Sunday, March 20, 2016

[Fanfic/Side Story - OMEN Series] : Pemuja Rahasia



Uhuy, setelah lama berkutat dengan fanfic satu ini akhirnya mateng juga. Alasan mengeditnya lebih lama dan detail karena fanfic ini bersinggungan dengan cerita superkerennya Kak Lex dan bener-bener satu garis dengan cerita Omen Series. Semoga dengan adanya fanfic ini nggak membuat fans Lexie Xu nggak terima dan nge-bashing saya. Percayalah, dibuatnya fanfic ini adalah semata-mata curahan rasa kasih sayang dan cinta saya pada Kak Lex dan karyanya.

MbaBro, cekidot!!!!


PEMUJA RAHASIA
(AKIRA HARYANTO - Fanfic OMEN SERIES)



Kalian harusnya lihat! Ini keren banget!

Di mataku mereka seperti agen rahasia yang menakjubkan. Sebagai penyuka hal yang berbau misteri dan teka-teki, aku tidak bisa bersikap biasa dengan hal yang sedang berlangsung di depan mataku ini.
Dan sekarang mereka sedang mencoba membuka identitas mereka di depan teman-teman sekolah!

Ini gila, tapi keren banget!

Aku sudah mengamati mereka sejak lama. Sejak insiden ‘Perang Saudara Kembar’ itu. Insiden yang berujung pada kematian salah satu dari kembar Guruh itu.

Ya, Eliza telah meninggal dunia. Matinya sangat mengenaskan. Eliza adalah primadona angkatan kami. Bahkan Kak Putri yang menjadi Primadona di angkatan sebelumnya kalah pamor sejak kepopuleran Eliza naik. Namun sayangnya kepopuleranya tidaklah lama, setelah berbagai kejadian terjadi pada Eliza dan tentunya Erika. Banyak kesimpangsiuran berita tentang mereka. Namun pada akhirnya, belakangan diketahui orang yang ‘sakit’ di antara kembar Guruh itu adalah Eliza.

Awalnya, aku sama seperti anak-anak yang lain. Yang meyakini kalau semua kejadian aneh terjadi lantaran sekolah kami yang terkena kutukan.  Tapi coba pikir baik-baik, ini adalah zaman di mana superhero seperti Spiderman muncul. Orang bodoh mana yang percaya kutukan dan hal-hal klenik lainnya. 

“Ah, ketemu! Lo di sini rupanya... Nih gue balikin. Jimat lo ampuh juga, berkat tu jimat ujian kemaren gue lebih percaya diri. Thanks ya, Cuy!”

Buru-buru kumasukan pensil mekanik bergandul bantalan kecil bertulisan askara Jepang (omamori).
Ehem! Ini pemberian ibuku, jadi harus dijaga baik-baik. Oke?

“Lagi liat apa sih lo? Ada apaan sih rame-rame di sana?” lanjut Dino teman SMPku yang sekarang satu SMA juga denganku.

“Mau tau aja lu, No! Udah ah, sono! Gue lagi nonton juga...”

Jadi, yang berpikir dengan akal sehat pasti akan mengerti kalau semua ini kejadian yang dilakukan oleh oknum yang mengincar sesuatu. Bukan hal-hal klenik seperti kutukan(Uhuk!). Masalah kata terkutuk ini mungkin hanya perumpaan atas kejadian-kejadian yang diakibatkan oleh oknum tersebut.

“Untuk semua masalah dan kerepotan yang pernah terjadi, kami dari The Jugde mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih,” tegas Kak Putri. Wajahnya tidak tampak penyesalan sedikitpun. Begitupun anggota yang lain. Aku yakin semua ini adalah salah satu langkah yang harus ditempuh dalam menjalankan misi mereka. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka membiarkan semua masalah ini terungkap sedangkan organisasi The Jugde—yang baru kutahu namanya ini—adalah organisasi yang sudah dirahasiakan puluhan tahun.

Lalu scene selanjutnya adalah penangkapan seseorang hater—dadakan—yang berani melemparkan botol air mineral ke arah mereka. Tapi sesuai dugaanku, tidak ada yang bisa selamat kalau sudah berurusan dengan mereka. Karena Erika Guruh siap untuk mengeksekusi mati si pelaku.

Itulah alasanku berada di jarak aman sebagai informan. Oke aku agak berlebihan kalau bilang informan, kenyataannya aku hanya fans fanatik yang butuh hiburan.

Aku memang tidak bisa mengungkap motif apa yang mereka lakukan dibalik semua ini, aku juga tidak tahu bagaimana cara mereka bisa nampak begitu kuat sebagai anak sekolah biasa. Semua masih samar. Tapi feelingku biasanya bekerja dengan tepat.

--
Missed Call dari kakak?

Kuberi tahu ya, sekolah ini seperti penjara yang mengisolasi kami dari yang namanya peradaban. Oke, aku berlebihan. Tapi sinyal di sekolah ini membuatku benar-benar stress, aku sering sekali melewatkan panggilan penting terutama telepon dari kakak kesayanganku yang berada di luar negeri.

Aku menyapa Mang Asep, si juru parkir sekolah yang selalu rempong itu. “Sep, Pak Yudi kemana?” aku tidak melihat satpam itu di tempatnya.

“Kayanya dia sarapan deh, Neng.”

“Oh...” aku merogoh duit lima ribuan dari kantong. “Sep, keluar bentar yak. Panggilan penting dari abang.”

“Ih, si eneng pake repot segala. Salam buat Rai ya.”

“Siplah Sep! Inget ya, nggak liat apa-apa.”

“Bisa diatur...” Asep mengancungkan ibu jarinya ke arahku. Aku berlari ke arah luar gedung sekolah dan membuka pintu gerbang dengan hati-hati. Kulihat dari sudut mataku, Asep mengawasi sekitar, memastikanku cukup aman untuk keluar sekolah.

Rasanya ingin sekali aku membanting ponsel yang ada di tanganku ini. Sudah jalan cukup jauh dari sekolah, tapi sinyalku belum stabil. 

“Kalau tidak cepat, kakakku keburu sibuk lagi, tau!” Aku marah-marah di depan ponsel itu. Setelah lelah, aku matikan ponselku dan menghidupkannya kembali. Lalu sinyal penuh sampai semua bar-nya terisi.

what the f...” dengan terburu-buru aku men-dial nomor satu. Begitu nada hubung terdengar, perasaan senang langsung memenuhi hatiku. “Kak Rai!!” pekikku senang ketika tersambung.

Kira? Kamu harusnya ada kelas kan?” nada Kak Rai terdengar tidak senang. Buru-buru aku langsung memberikan pembelaan.

“Gurunya lagi nggak masuk, Kak. Aku udah selesain tugasnya terus aku boleh istirahat duluan deh...”
 
Nggak bohong kan?” 

“Nggak...” deng. Aku bohong kok, lanjutku dalam hati. “Kakak tadi kenapa nelpon? Aku istirhat pertama nggak keluar sekolah, jadi nggak dapet sinyal. Tau-tau udah ada missed call aja.”

Oh, nggak keluar ya. Sori, kakak nelpon kamu di saat sekolah begini... Kakak cuma khawatir, tapi semoga sih kekhawatiran kakak nggak beralasan sama sekali.

“Tentang?”

Akhir-akhir ini Carlo menghubungi Kakak lewat email, kalau Rapid Fire sering beredar di sekitar sekolahmu. Dan info terbaru Carlo,  yang tentunya didapat dari  Heri, Ron, Nepil dan JK, mereka sedang dapet job baru.

“Oh...”

Kakak mau, kamu sebisa mungkin nggak terlibat dalam masalah apapun dengan mereka. Hindari mereka kalau kamu melihatnya.

“Iya, Kak, tenang aja. Kira selalu bisa jaga diri kok.”

Inget Ra, kamu sekarang berada jauh dari pengawasan kakak. Taekwondo-mu  belum tentu berhasil kalau berhadapan dengan mereka.

“Iya, Kak...”

Oke, kalau begitu sudah dulu ya. Kakak masih harus latihan nih.”

“Iya, Kak. Semangat latihannya”

Sip. Jaga diri ya, Ra.”

Kakakku, Rai Haryanto. Ya, si pembalap Moto GP tingkat dunia yang sedang naik daun itu. Di sekolah tidak ada seorang pun yang mengetahui fakta itu selain pihak sekolah. Tentunya Asep adalah salah satu di antaranya. Entah apa alasannya Kakak meminta pihak sekolah untuk menyembunyikannya. Sampai akhirnya tahun lalu, ketika Kakak pulang ke Indonesia dia menceritakan segalanya.

“Sebelum akhirnya ayah mengijinkan kakak pergi untuk bergelut di dunia balapan motor, kakak sempat bergabung dengan geng motor.”

“Hah?” Kalau boleh jujur, hubunganku dengan kakak dulu tidak seindah ini. Beberapa tahun yang lalu, kami bahkan saling tidak peduli.

“Kamu nggak inget atau nggak mau inget?” Kakak tertawa geli. Tidak ada memori yang kusuka saat aku berada di bangku SMP. Nilaiku kacau balau karena pertengkaran ayah dan kakakku—yang masih SMA—menggangguku. Aku selalu berpikir semua hal tidak menyenangkan itu karena kakakku.

“Awalnya seperti mendapatkan sebuah tempat yang bisa menampung semua hobi kakak, tapi anggota Rapid Fire kebanyakan berkutat di hal-hal yang merugikan orang lain.”

“Memang begitu kan? Anggota geng motor itu memang seperti penjahat.”

“Ada satu geng motor yang kegiatannya hanya fokus pada hobi mereka saja. Bahkan mereka akhirnya membuka bisnis bengkel kecil sekaligus menjadi markas mereka.” Kakakku tersenyum mengingat masa lalunya. “Tapi kakak terlalu naif, karena menyamaratakan semua geng motor di Kota kita. Kakak bergabung dengan Rapid Fire tanpa tahu bagaimana geng itu sebenarnya...”

“Kakak menyesal setelah masuk geng itu?”

“Sangat. Tapi saat itu kakak nggak bisa mengatakannya pada siapapun.”

“Kakak nggak langsung keluar aja?”

“Nggak bisa, terlalu beresiko. Belakangan kakak mengetahui geng motor yang kakak maksud tadi, Street Wolf, adalah musuh Rapid Fire. Kakak bertahan di sana hanya agar Street Wolf tidak selalu menjadi incaran Rapid Fire.”

“Lalu kesempatan itu datang. Kakak mendapatkan akses dari orang dalam untuk bisa menjadi seorang pembalap motor. Kesempatan yang tidak datang dua kali. Pilihannya hanya ada dua, meninggalkan atau ditinggalkan.”

“Terus kakak keluar?”

“Yah, dengan harga yang harus dibayarkan.” Aku memandangnya heran. “Pulang dengan beberapa tulang rusuk patah dan babak belur.”

“Ah! Kejadian waktu itu!” Kakak mengangguk dan tersenyum. Kak Rai pernah pulang dengan keadaan yang mengenaskan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu sampai masa pemulihan selesai. Saat itu aku meyakinkan hati untuk tidak mempedulikannya, tapi kenyataannya aku menangis tersedu ketika melihat kondisinya. 

Saat itu untuk pertama kalinya kami terlihat seperti kakak adik, setelah beberapa tahun terakhir hubungan kami merenggang.

Aku terbangun dari lamunanku, saat melihat pemandangan menyeramkan di depanku.

Kak Putri dan Erika sedang diserang anggota geng motor! 

Gawat aku harus bagaimana? Kakak benar, ilmu taekwondo-ku tidak akan banyak membantu, mengingat baru dua tahun terakhir ini aku belajar. Kalau aku nekat menolong, pasti aku yang celaka.
Aku melihat Kak Putri dibawa paksa oleh salah satu geng motor tersebut. 

Ck, gawat!! 

“Nggak ada acara lain...” baru saja aku ingin berlari ke arah mereka, seseorang menarik tubuhku dan membekap mulutku.

“Hmmp!!” Perasaan horor lalu menyelimutiku, aku berontak namun kekuatannya lebih kuat dibanding dengan kekuatanku. Cowok iblis macam apa ini?

“Kira... Akira...” tiba-tiba dia berbisik dengan lembut. Aku menghentikan rontaanku dan orang itu perlahan merenggangkan kunciannya pada tubuhku. Saat aku berbalik, aku terkejut karena orang itu adalah salah seorang teman baik kakakku. 

“Kak Carlo?”

“Sst... kita nggak boleh ketahuan.” Aku dan Kak Carlo segera sembunyi di balik persimpangan jalan, dan melihat Erika dengan membabi buta menghajar anggota geng motor itu.

“Lihat, dia nggak perlu bantuan apapun. Kamu jangan melibatkan dirimu dalam urusan mereka.”

“Tapi Kak Putri dibawa kabur oleh salah satu anggota geng itu.”

Kak Carlo terlihat sedang menimbang-nimbang ketika ingin merespon kata-kataku. “Sebenarnya aku ingin sekali bilang, ‘jangan khawatir’ padamu...”

“Kenapa?”

“Nah, kamu pasti akan terus bertanya seperti ini.” wajahku benar-benar menuntut kalimat Kak Carlo barusan. “Baiklah, kemarin aku akhirnya menemukan tempat di mana anggota Rapid Fire ini bekerja...”

“Yang benar? Berarti mungkin Kak Putri di bawa ke sana? Apa yang mereka lakukan?”

“Kira, ini benar-benar berbahaya. Aku sudah diminta Rai untuk menjagamu, bukan membahayakanmu. Mereka punya teman-teman yang bisa diandalkan, kamu jangan khawatir.”

“Kak, aku mohon... mereka juga teman-temanku...” Aku benar-benar hilang kesabaranku. Aku tahu aku mungkin tidak berguna meskipun terlibat. Tapi aku tetap memohon untuk bisa membantu. Tanpa sadar aku memegang lengan Kak Carlo sambil terus memohon kepadanya.

“Emm... Rai pernah ngomong nggak, kalau sebenernya aku menyukaimu dan sedikit tergila-gila kepadamu? Emm... oke, nggak sedikit, lumayan banyak sih...” Aku melongok. “Jadi kamu nggak bisa memperlakukanku kaya gini...” Aku benar-benar nggak mengerti sama sekali maksud Kak Carlo ngomong seperti itu. Jujur saat itu aku merasa Iqku tiba-tiba merosot jauh, karena nggak paham sama sekali. Tapi begitu melihat muka Kak Carlo yang merah padam saat melihat tanganku yang masih memegang lengannya, buru-buru kulepas dan mengalihkannya. 

“Kak, kita urus masalah ini nanti aja. Kita harus pastikan dulu Kak Putri nggak diapa-apakan.”

“Asal kamu mau janji kalau yang kita lakukan ini nggak pernah ada. Kamu tahu, nyawaku taruhannya. Rai akan murka besar kalau tahu ini.”

“Aku mengerti.” Kak Carlo menyuruhku naik ke motornya dan segera melesatkan motornya ke arah sekolah. Aku sempat berpikir Kak Carlo akan mengantarkanku ke sekolah dan laporkanku pada Pak Rufus karena membolos. Tapi setelah motor berbelok ke arah sebaliknya aku memutuskan untuk terus diam.
--

“Ini tempatnya.” Kak Carlo cukup pintar memutuskan tempat aman untuk memarkir motornya. Setelah memerhatikan tempat itu beberapa detik aku memutuskan untuk mendekatinya. 

“Kira! Kamu nggak bisa ke sana!!” Kak Carlo menarik tanganku. Lalu berakhir dengan tatapan salah tingkah dan minta maaf kepadaku.

“Kak, kita masih belum bisa memastikan apa Kak Putri baik-baik saja.”

“Tapi terlalu berbahaya, Ra.” Bangunan tua yang dulunya hotel itu memang menyeramkan sekali. Dari luar saja aura mistisnya sudah sangat terasa. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau masuk ke dalam sana.

Sejujurnya aku juga tidak mengerti, kenapa aku sangat ngotot untuk bisa ke sana dan menyelamatkan Kak Putri. Aku bahkan akan kalah pada pukulan pertama mereka kalau terlibat perkelahian. Lalu kenapa aku nekat?

Jujur saja, selama ini aku merasa kesal. 

Selama ini aku mengikuti tindak-tanduk mereka. Aku menganalisis kemampuan-kemampuan hebat mereka. Namun aku selalu ketinggalan bagian terpenting saat mereka beraksi. Aku selalu tahu kejadian-kejadian itu di akhir, ditambah lagi itu adalah cerita versi polisi. Aku bahkan sangat membenci inspektur Lukas yang merusak semua analisisku. Intinya, aku tidak rela hanya sebagai penonton padahal potensiku untuk masuk petualangan mereka cukup besar. 

Oh iya, iya, aku memang kelihatan seperti fans gila. Terserah apa pandangan kalian...

Tapi ya begini-begini aku juga mengerti masalah kemanusiaan sih. Jauh di lubuk hatiku, aku melakukan ini sedikitnya pasti ada karena rasa itu. Rasa peduli terhadap teman satu sekolah.

Aku sudah sampai di depan gedung bersama Kak Carlo di belakangku. Aku melihat ke dalam dan beberapa anggota geng motor masih berseliweran. Kak Putri tergeletak di bawah lantai dengan tak berdaya.

“Taro di mana nih?”

Aku menahan napas. Kondisinya begitu mengenaskan. Tak peduli dia wanita atau bukan, mereka memperlakukan Kak Putri dengan sangat keterlaluan. 

Lututku tiba-tiba gemetar, hal yang benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku belum pernah sama sekali membayangkan ada di posisi Kak Putri. Perasaan sombongku tadi tiba-tiba menciut seperti balon kehabisan udara. 

“Gi-gimana ini Kak? A-apa yang harus kita lakukan...” bibirku gemetar hebat, seperti sedang kedinginan.

“Sebaiknya kita pergi dari sini, Kira. Ini terlalu berbahaya,” suara Kak Carlo terdengar lebih berat karena menahan emosi. Aku paham Kak Carlo juga pasti sangat murka dengan mantan teman-temannya itu, karena itu dia mengambil jalan keluar yang sama dengan Kakak.

Kak Carlo menggenggam tanganku dan menariknya untuk segera menjauhi tempat itu. Kakiku tidak bisa menolak ajakan Kak Carlo pergi dari sana. 

--

Begitu tersadar aku sudah berada di depan gerbang sekolah. 

“Kak...” Aku menghentikan Kak Carlo yang baru saja mau pergi. “Apa nggak sebaiknya kita menghubungi Erika dan teman-temannya?”

“Akira, dengar.” Kak Carlo menepuk kedua sisi pundakku dan mencengkramnya sedikit keras. “Kamu paham kan sama yang diinginkan Kakakmu? Dia ingin adiknya nggak berhubungan dengan geng motor yang merusaknya di masa lalu. Kalau kamu memaksakan, nggak menutup kemungkinan masa depan kakakmu itu juga akan berantakan.”

“Tapi...”

“Dengar, Kira...” Kak Carlo mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Air mataku hampir jatuh tapi bukan karena sedih, melainkan karena merasa kesal.

Entah kenapa wajah serius Kak Carlo semakin membatu dan mukanya perlahan memerah.

“Jadi maksud Non tadi, saya disuruh buntutin Bos... eh, Damian? Kaga mungkin bisa, Non... eh, Bos! Dia kan kenal saya.” Suara itu makin mendekat. Tanpa perasaan aku menepis tangan Kak Carlo, dan melihat Asep yang sedang menelpon seseorang.

“Sep!” Panggilku setelah Asep menutup teleponnya.

“Eh, Eneng Kira! Udah pulang? Lama amat!” Asep memonyongkan bibirnya sebagai tanda uang yang diberikan tidak seimbang dengan waktu yang aku dapatkan.

“Maaf, Sep! Gue tambahin gorengan deh ntar.”

“Yang bener, Neng? Ih nggak usah repot kali...”

“Udah nggak usah malu-malu kambing deh.” Asep merengut kembali. “Sep, siapa yang nelpon?”

“Eh, emm, anu Neng.”

“Oh, yaudah nggak papa, nggak usah dikasih tau.  Lo lagi cari Damian kan? Gue tadi liat dia ke arah bangunan bekas hotel tua di deket sekolah ini, tau kan lo? Kalo lo kehilangan jejaknya, dia ke arah situ. Hati-hati Sep!”

“Eh, makasih banyak Neng! Tau aja saya lagi nyari Bos Damian.” Aku hanya merespon kalimat Asep dengan senyuman. 

Meskipun aku tidak tahu kenapa Erika mencari Damian, meskipun aku tidak tahu di pihak mana Damian berada, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menggiring Erika dan kawan-kawannya ke tempat itu. Yak, masalah selesai. Dan setelah ini mungkin aku akan tahu cerita dari lengkapnya versi Inspektur Lukas lagi. Hih, aku benci sekali polisi itu.

--

Saat malam pesta dansa...

“Lo nggak ke sana aja?” tanyaku kepada orang di balik tembok sekolah. Dia melihat ke arah dalam dan sejak tadi memperhatikan Putri Badai mantan ketua Osis dan organisasi rahasia sekolah The Judges. Ya, dia adalah Damian Erlangga.

Dia datang dengan luka-luka yang diterimanya beberapa waktu yang lalu. Luka itu cukup mengerikan tapi aku masih bisa mengenalinya. Sosok misterius yang masih belum bisa kudeskripsikan dengan analisisku. Entah kenapa yang bisa kupahami benar tentang Damian dan Kak Putri adalah akhir yang menyedihkan.

“Lo lagi!” Damian mengingat wajahku. Meskipun saat bertemu denganku kondisinya sedang berada di ambang batas kesadarannya, dia masih mengenaliku.

“Hai...” aku menyapanya dengan seadanya.

Waktu itu Leslie Gunawan, pacarnya Valeria (sahabatnya Erika), mengantarnya ke Inspektur Lukas. Saat aku mencoba menuntut cerita lengkap dari Inspektur menyebalkan itu di lokasi kejadian, saat itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan Damian. Sebelum akhirnya melihat dia kembali di sini.

--

“Coba dijelaskan lagi dengan benar, Bapak Inspektur. Tidak masuk akal kan, kalau Anda hanya bilang bahwa semua ini adalah keonaran yang dilakukan oleh geng motor. Apa motif geng itu ingin menghancurkan seluruh pengurus The Judge? Kenapa di antara orang-orang itu ada juga orang tua mereka?” Aku menuntut jawaban ketika aku melihat kelompok Erika berseliweran di sekitar gedung hotel tua itu. Ya tentu saja, aku tidak terlibat di bagian penting mereka. Aku datang tepat ketika semua masalah telah selesai.

Pak Rufus bersama konco-konconya Daniel Yusman pun ada di sana, tentu saja aku yang mengajak mereka ketika polisi tidak ingin mengantarkan mereka ke TKP.

“Begini ya, Dik...”

“Tolong jangan sok akrab, Pak. Kakak saya jauh lebih hebat dari Anda.”

“Em...” Aku yakin aku telah membuatnya marah karena aku bisa melihat urat di keningnya yang berkedut. “Ini adalah wilayah kepolisian yang tidak bisa diberitahukan orang luar, dan itu sudah peraturannya.”

“Tapi!!” Inspektur itu dan aku terus berjalan ke arah belakang gedung. Kami terperangah saat mendapati dua orang yang sedang kesulitan.

“Selamat sore.” Seorang cowok tinggi besar memapah anak laki-laki yang terluka berat. Anak itu memakai seragam sekolahku, meski seragamnya benar-benar sudah tidak berbentuk lagi aku bisa mengenalinya. “Maaf, bisa tolong untuk tidak berisik?”

“Leslie? Damian? ” Inspektur Lukas segera bergerak tanpa suara. Lalu melihat ke arahku dengan penuh amarah tertahan. “Dan nona, bisakah anda tidak mengikuti kami? Silahkan pergi dan berpura-puralah seperti tidak melihat apapun.”

“Tidak mau. Saya kenal dengan orang ini. Mungkin saya juga yang telah membuatnya celaka seperti ini, jadi biarkan saya di sini.” Inspektur Lukas dan Leslie saling bertatap-tatapan, terlihat bingung. Bahkan Damian yang kondisinya sedang setengah sadar, sempat mengarahkan wajahnya untuk melihatku.

Aku memberi tahu semua atas keterlibatanku yang memberitahu Asep tentang keberadaan Damian, dan mengira Damian dihajar habis-habisan oleh kelompok Erika. Namun faktanya Leslie Gunawan membantunya. Aku menangkap hal yang mencurigakan di sini, jadi aku mulai mengancam mereka.

“Aku nggak akan memberitahukan siapa-siapa kok. Kalian boleh menganggapku seperti tidak ada, pegang omonganku. Tapi tolong beritahu aku semua yang kalian tahu. Aku tidak minta detail, tolong simpulkan dalam satu cerita yang pendek.” 

Leslie mulai bercerita masalah yang terjadi di dalam organisasi The Judge.

“Sebenarnya semua ini adalah pertikaian antara orang tua mereka. Damian dan Nikki adalah anak angkat dari salah satu orang tua mereka, yang berada di pihak lawan kami. Aku tidak punya hak menjelaskan terlalu detail kepadamu. Jadi yang perlu kamu tau, semua ini sudah berakhir, jangan khawatir dan ikut campur.” Kalimat terakhir Leslie cukup membuatku terpojok bahkan malu. Leslie menyadarkanku kembali kalau semua ini tidak ada hubungannya denganku. 

Lalu setelah berbicara padaku, Leslie mulai berbicara dengan Inspektur Lukas. Sadar keberadaanku di sana tidak di inginkan, aku segera menjauh.

Dan setelah itu aku berjanji pada diriku, untuk tidak ikut campur urusan mereka. Fans itu memang bagian dari idolanya, tapi fans yang baik harus tahu sampai mana batasan untuk mengetahui privasi mereka.

--

“Kenapa lo bisa di sini?” Damian masih heran melihatku. Dia mungkin tidak pernah menyangka kalau tindak-tanduknya ada di bawah pengawasanku. Padahal asal kalian tahu saja, ini semua murni kebetulan.

Aku menjawab pertanyaan Damian dengan mengangkat kedua bahuku. 

“Siapa lo sebenarnya? Lo bekerja untuk siapa? Dan... kenapa lo bisa tau gue di sini?”

Gila! Ini kebetulan Damian, lo nggak bakal percaya deh!

“Gue nggak bisa bilang sama lo. Gue cuma mau bilang, seorang informan yang baik tahu di mana titik teraman untuknya.” Cari mati! Gue malah berlagak sok misterius gini...

“Terserah...” Damian mulai membalikkan tubuhnya, beranjak menjauh dari sekolah.
“Lo yakin nggak mau ketemu Kak Putri?” Damian tidak menghiraukanku sama sekali. Sampai punggungnya sudah benar-benar tidak terlihat lagi, aku menghela napas lega.

Gue paham bener ini dosa. Seharusnya gue nggak melakukan ini, seharusnya gue menyudahi semuanya karena udah berjanji untuk nggak ikut campur lagi. Tapi karena berpikir kayanya keren kalau gue sedikit belagu, tanpa sadar melakukan semuanya, tamat sudah, rutukku dalam hati.


Tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, aku hanya bisa berdoa Damian tidak menaruh dendam padaku.

--

Empat tahun berlalu...

Halo, aku Akira. Biasanya teman-temanku memanggilku ‘Kira’ saja. Kehidupanku biasa-biasa saja, semua masih sama. Tidak ada kejutan lagi sejak kejadian itu. Ya, kejadian di mana pertarungan terakhir antara Erika dengan pihak lawannya. Sampai sekarang aku masih belum tahu, siapa sebenarnya pihak lawan Erika itu. Tapi semua makin hambar ketika mengetahui Erika CS ramai-ramai memutuskan untuk meneruskan sekolah di luar negeri. Harvard bok! 

Tidak ada lagi yang bisa aku kepo-in. Oke, sori sori, kebiasaanku yang satu itu memang nggak pernah bisa hilang, jadi harap dimaklumi. Tapi sumpah, aku rindu masa-masa itu. Aku bahkan rindu ketika aku melihat mereka dan berasumsi sendiri seperti orang gila.

Tadinya aku ingin pindah ke Jepang dan meneruskan pendidikan di sana supaya menemukan hal seru yang baru. Tapi entah kenapa aku masih berada di sini dan tidak bergerak sedikitpun dari Indonesia. 

“Muka jawa dari hongkong! Gue ini keturunan Jepang asli lho!” Aku menghajar juniorku yang kurang ajar.

“Kakak, kan Kakak nih yang minta sample penelitian, harusnya kakak baik-baikin kami dong. Jangan nyiksa kami kaya gini, mentang-mentang asisten ketua Taekwondo.”

“Kamu mau apa sayang? Bengbeng aja, mau? Tapi kalau nggak yang dingin mending kita putus aja, gimana?”

“Kenapa, Kak? Kita bahkan belom jadian...”

“Soalnya bapakku sukanya makan bengbeng dingin...”

“Yah...”

Ya, ibuku asli Jepang dan ayahku asli Indonesia. Wajah kakakku, Rai, Jepang banget. Sedangkan aku Indonesia banget. Aku jadi ingat Valeria juga keturunan Jepang dan nuansa Jepang di wajahnya cukup kentara. Karena masalah wajah ini, aku sempat meragukan diriku sendiri sebagai anak ayah-ibuku. Rasanya ingin membuktikan sekali lagi sebenernya aku ini anak siapa.
Sebuah pukulan ringan jatuh di kepalaku.

“Aw, sakit tau!”

“Kan udah pernah kita bahas soal ini. Kamu sampe bela-belain ambil rambut bapak ibu kamu dan dibawa ke rumah sakit buat tes DNA. Apa jadinya kalau ibu bapak kamu tau?”

“Santai aja kali, Kak. Emang Kak Carlo nggak heran mukaku nggak mirip sama Kak Rai yang keliatan banget Jepangnya?” hari ini pun Kak Carlo bela-belain datang ke kampusku untuk mengantarku pulang. Alasannya takut aku ketemu geng motor di jalan. Padahal orang bego juga tahu, dia lagi nge-modusin aku.

“Heran sih. Tapi kan muka kamu mirip banget sama bapak kamu yang Jawa. Tetep... cantik lah, meski nggak keliatan Jepang-jepangnya.” Wajah Kak Carlo selalu lucu kalau sedang tersipu malu.

“Coba aku tanya, kalau artis aku lebih mirip siapa?”

“Mirip Dian Sastro, pas baru pertama kali keluar di film AADC. Rai juga sependapat.”

“Berarti aku cantik banget dong.” Aku mulai kegirangan sendiri.

“Emang ada yang bilang kamu nggak cantik? Rai aja sampe bilang, kalau kamu bukan adik kandungnya dia bakal nikahin kamu.”

“Wah, siapa yang bisa nolak kalau diajak nikah sama Kak Rai...”

“Kira!” Kak Carlo menggeram kesal. Lalu aku tatap dia dengan tatapan menantang. Salah siapa, coba? Sudah berani bilang suka, tapi nggak berani ‘nembak’. Masa harus aku bikin cemburu terus. “Udah yuk, pulang.”

“Ck...” aku masih misuh-misuh saat naik ke atas motornya.

“Eh, gimana kalo kita minta bantuan Erika. Dia jago banget komputernya, urusan nghack mah perkara kecil.” Aku langsung tahu, dua orang mahasiswa yang melewatiku barusan sedang membicarakan seorang hacker.

“Iya, dia aja kali ya. Gue denger dia pindahan dari Harvard. Ya, tau sih itu pasti cuma boongan. Tapi kalo kemampuannya oke, peduli amat sama berita bohong itu.” Tanpa sadar aku turun dari motor dan mulai mengikuti mereka.
 
“Tapi katanya itu nggak bohong lho...”

Baru saja tanganku mau menepuk pundak mereka, tapi langsung dicengkram oleh Kak Carlo.
“Kenapa lagi sih kamu? Ngupingin orang sampe begitu...”

“Tapi... itu... ta-tadi mereka bilang...”

“Udah, ayo pulang. Kalau nggak, nanti Rai nunggunya kelamaan.”

Eh?

“Kak Rai pulang??” Aku sangat kaget sekali. Bahkan ingin melompat-lompat sanking girangnya. Selama tiga tahun terakhir Kak Rai tidak pulang dan cuma terdengar kabarnya di media. Aku seperti penggemar beratnya hanya bisa meraung-raung kalau melihat Kak Rai sedang melakukan wawancara di TV. Dan sekarang aku bisa menemuinya? Rasanya benar-benar seperti bertemu dengan artis, ketimbang kakak sendiri.

“Ayo pulang!” aku naik ke belakang Kak Carlo dengan antusias dan memeluknya.

“Emm... Kira? Emang harus pelukan gini?”

“Ya, kan biar aku nggak jatuh. Sekarang Kak Carlo bisa ngebut.” Aku sandarkan wajahku di punggungnya yang lebar. Kak Carlo tidak bebicara apa-apa lagi, dia hanya menyalakan mesin dan memacu motornya dengan cepat.

Semoga detak jantungku yang berdebar keras—entah karena apa—segera normal kembali. 

FIN~

No comments:

Post a Comment