Wednesday, June 3, 2015

[Fiction] Pintu Gudang Belakang

Berikut ini adalah setoran saat malam narasi. Demi memenuhi janji pada Saa yang minta diterusin ceritanya, maka saya lanjutkan di blog.

Check this out yo~ (kali-kali bener xD)

Pintu Gudang Belakang



Berulang kali aku diingatkan oleh ibu, jangan pernah mengetuk pintu gudang belakang. Ibu selalu melarang aku ke sana, apalagi masuk ke dalam.
Tapi seingatku, aku pernah menghampiri tempat itu dan mengintipnya ketika waktu kecil.

Aku memang selalu dilarang ke sana, namun pintu itu sendiri tidak pernah terkunci. Ranting dan bunga-bunga mengelilinginya membuatku ingin selalu mendekat. Dan menarik kenopnya.

"Yoga! Ibu bilang jangan ke sana..." Aku tertunduk malu karena tertangkap basah ketika mengendap-endap mendekati pintu itu.
"Hari ini kita akan pergi ke rumah nenek, kamu siap-siap ya..."

Lagi? Kegiatan rutin tiap tiga bulan sekali. Haah... aku tahu nenek sudah tua dan selalu kesepian, tapi masa harus tiap tiga bulan ke sana?

"Hari ini boleh aku pergi ke rumah Rudi, Bu? Kami akan buat tugas kelompok. Mungkin juga aku akan menginap di rumahnya..."
"Kamu yakin?" Pandangan ibu melihatku dengan curiga, "kamu harus menginap di rumah Rudi ya. Bi Imas akan membersihkan seluruh sudut rumah ini, jd biarkan dia bekerja malam ini." Berhenti sejenak, "Ibu tidak ingin anak ibu sakit-sakitan karena debu"

"Iya, Ibu."

_______

"Yo gimana?"

"Bentar, aku lagi berusaha menghubungi orang rumah, Bi Imas nggak ngangkat telponnya"

"Lama. Udah ke rumah lu aja yuk."

"Rumahku lagi dibersihin. Nanti asmaku kambuh..."

"Yah... gue aja deh yang ke dalam rumah lu buat ngambil barangnya. Ayo cepet, udah ngga ada waktu nih... kita perlu modem lu."

Di tengah jalan saat aku sedang mengerjakan tugas kelompok, tiba-tiba internet di rumah Rudi tak bisa tersambung. Berbagai cara sudah ditempuh namun gagal. Warnet yang paling dekat ada di luar komplek ini, maka kami memutuskan untuk memakai modemku. Modem portable milikku mungkin bisa membantu. Namun, modem itu ada di rumah. Lima rumah dari rumah Rudi. Niatku, aku minta Bi Imas datang untuk mengantarkannya. Namun akhirnya aku dan Rudi pergi ke rumah karena tak ada yang bisa dimintai tolong.

"Bi Imas..." setelah mengetuk Rudi menarik kenop pintu ke bawah, namun tak ada terlihat siapa pun.

"Gak ada siapa-siapa, Yo... Udah beres kali bersih-bersihnya. Udah malem juga" Mendengar hal itu aku pun segera menyusul Rudi ke dalam, lalu mengarahkannya ke kamarku.

Drak!
Seperti ada suara kayu terhantam sesuatu dan patah. Lalu hening kembali. Aku dan Rudi hanya bertatap-tatapan.

"Jangan-jangan malling, Yo..."

Akhirnya kami turun ke lantai bawah dengan mengendap-endap. Namun keadaan masih aman dan tidak ada hal yang aneh.

"Keluar aja yuk, gue tiba-tiba merinding." Aku mengangguk dan mendahului Rudi, namun aku terhenti, Rudi pun terantuk tubuh menjulangku.

"Kenapa sih Yo?"

"... Rud, bunganya makin banyak." Kulihat bunga di sekeliling bangunan belakang semakin banyak. Malah hampir menutupi pintunya.

"Emang kenapa? Biarin aja sih..." lalu entah apa yang mendorongku, aku malah maju ke arah bangunan di belakang rumahku.

"Woi, Yoga!" Suara Rudi tertahan dan terpaksa mengikutiku.

Wangi bunga--yang entah apa namanya--itu semerbak. Aku seperti kenal dengan baunya, sepertinya ketika kecil aku pernah mencium bau serupa. Lalu... bau anyir darah yang sangat tajam.

Kenop pintu kutarik ke bawah dan perlahan decitan pintu terdengar nyaring. Mataku membulat ketika melihat hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Rudi menutup mulutnya dan kemudian terjatuh di lantai. Dan aku... aku terpaku dengan pemandangan yang ada di depanku.

Seekor binatang buas, yang bentuknya menyerupai serigala juga manusia tengah mencabik-cabik tubuh seseorang. Ibuku yang berada di pojok terlihat ketakutan setengah mati sambil memegang lilin. Beliau terus merapal sesuatu yang tidak kumengerti.

Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika aku melihat makhluk itu memakai sebuah kalung yang selalu dipakai ayahku.

"Yo... Yoga..." dengan gemetar Ibuku menggumamkan namaku. Kulihat Rudi telah berada jauh dari tempatku berdiri. Dengan ragu dia meninggalkanku.

Mata monster itu bertemu tatap denganku. Entah hanya khayalanku saja atau mata itu sekejap terlihat begitu lembut. Namun detik selanjutnya monster setengah manusia itu mengaung dengan suara yang menakutkan! Napasku menderu-deru tak beraturan.

Melihatku yang kepayahan monster itu tampaknya semakin tertarik denganku. Dia bersiap berlari, namun ibu menyeret potongan tangan mayat yang tercerai berai itu ke sudut ruangan.

Selagi monster itu lengah, ibu lari menghampiriku dan menarikku menjauh dari bangunan gudang itu.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ibu panik.

"I... Ibu, pi-pintunya..." Aku teringat pintu itu belum terkunci oleh apapun dan bisa saja monster itu menghancurkannya dan mengejar kami.

"Tenang, Nak." ibu mengatur napasnya. "Bunga itu akan menghentikan dia, dia tidak bisa menembus pertahanannya." Aku hanya mengangguk berusaha memahami perkataan ibu.

"A-ayah... Bu..." mataku mulai panas. Napasku sudah tidak beraturan. Sesak. Semua terasa tak begitu nyata. Sosok yang kukagumi itu....
Aku tidak mau mengakuinya, namun apa yang kutangkap dengan mataku telah membuktikan kebenarannya.

"Tenang, Nak..." Ibuku memelukku dan menenangkan. "Kita cari obatmu dulu..." belum benar-benar melangkah dari tempat itu, dobrakan pintu terdengar dari sebrang pintu. Hampir membuat jantung kami benar-benar lepas dari tempatnya. Sayup-sayup gerungan monster itu terdengar memilukan. Antara kemarahan dan tangisan.

"Ayah... masih di rumah Nenek." lanjutnya sambil memberikanku oksigen kepadaku.
"Eh? Tapi... Ka-kalung itu..."
"Itu kalung Nenek. Kalung itu sepasang, satu pada ayahmu dan satu pada nenekmu."
"Jadi..."

Ibuku bercerita banyak tentang masa lalu ayahku yang terjangkit penyakit aneh dan perjanjian nenek dengan siluman serigala. Terlalu rumit. Aku benar-benar butuh waktu mencernanya. Yang aku tahu, ibu menceritakan semuanya dengan ekspresi yang datar, malah sesekali meringis dengan ekspresi yang menakutkan.

Namun belum selesai pikiranku bekerja, pintu itu perlahan terbuka. Ibu dan aku waspada. Namun seorang wanita tua berambut putih dan hanya berselimut kain usang tergopoh-gopoh keluar dari pintu itu.

"Nenek sudah kembali..." Ibu tersenyum lelah melihat nenek mendekat ke arah kami. Aku sungguh tidak mengerti, kenapa ibu begitu santai dengan semua ini. "Tampaknya kita perlu mencari pembantu baru..."

Awalnya aku tidak paham benar dengan ucapan ibu, namun aku menyadari seseorang yang seharusnya ada di rumah ini.
"Bi... Bi Imas...."

Ibu menoleh kepadaku dan menyeringai dengan mata kosongnya.

FIN~

A/N : Saya kok ngerasain agak-agak mirip Demonata series. Semoga perasaan saya aja, yaa... #menenangkandirisendiri

2 comments:

  1. Ini emang mirip demonata seriessss!!! Yang jadi serigala~
    Wah juuuuu.......

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pas gue selese nulis malam narasi waktu itu juga gue menyadarinya, Na.... Tapi kayanya temanya aja deh, alurnya gue bikin beda. Jadi ngga mirip.... #pembelaandiri

      Delete