Thursday, October 15, 2015

[Fiction] Irama Puisi Cinta

Fiction di bawah ini didedikasikan buat Nana dan Ruru yang mengadakan lomba giveaway. Sempet salah POV saat pertama bikin, untungnya bisa gue perbaiki. Kejar-kejaran dengan waktu deadline di whatsap, tapi sayangnya tetep aja cerita ini nggak masuk sebagai kandidat karena telat ngeposting di blog. Maap ya Ria... :( Yasudah apaboleh buat.

Masalah judul dan isi kalo nggak nyambung plis jangan dikomen, itu ngasal banget.

Juga, setelah sekian lama dipajang padahal belom beres gitu... sekarang rampung diedit! 
Yang penting bisa menyelesaikan satu challenge tetep sebuah kemajuan buat gue, Hahahaha




Irama Puisi Cinta

Nama gue Nana. Cewek paling beken di SMA OWOP ini. Buktinya, silahkan tanya ke semua orang. Siapa sih yang nggak kenal sama Nana Gesana? Anak dari donatur terbesar di sekolah ini.

Kalaupun koridor dan lapangan sekolah bisa bicara mereka bakal memunculkan suara gema, seakan mengerti ketika ditanya siapa gue. "Waw" nggak tuh? Nggak beda sama gedung sekolah, pohon di taman sekolah juga bakal mengangguk paham ketika ditanya "Kenal Nana Gesana?"

Well, nggak cuma karena jadi anak dari donatur terbesar di sekolah ini, yang hampir tiap hari bagi-bagi buku ke setiap murid yang terdaftar di SMA OWOP ini, kecerdasan otak gue dalam semua mata pelajaran juga bikin gue makin tenar di sekolah ini.

Semua mata pelajaran... Komeditika, Familiologi, Romansejarah, Thrillerogi, Actionraga, semua deh pokoknya!

Iya gue handal di semua mapel, kecuali pelajaran satu ini yang dari orok sampe sekarang ini gue paling muak. Puihasa. Njir! Pelajaran Puihasa adalah ilmu yang mempelajari bahasa indonesia dalam puisi. Pelajaran Puihasa adalah turunan dari pelajaran Nonfiksa.

Keperfekan gue dalam mata pelajaran belum rampung, kalau masih ada pelajaran satu ini.
Pokonya gue paling muak sama pelajaran Puihasa! Mengarang puisi dan sejenisnya? Duh paling nggak banget deh buat gue!

Pernah ada kejadian, suatu hari ada tugas dari guru Puihasa disuruh buat puisi.  Behh langsung dah kepala gue pening, perut mules, bolak balik kamar mandi tujuh kali.

Gimana gak mules coba?
Sekarang di mata pelajaran Puihasa gue dapet tugas untuk buat 5 buah puisi dengan deadline satu minggu. Satu puisi dalam waktu satu bulan aja masih bikin gue pusing apalagi suruh menggarap tugas satu ini. Mana gurunya perfeksionis banget lagi. Duh...

Kebingungan gue terus berlanjut ketika deadline pengimpulan tugas tinggal 2 hari lagi sedangkan gue masih belum bisa buat puisi satu kata pun.
Padahal gue udah berusaha semaksimal mungkin buat bikin tugas gue itu terlaksana sempurna. Gue selalu bawa buku kecil kemana mana dengan maksud, kali aja gue bisa dapet inspirasi sewaktu waktu dan gue langsung bisa nulis di buku tersebut.

Setelah empat hari gue bertapa dan nggak nemu satupun ide, 3 hari terakhir gue memutuskan buat melangkahkan kaki gue ini menyusuri jalan yang nggak jelas arahnya.

Ketika dalam perjalanan mencari inspirasi puisi yang nyebelin ini, gue nabrak orang yang gak asing bagi gue sebelumnya.

Brukkk!

Seketika mata gue mendarat 10 cm tepat di matanya. Dan entah virus apa yang bersarang di hati gue saat ini, seketika gue tersihir akan tatapannya. Dan merasa nyaman ada di dekatnya. Dan sekarang, gue merasa punya banyak inspirasi dan ide buat merampungkan tugas puisi dari guru gue.

Braak! Gue tersadar dari lamunan barusan ketika preman itu mendorong bahu gue dengan tangan bajanya, dan akhirnya gue terjatuh.

****

Lha?
Padahal niatnya gue mau ngasih tahu anak di depan gue ini, kalo muka cengoknya  menghalangi pandangan gue  tapi dia malah jatoh tersungkur ke tanah.

Nggak habis pikir aja gue, emang tadi gue megang dia se-barbar apa sih? Kok dia bisa sampai jatuh kaya gitu?

Bukannya gue nggak sadar kalau bocah ini sempet pasang tampang bego, setelah dia melihat mata gue matanya terus berjalan mengamati tubuh dan wajah gue. Ya... itu memang bukan salah dia sih.

Sejatinya, Sang Khalik udah menciptakan gue tanpa kekurangan di bagian wajah dan tubuh.
Bahkan meski gue dengan sengaja bergelut di bidang yang membuat gue berselimutkan noda gini, bocah ini tetap bisa melihat potensi gue yang tersembunyi.
Salut gue, hoho!

"Ngapain sih?" Dengan keheranan yang bercampur intonasi nada bicara gue naik seoktaf.
Gue pikir sih itu biasa aja, tapi buktinya bocah yang ada di depan gue kaget. Reaksinya kayaknya mengatakan lebih dari biasa deh. Habis ekspresinya kaya curut yang ketangkap basah sama kucing garong.

"Ng... nggak papa, Bang. Santai... nggak luka kok."
"Eh, maksud gue, sori ya..." cepet-cepet gue ralat omongan gue. Kalo diterusin dengan intonasi yang sama atau bahkan naik seoktaf lagi, bisa-bisa bocah itu pipis di celana.
"Lagian lo dipegang secuil gitu aja bisa jatoh, hahahaha"

Bocah itu cuma diem aja. Nggak mungkin dia pingsan berdiri, kan? Yang mungkin itu, dia masih terpesona sama gue.
Tsk, susah banget jadi cowok menawan. Tampang blepotan oli gini nggak bisa bohongin orang.

"Kebiasaan nih sama bocah-bocah, intonasi omongan gue jadi tinggi terus kaya gini."

Setelah matanya menyelidik, sekarang dia sibuk berasumsi tentang gue.
Dari gerak matanya gue tau pasti.

Tapi terus gue mesti ngapain kalau bocah yang ada di depan gue ini masih takut buat buka suara? Sanking lamanya gue nunggu, gue melihat sekeliling dan akhirnya menyadari buku kecil yang tergeletak pasrah di tanah. Kemungkinan sih milik bocah itu. Sekilas baca buku itu dan tanpa sadar gue mengulum senyum.

"Bang, ayo cus" Imron, bocah malang yang terperangkap di sekolah preman menghampiriku untuk mengajakku kembali ke tempat kami.

"Punya lo?" Bocah itu sempet heran karena bukunya berada di tangan gue. Namun dengan sikap seadanya dia mengulurkan tangannya.
"Lo demen puisi juga?" gue lemparkan senyum lebar kepadanya. Bertemu dengan orang yang memiliki hobi yang sama itu jarang terjadi di kamus gue.

"Yah..." tapi jawabannya terdengar kurang antusias di telinga gue. Oh, mungkin gue salah menganggap dia suka puisi?

"Kenapa, bang?" Kali ini Cici ikut menghampiri. Gue rasa udah saatnya gue balik lagi ke realita.

Bahwa sebenernya penyuka puisi itu masih sangat jarang ditemui. Dan realita yang menuntut gue kembali sama anak-anak yang menanti di sekolah kecil yang hanya bertembokan triplek itu.

Mungkin gue salah udah berpikir menemukan sesuatu yang baru pada bocah di depan gue ini. Tapi....
"Kakak ini mau ikut belajar juga?" Dengan polosnya si Cici buka mulut tanpa rem.

"Hah? Belajar?" Bocah itu cengo. Ya nggak mungkin lah gue ngaku gue ini guru sekolah anak jalanan. Bisa jadi bocah itu bakal ketawa ngakak dan memandang gue dengan tatapan remeh.

"Oh, Kakak nggak tau ya? Abang ini guru."

Hegh! Cici...!?
Pengen rasanya kasih lakban di mulut anak itu biar diem.

"Oh yah?" Tapi di luar dugaan ekspresinya biasa aja. Gue bisa liat ketulusan dia menghargai saat menemukan fakta sebagai seorang guru dari anak-anak ini.

"Baca, tulis, gitu-gitu deh..." lanjut Cici.
Duh, nih anak....

Karena merasa gemas, tanpa babibu lagi gue memukul pelan kepala Cici dengan penuh sayang, "Berisik nih."
Sebagai tambahan gue memperjelas sedikit pekerjaan gue ke bocah itu, "cuma kegiatan isi waktu luang, pekerjaan gue yang sebenernya sih cuma ngutak-ngatik mesin di bengkel"

Tapi dipikir-pikir buat apa gue jelasin. Tsk, gue terlalu larut dalam atmosfir bocah bermata teduh itu. Nampaknya gue harus berhenti bermain-main kaya gini.

"Ohh..." bahkan dia sepertinya udah nggak tertarik bahasan mengenai diri gue ini. Tapi...
"Kalau bikin puisi bisa nggak?" Tiba-tiba saja dia buka suara dan perkataannya langsung memukul gue.

Gue mesti jawab apa dong?
'Suka banget. Mungkin gue udah jadi maniak puisi.' atau...
'Suka. Karena setiap detik nafas gue akan selalu ada kontribusinya buat hobi gue itu. Bikin puisi itu gampang, kok (tambahan pincingan mata)'

Apaan sih. Belagu amat gue.

Akhirnya gue memutuskan untuk tersenyum lebar dan berkata "Berpuisi itu tinggal mainin sense yang ada di dalam diri lo. Coba belajar rasain semua detail yang ada di sekeliling lo. Yang penting lo harus jujur sama diri lo sendiri..."

Nah kan gue sok mengajari lagi. Tau deh, tuh bocah paham nggak apa yang gue omongin. Kali ini tampangnya bukan cengo lagi. Apa ya... lebih condong ke ekspresi resah? Atau... malu?

Ah udah ah. Tapi seru kali ya, kalo ketemu lagi sama dia dan ngobrolin puisi bareng lagi.

"Gue cau dulu ya..." buru-buru gue gandeng anak-anak didik gue dan bermaksud untuk balik ke sekolah.

"Tu... tunggu." Katanya lagi tiba-tiba. "Nama. Nama lo siapa?"

Terbaca. Gue ngeliat semburat merah jambu di pipinya saat melihat ke arahnya.

"Izzy. Gue Izzy. Pergi dulu ya... dadah ke kakaknya anak-anak." Gue nahan senyum dan perasaan semangat gue.

"Dah Kaak!!"

Tangannya melambai dengan semangat, sesemangat perasaan gue saat ini.

Menulis puisi itu menyenangkan kok. Tapi nggak semenyenangkan membaca tiap kalimat di wajah lo.

Ria & Zu


---

1 comment:

  1. Waahhh... telat banget gue baru baca ceritanya. Wkakaka...
    Keren. *Tapi kenapa karakter gue jadi kayak gitu* -,-

    ReplyDelete