Sunday, February 28, 2016

[Fanfic CCS] Chapter 3 - Taman Pinguin

Yeah, ini dia fanfic CCS persembahan Zu dan Emud!

Yang belom baca Chapter 2-nya, jangan lupa mampir dulu ke sini.
Seperti yang diketahui, untuk fanfic ini dibuat per-chapter dan per-pov. Saya bertugas membuat di POV Sakura, dan Emud di POV Shaoran. Mohon maaf kalau OOC, semoga ngga parah, dan inilah fanficnyaaaa~~~~

Cekidot!






TAMAN PINGUIN
SAKURA POV

Source : Zerochan.net


Tinit tinit tinit!

Selama dua menit alarm itu terus berbunyi, namun bukannya bangun aku malah semakin merapatkan tubuhku dengan selimut, tidak mau beranjak dari tempat tidur.

“Sakuraaaa... banguuuun.” Kero dengan susah payah menyingkap selimut yang menutupi wajahku. “Bangun Sakura, aku lap...” Kero menghentikan kalimatnya begitu melihat wajahku yang kacau. Ya, itu pasti.

Semalam suntuk aku menangis. Tentu saja alasannya sepele menurut kalian, tapi tidak bagiku.

Orang yang sangat ingin aku temui selama empat tahun, kemarin sengaja datang dari jauh untuk menemuiku. Dan belum genap dia ada satu jam di rumah ini, dengan teganya Kak Toya mengusirnya tanpa perasaan. Keterlaluan! Tidak punya hati!

Hati mana yang tidak hancur kalau melihat orang yang kita sukai diperlakukan seperti itu?

“... kau nggak apa-apa Sakura? Wajahmu kacau sekali,” tanya Kero dengan khawatir.

“Memang yang seperti ini bisa dibilang nggak apa-apa?”

“Err...”

Ting!

Smartphoneku berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Dengan malas aku mengambilnya, setelah mematikan alarm yang sejak tadi tidak berhenti berbunyi.

From : Lee Shaoran
Hari ini luang? Bisa ketemuan? Jam 11 di Taman Pinguin, gimana?

Sanking senangnya. Sedetik setelah membacanya aku langsung tersenyum, sambil memeluk smartphone-ku dan tertawa-tawa sendiri.

“Sepertinya kau benar-benar nggak sehat...” cetus Kero.

“Ah, Kero~” Karena merasa malu aku memukul Kero sampai dia terjatuh ke tempat tidur.

“Aduh...” baru saja Kero ingin melakukan serangan balasan dengan melemparkan bantal kepadaku, tapi gerakan tangannya berhenti karena omonganku.

“Sudah, Kero. Aku nggak ada waktu buat ngobrol nih. Aku buru-buru.” Dengan sigap aku turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi setelah membalas pesan Shaoran.

Sekilas aku hanya melihat Kero yang bengong, seperti sedang heran dengan sikapku.

Kuakui, mungkin sikapku sedikit tidak biasa. Tidak sedikit? Oke oke, terserah saja.
Tapi untuk merasakan berbagai macam rasa pada saat yang berdekatan itu wajar kan? Misalnya, tadi aku merasa sedih dan kacau, lalu beberapa menit setelah menerima pesan dari Shaoran membuatku senang bukan main. Wajar kan?

Ya, harusnya sih wajar. Atau cuma aku?
--

“Sakura, apa sih yang kau lakukan?” Kero melihatku yang sedang berdiri di depan cermin dengan gelisah. Tangannya terlipat di depan data, dan kepalanya menggeleng lemah. “Kau yakin nggak mau ke dokter?”

Aku hanya bersenandung senang dan tak memperdulikan pertanyaan Kero—yang alih-alih menyindirku—itu, aku melihat dari cermin di meja riasku, respon Kero yang merengut kesal.

Kukuncir rambut panjang sebahuku dan kuatur sedemikian rupa selama 10 menit. Tapi karena merasa tidak suka dengan hasilnya, akhirnya aku melepas kembali kunciran yang sudah kutata selama 10 menit tadi dan membiarkan rambut sebahuku tergerai begitu saja. Kusematkan beberapa jepitan lucu untuk memberikan kesan manis.

Yes, sempurna!

Aku tersenyum puas.

“Bukannya itu sama saja dengan yang pertama tadi?” komen Kero.
Sial. Benar juga sih. Rasanya... aku terlalu berlebihan sampai bertingkah seperti ini.

“Sakura... lapaaaar,” Kero tergeletak lemas di depan meja riasku.

“Hoee, maaf Kero. Akan kuambilkan sarapanmu ya...”

Saat sedang menuruni anak tangga, aku mendengar Kak Toya sudah mulai merapalkan kalimat-kalimat sihir untuk mengutukku.

“Mentang-mentang libur, tidur sampai siang. Kalau mau sarapan, urus sendiri. Oh, iya, ayah sudah berangkat kerja dan aku...” Omongan Kak Toya terhenti saat melihatku. “Mau pergi kemana?”

“Bu-bukan urusan Kakak, kan?” aku menjulurkan lidah ke arah Kak Toya yang tiba-tiba saja jadi ragu untuk berangkat kerja.

“Bukan menemui bocah itu kan?”

Hoeee~!

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku yakin saat ini Kak Toya sedang memandangku dengan sinis. Punggungku bisa merasakan tatapan tajamnya. Terasa perih dan panas.

“Sakura, ingat sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan anak itu mendekatimu.” Baru saja aku ingin berbalik untuk potes kepadanya, namun kakak sudah bergegas pergi ke tempat kerjanya.

Dasar kakak bodoh!

--

Kriingg!

Tepat sebelum pergi, telepon berdering. Dari Tomoyo.

Hai, Sakura... Kabarmu pasti baik? Aku nggak ganggu, kan? Lagi berduaan sama Lee ya? Ah... rasanya aku ingin sekali berada di sana... dan merekam semuanya.”

“Pelan-pelan Tomoyo...” aku terkikih geli karena Tomoyo tak memberi kesempatanku untuk menjawabnya.

Aku menceritakan kejadian semalam kepada Tomoyo dan mengatakan sekarang Shaoran tidak ada di sini. Awalnya Tomoyo sempat kesal juga dengan tingkah Kak Toya, namun pada akhirnya Tomoyo mengatakan kalau dia mengerti perasaan Kak Toya. Aku yang tidak mengerti lagi-lagi mengalah dalam topik itu.

“Tapi terima kasih ya, Tomoyo. Sejak awal aku tahu, Shaoran datang ke sini itu semua berkat usaha kerasmu. Karena meskipun aku merinduknnya, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku ini benar-bnar menyedihkan...”

Hei, kenapa kamu bicara begitu... Aku akan senang kalau kamu juga senang, Sakura.

“Tapi karena sibuk mengurusi hubunganku dengan Shaoran, kamu jadi tidak memikirkan dirimu sendiri...”

Eh, Maksudmu?” Jeda sejenak, namun Tomoyo segera paham maksudku. “Oh... Tenanglah, Sakura. Aku tahu kapan harus bergerak...” Aku seperti mendengar Tomoyo sedang dipanggil seseorang dan berbincang sebentar kepadanya. “Sudah dulu, ya Sakura.”

Sambungan langsung terputus saat Tomoyo pamit.

Eh? Tunggu dulu, Tomoyo mengatakan ‘aku tahu kapan harus bergerak...’? Hoeee, apa itu berarti ada orang yang dia sukai?

“Siapa ya orang itu? Bisa jadi orang itu adalah Jiro?” Aku mulai meracau tidak jelas.

--

From : Lee Shaoran.
Jam 11, di Taman pinguin ya. Sampai Nanti.

Ah, karena terlalu bersemangat, aku datang lebih cepat 30 menit dari jam yang dijanjikan. Tapi sepertinya wajar saja, kan? Bagaimanapun juga ini adalah date pertama kami setelah sekian lama aku tidak bisa bertemu dengannya.

Aku terkejut saat menyadari kalau di dalam taman pinguin terlihat seorang cowok familiar yang tengah duduk di bangku taman.

“Sha-Shaoran...?”

Shaoran pun kaget. Mungkin dia juga tidak berpikir akan mendapati aku sudah berada di taman ini lebih cepat dari jam yang dijanjikan. Namun, senyum di wajahnya menggantikan rasa kaget kami berdua.

“Hai...”

“Em... Ha-hai...” aku tesenyum canggung.

Setelah saling sapa dan dia menawarkanku duduk di bangku taman itu. Kami terdiam cukup lama. Aku bahkan berpikir, ‘apa sebelum jam 11 kita dilarang berbincang?’. Tentu saja itu pikiran bodohku.

“Em... Bagaimana kabarmu?” Kemarin bahkan aku belum sempat menanyakan kabarnya. Dan tiba-tiba rasanya aku sangat membenci Kak Toya.

Mendengar pertanyaanku Shaoran tersenyum lagi.
“Menurutmu, bagaimana?” Aku memandangnya bingung. “Tidak bertemu orang yang kusukai selama empat tahun, aku rasa bukan termasuk kabar yang baik.”

Hoeee--- jangtungku! Aku merasakan rasa panas yang menjalar di kedua pipiku, dan tidak sanggup memandangnya. “Ka-kalau begitu kenapa nggak pernah datang menemuiku?”

“Aku rasa aku sudah bilang alasannya pada ayahmu kemarin.”

“Kalau begitu alasannya, aku nggak mau terima.” Aku melihatnya dengan sedikit kesal dan menatapnya. Tapi lagi-lagi dia tersenyum setelah mata kami bertemu cukup lama. Dan entah kenapa senyumnya selalu bisa membuatku sesak napas.

“Jadi kamu mau aku bilang gimana?” aku tidak tahu Shaoran itu sengaja mengusiliku atau apa, tapi jelas-jelas dia sengaja mendekatkan tubuhnya ke arahku tanpa memperhitungkan jantungku yang bisa berhenti kapan pun.

“Ya-ya... terserah. Ya-yang lebih masuk akal.” Lalu Shaoran tertawa pelan.

“Kalau kamu marah wajar kok...” katanya sambil mengusap kepalaku dengan lembut. Tatapan matanya yang teduh membuatku ingin menangis karena aku bisa merasakan kerinduan yang teramat hanya dengan menatapnya. Bisa saja saat ini juga, aku memeluknya dan menangis di pelukannya. Tapi sebelum itu kulakukan...

Krauk, krauk, krauk!

Terdengar seperti ada seseorang yang sedang makan sesuatu.

Hoooeee!!! “Ke-Kero!?”

“Huaa! Kuenya!!” Shaoran tiba-tiba teriak panik.

“Eh? Kue?”

“Apa yang kau lakukan Kerberos!” Shaoran merebut bungkus kue yang dimakan oleh Kero.

“Kueku!!” protes Kero.

Kenapa Kero bisa di sini? Dan sejak kapan? Itu berarti dia memperhatikan kami sejak tadi?

“Tinggal setengah...” wajah Shaoran terlihat sangat merasa bersalah. “Maaf, Sakura. Padahal aku berniat untuk memberikannya padamu tadi...”

Meski awalnya aku bingung, aku langsung mengerti kondisinya. Aku menggeleng cepat-cepat, “Nggak apa. Akan kuterima sisanya...” Aku mengulurkan tanganku ke arahnya dan Shaoran memberikannya padaku dengan ragu. “Keliahatannya enak. Kamu membuatkannya sendiri untukku?”

“Kueku...” Kero melihat bungkus kue yang berpindah tangan dengan wajah sedihnya.

“Yah, dibantu sedikit oleh Yukito-san.” Shaoran menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia terlihat menggemaskan ketika sedang malu.

“Kamu tinggal di tempatnya Kak Yukito?”

“Kebetulan saat kemarin sedang mencari penginapan aku bertemu dengannya dan dia menawarkan untuk menginap di rumahnya.”

“Wah keliatannya asik.”

“Yeah...” aku tahu Shaoran tampak tidak senang saat aku mengatakan seperti itu. Karena Shaoran sangat paham bagaimana dulu perasaanku deengan Kak Yukito.

“Dan Kero! Kenapa kamu bisa di sini!?”

“Hee!? Ya-yah... aku pikir kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Sakura. Jadi ketika kau sedang menelpon, aku diam-diam masuk ke tasmu. Dan ternyata benar!! Bocah ini membawakan kue! Itu kuekuuu!!” Kero berusaha untuk mengambil kue dari tanganku namun aku mencegahnya.

“Ini milikku, Kero! Dan sekarang jadi tinggal sedikit begini...”

“Tidak, itu kueku!!!” Kero menarik kuenya dari tanganku, namun tidak kubiarkan.

Karena melihatku dan Kero, Shaoran akhirnya buka mulut.
“Kalau begitu bagaimana kita ke cafe sekalian untuk makan siang?”

“Eh?”

“Asiik!” Kero berteriak kegirangan dan melepaskan kue itu dari tangannya.

“Hei, bocah! Lama nggak ketemu ternyata kau semakin pintar.” Kero menepuk pundak Shaoran dengan gayanya yang sok.

Tidak begini! Harusnya ini kencan pertamaku dengan Shaoran! Hanya berdua, aku dan Shaoran. Kenapa Kero harus ikut juga!?

Tidaaak!

“Ayo?” sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menangis, tangan Shaoran yang hangat menggenggam tanganku dan menarikku pergi dari taman itu.

Baiklah, kali ini aku memaafkan Kero. Aku merasakan rasa hangat yang sampai pada kedua pipiku

--

“Silahkan dilihat dulu menunya~” kata Jiro tersenyum lebar ke arahku.

Dan apa lagi ini, kenapa saat aku mau berdua saja dengan Shaoran, orang-orang yang kukenal bermunculan di depanku?

“Ah, terima kasih Jiro...” kataku seraya tersenyum kepadanya. Setelah itu Jiro memperhatikan Shaoran.

“Dia temanmu, Sakura?”

“Bu-bukan... Pa-pa...”

“Aku pacarnya.” Shaoran menyinggungkan senyum dan menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Jiro. Namun karena Jiro tidak menyambut, Shaoran menurunkan kembali tangannya.

Jiro terlihat kaget dan terdiam lama sekali. Ada apa dengannya?

“Kamu kerja sambilan di sini, Jiro?” aku coba memanggilnya namun Jiro masih tetap terdiam, hanya bergeming.

“Halo? Jiro?” Kulambaikan tanganku di depan wajahnya dan dia terbangun dari lamunannya.

“A-ah, i-iya Sakura?” Sepertinya dia sudah tersadar.

“Kamu kerja sambilan di sini?”

“... ya, baru beberapa hari.”

“Ah, begitu. Oh, iya. Aku pilih yang ini aja. Kamu gimana, Shaoran?”

“Aku juga sama.”

“Oh, dan ini satu ya,” sambil menunjuk salah satu menu. Tidak lupa aku memilihkan makanan untuk Kero yang sekarang sedang bersembunyi di bawah meja.

“Ya, ditunggu sebentar.”

Sesungguhnya bertemu Jiro barusan membuatku tidak nyaman. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja. Tapi karena aku dan Shaoran bisa menikmati acara makan siang kami dengan sangat menyenangkan, lagi-lagi semua hal yang mengganggu termaafkan. Kero pun hanya makan dengan tenang di bawah meja.

Bisa dikatakan kencan hari ini cukup berhasil. Meskipun entah kenapa saat sedang makan makanannya, Shaoran terlihat sedikit aneh. Tapi setelah kutanya, dia menjawab seakan semua baik-baik saja.

Setelah makan siang, aku dan Shaoran pergi ke berbagai toko untuk melihat-lihat. Beruntung, Kero tertidur pulas di dalam tasku, jadi kami benar-benar menikmati kebersamaan kami. Tapi beberapa kali Shaoran terlihat sedang mengamati sesuatu namun dia selalu meyakinkanku tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Orange juice?” Shaoran memberikan minuman kepadaku.

“Terima kasih...” berhenti sejenak sebelum akhirnya kami menyudahi kencan pertama kami. Shaoran menawarkanku untuk meminum sesuatu yang dia beli di mesin penjual otomatis.

“Apa sejak saat itu kamu masih merasakan adanya keberadaan kartu?”

“Sudah nggak pernah lagi. Kenapa?” aku menatap Shaoran bingung.

“Berarti kartu itu sudah benar-benar terkumpul ya?”

“Sepertinya begitu.”

“Lalu, selama empat tahun terakhir nggak terjadi apapun?”

“Em... aku rasa begitu. Memangnya ada apa sih?” aku menuntut Shaoran untuk menceritakan semuanya.

“Sebenernya ini cerita yang sudah sangat lama...” aku menanti Shaoran menjelaskan lebih detail. Dan selama Shaoran menjelaskan, aku tidak banyak berkomentar.

Shaoran bilang, semua berawal dari cerita kakeknya yang mengajaknya bersama-sama mencari clow card. Aku tidak tahu sama sekali kenyataan bahwa kalau clow card terkumpul maka akan ada satu harapan yang bisa terwujud dengannya. Tapi sebelum Shaoran berhasil mengumpulkan kartu itu sang kakek meninggal dunia. 

Sekarang clow card sudah terkumpul, tapi aku sama sekali tidak berniat untuk memakainya.

“Menurutmu harus bagaimana?” tanyaku kepada Shaoran.

“Entahlah. Meskipun aku sudah membaca jurnal-jurnal yang dikumpulkan kakek bertahun-tahun, aku tidak bisa menemukan informasi penting mengenai ‘permintaan yang terkabul’ itu.”

“Aku nggak inginkan apa-apa lagi...” Berharap dengan kalimat minim itu bisa mengantarkan maksudku, tapi “...asal Shaoran ada di sampingku selalu...” aku hanya melanjutkannya dalam hati.

Shaoran memandangku dengan heran, sepertinya tidak mengerti maksud perkataanku. Namun saat pandangan kami bertemu, lagi-lagi dia menatapku dengan lama dan sendu. Seperti sedang ditarik ke dalam dimensi yang berbeda, aku pun hanyut dalam tatapannya.

“Ketemu!” seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran dengan kami, mendekat dan berhenti tepat di depan Shaoran.

“Lee Shaoran?” tanyanya dengan senyum manisnya. Gadis berambut coklat sepunggung itu dengan perawakan oriental yang cukup kental membuat kami terbengong-bengong dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

Dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Cina dan Shaoran telihat sangat kaget. Aku yang tidak mengerti hanya menunggu salah satu dari mereka mentranslate-nya dalam bahasa Jepang.

“Ah, aku Lihua. Em... dalam bahasa Jepangnya apa ya... Tu- tunangan? Ah, ya... aku tunangannya Lee Shaoran, halo!”

Ehhh!?

To be continues....



3 comments: