendiri untukku?”
“Kueku...”
Kero melihat bungkus kue yang berpindah tangan dengan wajah sedihnya.
“Yah,
dibantu sedikit oleh Yukito-san.” Shaoran menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Dia terlihat menggemaskan ketika sedang malu.
“Kamu
tinggal di tempatnya Kak Yukito?”
“Kebetulan
saat kemarin sedang mencari penginapan aku bertemu dengannya dan dia menawarkan
untuk menginap di rumahnya.”
“Wah
keliatannya asik.”
“Yeah...”
aku tahu Shaoran tampak tidak senang saat aku mengatakan seperti itu. Karena
Shaoran sangat paham bagaimana dulu perasaanku deengan Kak Yukito.
“Dan
Kero! Kenapa kamu bisa di sini!?”
“Hee!?
Ya-yah... aku pikir kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Sakura. Jadi
ketika kau sedang menelpon, aku diam-diam masuk ke tasmu. Dan ternyata benar!!
Bocah ini membawakan kue! Itu kuekuuu!!” Kero berusaha untuk mengambil kue dari
tanganku namun aku mencegahnya.
“Ini
milikku, Kero! Dan sekarang jadi tinggal sedikit begini...”
“Tidak,
itu kueku!!!” Kero menarik kuenya dari tanganku, namun tidak kubiarkan.
Karena
melihatku dan Kero, Shaoran akhirnya buka mulut.
“Kalau
begitu bagaimana kita ke cafe sekalian untuk makan siang?”
“Eh?”
“Asiik!”
Kero berteriak kegirangan dan melepaskan kue itu dari tangannya.
“Hei,
bocah! Lama nggak ketemu ternyata kau semakin pintar.” Kero menepuk pundak
Shaoran dengan gayanya yang sok.
Tidak
begini! Harusnya ini kencan pertamaku dengan Shaoran! Hanya berdua, aku dan
Shaoran. Kenapa Kero harus ikut juga!?
Tidaaak!
“Ayo?”
sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menangis, tangan Shaoran yang hangat
menggenggam tanganku dan menarikku pergi dari taman itu.
Baiklah, kali ini aku memaafkan
Kero. Aku
merasakan rasa hangat yang sampai pada kedua pipiku
--
“Silahkan
dilihat dulu menunya~” kata Jiro tersenyum lebar ke arahku.
Dan
apa lagi ini, kenapa saat aku mau berdua saja dengan Shaoran, orang-orang yang
kukenal bermunculan di depanku?
“Ah,
terima kasih Jiro...” kataku seraya tersenyum kepadanya. Setelah itu Jiro
memperhatikan Shaoran.
“Dia
temanmu, Sakura?”
“Bu-bukan...
Pa-pa...”
“Aku
pacarnya.” Shaoran menyinggungkan senyum dan menjulurkan tangannya untuk
berjabat tangan dengan Jiro. Namun karena Jiro tidak menyambut, Shaoran
menurunkan kembali tangannya.
Jiro
terlihat kaget dan terdiam lama sekali. Ada apa dengannya?
“Kamu
kerja sambilan di sini, Jiro?” aku coba memanggilnya namun Jiro masih tetap
terdiam, hanya bergeming.
“Halo?
Jiro?” Kulambaikan tanganku di depan wajahnya dan dia terbangun dari lamunannya.
“A-ah,
i-iya Sakura?” Sepertinya dia sudah tersadar.
“Kamu
kerja sambilan di sini?”
“...
ya, baru beberapa hari.”
“Ah,
begitu. Oh, iya. Aku pilih yang ini aja. Kamu gimana, Shaoran?”
“Aku
juga sama.”
“Oh,
dan ini satu ya,” sambil menunjuk salah satu menu. Tidak lupa aku memilihkan
makanan untuk Kero yang sekarang sedang bersembunyi di bawah meja.
“Ya,
ditunggu sebentar.”
Sesungguhnya
bertemu Jiro barusan membuatku tidak nyaman. Tapi mungkin itu hanya perasaanku
saja. Tapi karena aku dan Shaoran bisa menikmati acara makan siang kami dengan
sangat menyenangkan, lagi-lagi semua hal yang mengganggu termaafkan. Kero pun
hanya makan dengan tenang di bawah meja.
Bisa
dikatakan kencan hari ini cukup berhasil. Meskipun entah kenapa saat sedang
makan makanannya, Shaoran terlihat sedikit aneh. Tapi setelah kutanya, dia
menjawab seakan semua baik-baik saja.
Setelah
makan siang, aku dan Shaoran pergi ke berbagai toko untuk melihat-lihat.
Beruntung, Kero tertidur pulas di dalam tasku, jadi kami benar-benar menikmati
kebersamaan kami. Tapi beberapa kali Shaoran terlihat sedang mengamati sesuatu
namun dia selalu meyakinkanku tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Orange juice?” Shaoran memberikan
minuman kepadaku.
“Terima
kasih...” berhenti sejenak sebelum akhirnya kami menyudahi kencan pertama kami.
Shaoran menawarkanku untuk meminum sesuatu yang dia beli di mesin penjual
otomatis.
“Apa
sejak saat itu kamu masih merasakan adanya keberadaan kartu?”
“Sudah
nggak pernah lagi. Kenapa?” aku menatap Shaoran bingung.
“Berarti
kartu itu sudah benar-benar terkumpul ya?”
“Sepertinya
begitu.”
“Lalu,
selama empat tahun terakhir nggak terjadi apapun?”
“Em...
aku rasa begitu. Memangnya ada apa sih?” aku menuntut Shaoran untuk menceritakan
semuanya.
“Sebenernya
ini cerita yang sudah sangat lama...” aku menanti Shaoran menjelaskan lebih
detail. Dan selama Shaoran menjelaskan, aku tidak banyak berkomentar.
Shaoran
bilang, semua berawal dari cerita kakeknya yang mengajaknya bersama-sama mencari
clow card. Aku tidak tahu sama sekali
kenyataan bahwa kalau clow card terkumpul
maka akan ada satu harapan yang bisa terwujud dengannya. Tapi sebelum Shaoran
berhasil mengumpulkan kartu itu sang kakek meninggal dunia.
Sekarang
clow card sudah terkumpul, tapi aku
sama sekali tidak berniat untuk memakainya.
“Menurutmu
harus bagaimana?” tanyaku kepada Shaoran.
“Entahlah.
Meskipun aku sudah membaca jurnal-jurnal yang dikumpulkan kakek bertahun-tahun,
aku tidak bisa menemukan informasi penting mengenai ‘permintaan yang terkabul’
itu.”
“Aku
nggak inginkan apa-apa lagi...” Berharap dengan kalimat minim itu bisa mengantarkan
maksudku, tapi “...asal Shaoran ada di
sampingku selalu...” aku hanya melanjutkannya dalam hati.
Shaoran
memandangku dengan heran, sepertinya tidak mengerti maksud perkataanku. Namun saat
pandangan kami bertemu, lagi-lagi dia menatapku dengan lama dan sendu. Seperti sedang
ditarik ke dalam dimensi yang berbeda, aku pun hanyut dalam tatapannya.
“Ketemu!”
seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran dengan kami, mendekat dan
berhenti tepat di depan Shaoran.
“Lee
Shaoran?” tanyanya dengan senyum manisnya. Gadis berambut coklat sepunggung itu
dengan perawakan oriental yang cukup kental membuat kami terbengong-bengong
dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Dia
mengucapkan sesuatu dalam bahasa Cina dan Shaoran telihat sangat kaget. Aku
yang tidak mengerti hanya menunggu salah satu dari mereka mentranslate-nya
dalam bahasa Jepang.
“Ah,
aku Lihua. Em... dalam bahasa Jepangnya apa ya... Tu- tunangan? Ah, ya... aku
tunangannya Lee Shaoran, halo!”
Ehhh!?
To be continues....
*cubit kero*
ReplyDeleteEh iya, janjiannya jam 10 apa jam 11?
ReplyDeleteIya maafkeun~ udah diganti wakakakaka
Delete