Thursday, November 26, 2015

[Fiction] Cerpen : Bunga Tidur


Oke, maafkan saya kalau jadinya sepanjang ini. 
Bisa lansung dicekidot aja? *kedip-kedip manja *dilempar ke bulan


Bunga Tidur


Kamu bagaikan bunga tidurku yang selalu ada di setiap malamku...
Anita membacakan satu kalimat yang tertulis di kertas yang sedang ia pegang.

“Aw... Sweet banget nggak sih?” Lira teriak kepada teman sebangkunya. Sebuah puisi yang ditujukan kepadanya.

“Ada yang aneh, Lir... Gue cuma mau lo berpikir yang realistis. Kak Andi itu wakil ketua BEM dan cowok alim—biarpun tampangnya sedikit ngeselin karena selalu keliatan kaya orang sombong. Kalo dia mau masukin lo ke dalam mimpinya juga paling cuma minta hal sepele kaya ngopiin data-data yang dia butuhin. Realistis lah...”
“Astagfirullah, kenapa gue bisa tahan ya, Nit, temenan sama lo!”
“Lho, kenapa?" Anita melanjutkan protesnya, "Abis nggak mungkin banget Kak Andi ngasih lo gituan. Dengan kata lain, itu surat cinta kan?”
“Biarpun gue cuma anggota BEM yang jarang ikut acara BEM, bukan salah gue dong kalo Kak Andi terpikat sama kekecean gue?”
“Lo emang harus banyak istighfar, Lira... Istighfar. Jangan mimpi terus...”

Kedua orang itu melewatiku begitu saja, seperti tidak ada siapapun di depannya. Ya, selain mereka berdua memang hanya ada aku di sini—karena teman yang lain sudah keluar terlebih dulu. Keberadaanku ini bisa dikatakan sangat jauh dari eksistensi manusia kebanyakan. 

Suatu ketika saat kami sedang mengikuti mata kuliah Kewarganegaraan, sang dosen yang selesai menjelaskan Hak dan Kewajiban Warga Negara, meminta pendapat kepada kami. Kebetulan aku yang masih ingat jelas isi Hak dan Kewajiban dalam UUD 45 yang tercantum pada pasal 30, mengemukakan pendapatku. Aku yakin kalian tidak mau mendengarnya. Yang pasti aku juga membeberkan secara lengkap isi pasal itu. Lalu dengan wajah bengong sang dosen balik bertanya kepadaku.
“Moza, sejak kapan kamu duduk di sana? Kapan kamu masuk?”

Aku melihat teman-temanku. Maksudku, meminta dukungan untuk mengatakan bahwa aku ada di sini sejak awal perkuliahan dimulai. Tapi teman yang lain justru mengangguk setuju atas pertanyaan si ibu dosen, seakan tidak ada yang bisa merasakan keberadaanku di ruangan itu sejak tadi.

“Kayanya Moza ada dari tadi deh, Bu?” Lira, teman satu kelasku buka mulut.
“Kamu lihat, Lir?”
“Nggak, Bu. Saya cuma denger suara kursi Moza yang berbunyi di awal perkuliahan...” Setidaknya itu lebih baik daripada tidak disadari keberadaannya sama sekali. Lalu Lira mendapat sorakan dan beberapa hujatan ‘sok tau’ dari teman yang lain.

Tanpa diduga perkuliahan kembali kondusif dan masalah kehadiranku terselesaikan begitu saja.

Terkadang, aku merasa sedang berada di alam mimpi dan hadir hanya untuk mengawasi mereka.
**
“Gue pikir, untuk pesta ulang tahun kampus yang ke-68 ini sebaiknya kita bikin sesuatu yang berbeda...” Kusnadi si ketua angkatan di kelasku mulai berpendapat.“Maksud gue, sebelum kita semua sibuk sama skripsi kayak senior-senior kita, gue mau kita sama-sama buat kenangan yang nggak terlupakan.”

Njir, tuh anak kebanyakan baca komik atau nonton anime deh kayaknya,” gumam Anita. Beberapa anak-anak yang lainnya ada yang setuju dan sebagian lagi ada yang melihat Kusnadi layaknya Anita melihatnya.

“Dan lagi, kita bisa buat anak-anak yang sering nebeng nama di kegiatan kampus bener-bener bekerja. Contohnya kaya yang di samping lo, Nit.” Kusnadi menyindir Lira yang sejak tadi tidur dengan tenang. 

Sudah menjadi kebiasaan Lira selalu tidur saat mata kuliah Filsafat berlangsung. Namun, hari ini tidurnya sedikit lebih lama, karena sehabis kuliah Kusnadi memutuskan untuk mengadakan rapat dadakan di kelas. Akhirnya tanpa minta persetujuan yang lainnya, Kusnadi membuat konsepnya dan mulai membagi teman-teman dalam kepanitian.

“Ih, seenaknya aja tuh anak. Yang lain juga belom bersuara, udah maen mutusin aja.” Anita menggumam jengkel. “Ini lagi, kebo banget! Woi, bantuin bersuara kek!” seru Anita seraya mencubit pipi Lira. Lira mengaduh kesakitan. 

Sebenernya aku sependapat dengan Anita yang tidak mau repot-repot di perayaan ulang tahun kampus. Toh aku juga tidak diharapkan keikutsertaannya.

“Seksi dokumentasi. Yang ini udah nggak usah diganggu gugat ya. Gue percayain sama lo ya, Nit.”
“Kok gue sih?” Anita berdiri dari tempat duduknya tiba-tiba untuk protes.
“Di antara angkatan kita kemampuan lo yang paling banyak diakuin sama anak-anak dalam hal photography...”
Anita diam sejenak. Sepertinya dia merasa tersanjung sekaligus merasa kesal karena tidak bisa bergerak menghindar saat Kusnadi berbicara demikian.

“Kalo gitu gue boleh milih orang yang bakal bantuin gue...”
“Silahkan aja,” sela Kusnadi.
“Lira.”
“Udah gue duga,” Kusnadi berkomentar tanpa rasa kaget.
“Kok gue sih?” Lira buru-buru protes pada Anita. Namun tatapan Anita membuatnya langsung bungkam setelah sedetik mengatakan itu.

Lira yang tepat ada di depanku, tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan kini melihat ke arahku, tersenyum penuh arti. Dia menarik tanganku dan mengacungkannya ke atas.

“Moza juga bakal se-tim sama kita.” 

Hah!?

“Eh?” Kusnadi dan aku sama-sama kaget. Tidak ketinggalan reaksi anak-anak yang lainnya, termasuk Anita.
“Bebas, kan?” Lira minta persetujuan Kusnadi. Namun Anita sendiri sepertinya tidak merasa keberatan saat Lira mengajukanku sebagai teman setimnya. 

“O-oh... Oke aja. Tapi kita harus denger pendapat yang bersangkutan dulu, bersedia atau tidak?” Kusnadi menatap ke arahku sebentar lalu menjatuhkan pandangannya ke lantai. Setahuku sih dia bukan tipe cowok alim yang menurunkan pandangannya seperti itu.

Lira memandangku dengan memamerkan deretan gigi putihnya. Aku menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pelan--yang mungkin orang lain tidak mengira kalau itu sebenernya helaan napas pasrah.

“Boleh...” jawabku dengan pelan.
“Yes!” Lira bersorak girang.

Mungkin saja pertimbangan anak ini mengajakku ikut serta adalah untuk menjadikanku tumbal agar dia bebas dari tugas. 

**
Ya, di sinilah aku sekarang. Kebun Raya Bogor. Dengan kamera SLR yang menggantung di leherku dan Anita. Sedang Lira memegang kamera digital mini kesayangan miliknya.

“Ini yang disebut tes kamera, Moz.” Anita masih sibuk mengutak-atik kamera sedangkan aku mengurungkan niat ingin berkomentar dengan apa yang barusan Lira katakan.

Hanya mereka saja yang menganggap kegiatan tes kamera itu harus di tempat jauh, seperti di Kebun Raya Bogor ini misalnya. Bisa jadi hal ini hanya ada dalam konsep kedua anak ini.

“Kita coba ke tempat bunga anggrek yuk,” ajak Anita menyusuri jalan taman.

Seumur hidupku aku belum pernah merasakan jalan-jalan seperti ini. Maksudku, hang out ke luar  bersama teman untuk bersenang-senang atau bahkan sekedar melakukan hal remeh yang tidak penting. Ini pertama kalinya.

Selesai mengambil foto ke sana dan kemari, kami memutuskan untuk istirahat dan melihat-lihat hasil foto kami. Kami memilih tempat di tengah taman yang beralaskan rumput hijau. Anita menyiapkan laptopnya dan memasukan memori card kameranya. Kusnadi tidak berbohong. Kemampuan Anita dalam mengambil foto cukup oke untuk kategori pemula. Aku jadi merasa sungkan untuk memperlihatkan foto milikku.

“Punya lo cukup oke, Moz.” Anita sungguh-sungguh memujiku. Namun aku merasa tidak berhak menerimanya.

“Punya kamu lebih oke.”
“Ah, lo bisa aja.” Anita mendorong tubuhku--tanpa sungkan. “Setidaknya lo masih bisa diharapkan dibanding bocah ini.” Anita menunjuk Lira yang sudah terkapar tidak berdaya di atas rumput hijau. Pemandangan di sana memang sangat menenangkan, ditambah lagi udara yang sangat sejuk. Memang tidak bisa disalahkan kalau Lira langsung merasa nyaman di sana.

“Sesekali memang harus ke sini...” lanjut Anita seraya ikut merebahkan dirinya di atas rumput. Aku tidak banyak berkomentar, ikut menikmati hembusan angin dan sedikit sinar matahari yang menerpa wajah saat mengambil posisi tidur.

-
-

Sudah setahun setengah selalu sama. Aku berada di baris paling belakang dan baris di depanku ada Anita dan Lira yang selalu berdampingan. Mereka lah yang paling sering menyapaku. Meskipun kata sering yang aku maksud tidak lebih dari 5 kali dalam sebulan. 

Aku selalu mendengarkan cerita mereka dan seakan aku ikut menjadi bagian dari mereka. Lira yang banyak bicara itu, seakan membiarkanku tau masalah apa yang dia curhatkan kepada Anita.

Tiga bulan terakhir ini ada seorang kakak kelas yang dikaguminya. Baru tiga hari yang lalu dia mendapatkan sepucuk puisi di novel Lira yang dipinjam olehnya.

Oleh karena itu, entah bagaimana caranya aku tahu orang yang dibalik tirai ini adalah Kak Andi, kakak senior yang dikagumi oleh Lira.

Lira berada di sampingku, dengan perasaan cemas dia menggenggam erat beberapa helai kertas yang ada di dalam map yang dipegangnya.

“Gue nggak tau, Kak Andi mau nggak ya proses sama gue?”

Dalam sekejap aku sudah bisa mengetahui keadaan ini. Bahwa Lira sedang melaksanakan proses taaruf dengan Kak Andi--aku sering mendengar anak mesjid membahas hal seperti ini. Namun Lira masih ragu apakah Kak Andi akan menolaknya setelah membaca proposalnya atau tidak. 

Aku melihat sekeliling. Kemana Anita saat dibutuhkan untuk memberikannya semangat?

“Jadilah dirimu sendiri, Lir... Nggak usah takut,” kataku saat tidak juga menemukan sosok Anita.

“Makasih Za.” Lira tersenyum lega sambil membalas genggaman tanganku.

-
-

Kedip. Aku tersadar dan masih di tempat yang sama. Di atas rerumputan hijau di tengah taman Kebun Raya Bogor. Tidak lama setelah itu Anita dan Lira mengerjapkan mata dan bangun.

“Pulang yuk,” ajak Anita.
“Hah? Gue ketiduran. Mimpi itu lagi... hihihi” Lira terkikih seperti sedang membayangkan sesuatu yang lucu.

“Ya, ampun. Tidur sebentar sempet-sempetnya mimpi.” Anita tidak habis pikir.
“Karena gue mimpi indah jadi lo sirik, Nit?”
“Yaelah, Lir...” komen Anita malas.
“Yang penting kan gue seneng...” lalu Lira terkekeh. Dia tiba-tiba mengamit tanganku dan kami beranjak untuk pulang. Lalu Anita mengatakan dengan suara kecil, seperti ‘terserah deh’.

Biasanya aku tidak pernah penasaran dengan apa yang dimimpikan semua orang, toh itu urusan pribadi mereka yang tidak mungkin juga aku campuri. Tapi kali ini...

“Mimpi apa, Lir?” Awalnya Lira menatapku heran, namun setelah itu dia tersenyum.
“Karena lo ada di mimpi itu, lo berhak tau.” Dia membisikkan sesuatu kepadaku. Lira menceritakan persis apa yang aku lihat dalam mimpiku. Mimpi saat aku bersamanya tadi menemani Lira untuk bertaaruf dengan Kak Andi di mesjid kampus.

Aku tercengang hebat.
Bukan, bukan karena mengetahui cerita barusan. Tapi aku merasakan sebuah fakta lain yang aku ragukan selama ini.
**

Beberapa hari setelah itu. Aku berjalan menuju ruang kelas. Ketika sampai di lobi, aku melihat dari kejauhan seseorang yang mukanya akhir-akhir ini aku kenal. Kalau aku tidak salah, dialah Kak Andi yang dikagumi Lira.

Ketika aku memutuskan untuk bersikap biasa—layaknya orang yang tak mengenalnya—dia malah memanggilku,
“Maaf...” dia memamnggilku saat berpapasan denganku. “...kamu temannya Lira?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan.

“Mm... Saya ingin memberi ini.” Dia memberikan selembar kertas hvs yang dilipat dengan rapi. “Bisa tolong berikan padanya?” jeda sebentar. “Saat mengembalikan novel miliknya, saya memberikannya bersama amplop yang berisi... em... puisi saya. Itu kesalahan saya. Saya sedang belajar membuat puisi dan harusnya tidak salah memberikan itu kepadanya. Saya harusnya memasukkan ini ke dalamnya. Contoh surat pengantar untuk melakukan observasi.”

Lira salah paham? Gawat. Apa yang harus aku lakukan?

Kalau aku sampai menyampaikan kepada Lira hal ini, aku tidak tahu bagaimana sikapnya kepadaku nanti.

“Baiklah, saya mengerti.” Tapi di luar dugaan aku malah menyanggupinya, meski aku tidak ingin melakukannya. Lalu kami saling pamit setelah dia mengucapkan terima kasih.

Sebelum kelas dimulai, aku melihat Kusnadi menghampiri Anita.

“Pesiapan kalian udah sampe mana?”
“Dokumentasi sih nggak mempersiapkan banyak hal sebelum acara, kita kan kerja pas acara,” jawab Anita seadanya.
Aku berjalan ke arah tempat dudukku—yaitu tempat yang paling belakang—dan mendapati Lira yang tengah tertidur. Suasana kelas agak ramai, karena dosen yang mengisi kuliah kami akan datang terlambat. Aku melihat dari belakang, alis mata Lira mengerut tidak senang.

Mungkin dia tidak bisa tidur karena suasana kelas berisik. Atau bisa jadi dia sedang bermimpi buruk. 

Penasaran dengan sesuatu, aku mencoba memejamkan kedua mataku.

-
-

“Kenapa kamu tidak mau dijodohkan, Nak?” tanya wanita setengah baya duduk bersampingan dengan seorang anak perempuan yang tertunduk sedih. “Kamu harus menjelaskan alasanmu kepada Bapak atau Ibu,” lanjutnya lagi.

Aku hanya memperhatikan mereka di ambang pintu masuk.

“Lira nggak tau, Bu. Lira hanya berpikir Lira nggak bisa,” ya, dia adalah Lira dan ibunya. Aku langsung paham topik apa yang sedang mereka bahas. Lalu sekelilingku tiba-tiba gelap gulita. Aku tidak bisa melihat apapun. Dan tiba-tiba aku sudah berada di tempat yang berbeda. Masih di ambang pintu, namun pintu mesjid.

Kali ini sekumpulan orang berpakaian batik formal sedang duduk ramai-ramai di dalam mesjid itu. Di depan mereka ada seorang wanita berpakaian kebaya pengantin berwarna putih gading, yang terus menundukkan tatapannya. Menunggu mempelai pria yang belum datang.

Siapa yang akan datang, tentu saja itu masih menjadi misteri.

“Ini memang mimpinya, tapi kalau saja aku bisa mengontrolnya...” Aku melihat kertas hvs yang terlipat rapi di tanganku. “Nggak ada salahnya mencoba.”

Aku memejamkan mata dan mencoba mencari sesosok orang yang sangat ingin ditemui Lira saat ini. Aku mencoba dengan keras, hingga tanpa sadar peluh di sekitar keningku semakin banyak. Setelah beberapa lama, aku mencoba membuka mata. Dan aku menemukan orang itu di halaman depan mesjid dengan tatapan bingung.

“Kak Andi!” panggilku saat menghampirinya. “Lira sudah siap di dalam, hari ini kalian akan menikah. Pergilah ke sana.” Aku bisa melihat kebingungan di wajah Kak Andi.

Aku memberikan kertas hvs terlipat rapi kepadanya, “...dan ini. Cobalah untuk menjelaskannya sendiri.” Kak Andi semakin bingung, namun aku menatapnya mencoba untuk membuatnya mengerti. Detik selajutnya, dia mantap melangkahkan kakinya ke dalam masjid.

“Assalamualaikum...” para tamu dan juga Lira kini melihat ke arah suara itu berasal. Lira kaget karena sepertinya tidak menyangka dia akan menikah dengan Kak Andi. Mataku saat itu bertatapan dengan Lira, dia terdiam sebentar kemudian tersenyum manis ke arahku. Otomatis aku membalas senyumnya, tersenyum senang ke arahnya.

-
-

Kedip. Aku membuka mata dan melihat Lira tersenyum di sela-sela tidurnya.

“Lir, Pak Joko datang tuh.” Anita mengguncang tubuh Lira dengan keras.

Kini aku yakin dengan keanehan yang terjadi pada diriku. Sebelumnya aku tidak pernah menyadari apa yang terjadi dengan tubuhku ini. Karena sejak kecil aku sudah sering mengalami hal-hal aneh itu. Ya, hal yang terjadi di dalam mimpiku.

Misalnya saja, indera perasaku bisa berfungsi dengan baik saat tidur. Atau aku bisa dengan mudah mengetahui keberadaanku. Dunia mimpi atau nyata?
Terkadang aku juga bisa mengendalikan apa yang ada di mimpiku. Belakangan saat SMA aku mengetahui tanda-tanda itu sangatlah mirip dengan Lucid Dream.  Siapapun bisa mengalaminya, saat itu aku masih menganggapnya itu adalah hal yang biasa, setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. Aku pikir ada hal yang lain yang membuatku berbeda dan aku menyadari kata yang tepat untuk itu.

Penjelajah mimpi.

Kecurigaanku mulai menguat saat aku tertidur di waktu yang sama dengan Lira di Kebun Raya Bogor beberapa waktu yang lalu. Dan sekarang aku mendapati fakta bahwa aku bukan hanya bisa masuk ke dalam mimpi dan mengendalikan mimpi.

Kurunut semua kejadian, dalam ingatanku. Sepertinya hal ini bukan yang pertama kali terjadi. Seharusnya aku sudah menyadari ini sejak lama. Tapi entah karena alasan apa aku mencoba untuk mengapus semua kenangan itu.

Kupaksa ingatanku untuk sampai pada memori saat itu. Dan ingatanku tertumbuk pada suatu kejadian. Terhenti pada kejadian itu. Saat itu mungkin aku kelas 2 SMA. Saat diadakannya acara summer camp di sekolahku.
**

“Di grup kita nggak ada cowoknya, itu semua salah lo karena terlihat menyedihkan dan selalu sendirian di kelas!” Wanita cantik berambut bob itu menunjuk-nunjukkan jarinya ke pundakku dengan keras.

“Kita sial banget ya, Va. Ada banyak kelompok di kelas, tapi malah kita yang kebagian anak menyedihkan begini,” Wanda menggerutu kesal.

“Udahlah, kita suruh aja Moza yang kerjain semuanya. Biarin dia kerja sendirian.” Kali ini Eva menepuk-nepuk pundakku dengan seringainya yang menakutkan.

“Gue setuju,” Mira bersorak riang.

Alhasil, saat itu hanya aku yang sibuk sendiri. Dari mulai memasang tenda sampai mencari kayu dan daun kering untuk dibakar. Posisi tendaku dengan tenda panitia—yang berisi guru-guru—terpaut jauh jaraknya, maka tingkah seenaknya Eva dan kawan-kawan semakin parah.

“Udah cuciin piring bekas kita-kita?” tanya Mira dengan wajah polosnya. Aku mengangguk pelan.
Eva langsung keluar membawa jaketku keluar tenda dan dengan jijiknya melemparkannya ke arahku.

“Ingat ya, kalau ada guru yang lagi patroli lo boleh masuk dan tidur di dalam. Kalo nggak ada, lo sekarang tidur di luar! Jangan ganggu kita yang butuh tidur untuk kecantikan.” Setelah mengatakan hal itu Eva masuk ke tenda diikuti oleh Mira dan Wanda.

Bagi orang pendiam seperti diriku, saat ingin melakukan sesuatu yang mengasyikkan tanpa melanggar hukum hanya bisa dilakukan di dalam mimpi. Aku bisa membentuk makhluk aneh dengan tampilan yang cukup menyeramkan dan mengendalikannya untuk membantuku melakukan SEGALA hal. Ketika aku mengalami sesuatu yang buruk, aku meminta mereka untuk melakukan rencana yang tidak akan pernah aku lakukan di dunia nyata. Misalnya saja, ketika dikerjai oleh teman.
Hal itu sudah terus berlangsung sejak aku kelas 4 SD. 

Dan kali itupun aku akan melakukannya lagi pada mereka. Saat itu aku sadar, aku telah berada di mimpi. Namun aku tidak pernah aku bayangkan tempat seperti itu menjadi latarnya. Ya, di sebuah Diskotik. 

Di sana aku menemukan Eva, Wanda dan Mira yang sedang terlena di lantai dansa. Aku hanya menepuk tanganku dua kali dan keluarlah tiga orang berpakaian serba hitam dengan moncong mulutnya yang berbentuk masker mengerikan. Mereka mengeluarkan asap berwarna kuning tua dan membuat ketiga wanita itu kehilangan kesadaran. Setelah memacu mobil dengan cepat, kini posisi mobilnya berada di tepi jurang. Sekali ada gerakan mungkin mobil itu akan jatuh dan hilang di dasar jurang yang tak pernah terjangkau oleh penglihatan manusia.

Eva melihatku dan memohon dengan sangat ketakutan. Kedua temannya hanya bisa menangis.

“Moza... tolong... tolong kami waa!!” aku sendiri dapat merasakan kengerian yang mereka alami ketika baru saja mobil mereka bergoyang dan akan jatuh ke jurang sana.

“Aku bertaruh, kalian tidak akan pernah ingin jadi seperti aku.” Jeda sebentar. “Tapi tidak bisakah kalian hidup tanpa membuat orang sepertiku tambah susah?” hanya itu yang ingin aku sampaikan pada mereka. Aku tidak menginginkan mereka mati atau semacamnya. Aku hanya ingin mereka mengerti, dan mulai mengurusi urusan mereka masing-masing.

Selanjutnya aku berada di setting tempat yang sama sekali berbeda. Di rumah. Rumah Wanda. Seperti yang sudah kurencanakan, aku akan bermain-main dengan mereka di dalam mimpi, karena hanya di dalam mimpi aku bisa mengendalikan semuanya dan berbuat sesuai keingiananku.

Sejak saat itu Eva dan kawan-kawan tidak pernah lagi berurusan denganku. Aku pikir itu aneh. Tapi sedikitpun aku tidak pernah menyadari, kalau aku sebenarnya telah melewati dimensi lain. Aku telah menjelajahi mimpi mereka dan mengendalikannya.
**

“Moza?” Lira menepuk-nepuk pelan pipiku. Lalu Lira kembali tertawa senang.

“Jangan-jangan penyakit pelor gue nular ya? Tapi lo bengong apa tidur sih?” Lira terkikih geli. Anita kemudian bersiap dengan tas gemblok dan ecobag yang selalu dibawanya. Saat tersadar dari lamunan, kelas telah kosong. Aku bahkan tidak dengar satu katapun saat dosen kami berbicara.

“Udah pada pulang?” tanyaku pada mereka.

“Gue saranin Moz, jangan dekat-dekat Lira. Penyakit dia itu bahaya, bisa nular gitu...” 

“Kan tadi gue bilang begitu, gak perlu diulang kali, Nit.” Lira menatap sinis Anita. Aku tanpa sadar tertawa meski tak bersuara. 

“Ih, Moza ketawa...” Lira menunjuk lurus-lurus ke hidungku. Kalau tidak menghindar mungkin saja aku sudah mendapatkan cawilan darinya.

“Pulang yuk!” ajak Anita. Namun aku masih terdiam. Tentu saja Anita mengajak Lira, bukan aku.
“Kok diem aja, Za? Ayok.” Lira mengetuk mejaku untuk menyadarkanku. Nyatanya aku masih terbengong.
“Pulang bareng?” tanyaku bodoh.
“Iyalah. Mau ikut nggak?” aku mengangguk cepat-cepat, membereskan tasku dan segera beranjak dari tempat itu.

Sejujurnya aku takut. Aku takut suatu hari nanti aku tidak bisa mengendalikan diriku, aku takut akan seperti dulu lagi. Ketika di mana aku tersakiti dan tanpa sadar aku akan mengerahkan 'teman-temanku' untuk menyerang mereka atau menyakiti mereka.




Ya, aku menyadarinya. Aku seperti memiliki teman-teman di dimensi lain. Dan kurasa itu bukanlah hal yang baik. Parahnya lagi aku juga tidak bisa bilang kalau itu adalah hal yang buruk.

Aku masih tertinggal di belakang, memikirkan hal-hal yang aku khawatirkan. Saat akhirnya tersadar, Lira berjalan ke arahku dan merangkul pundakku. 

“Jalan lo kaya Putri Solo, ih.” Lira terkikih lagi, kali ini aku melihat Anita ikut tersenyum sekilas saat menoleh pada kami.

Mungkin saja... mungkin saja ketakutanku ini tidak beralasan. Ya, mungkin saja. Atau mungkin tidak juga.
Aku tersenyum dan menyusul mereka.

FIN?

FIN?

4 comments: