Oke, maafkan saya kalau jadinya sepanjang ini.
Bisa lansung dicekidot aja? *kedip-kedip manja *dilempar ke bulan
Bunga Tidur
“Kamu
bagaikan bunga tidurku yang selalu ada di setiap malamku...”
Anita membacakan satu kalimat yang
tertulis di kertas yang sedang ia pegang.
“Aw... Sweet banget nggak sih?” Lira teriak kepada teman sebangkunya.
Sebuah puisi yang ditujukan kepadanya.
“Ada yang aneh, Lir... Gue cuma mau
lo berpikir yang realistis. Kak Andi itu wakil ketua BEM dan cowok alim—biarpun
tampangnya sedikit ngeselin karena selalu keliatan kaya orang sombong. Kalo dia
mau masukin lo ke dalam mimpinya juga paling cuma minta hal sepele kaya ngopiin
data-data yang dia butuhin. Realistis lah...”
“Astagfirullah, kenapa gue bisa
tahan ya, Nit, temenan sama lo!”
“Lho, kenapa?" Anita
melanjutkan protesnya, "Abis nggak mungkin banget Kak Andi ngasih lo
gituan. Dengan kata lain, itu surat cinta kan?”
“Biarpun gue cuma anggota BEM yang
jarang ikut acara BEM, bukan salah gue dong kalo Kak Andi terpikat sama
kekecean gue?”
“Lo emang harus banyak istighfar,
Lira... Istighfar. Jangan mimpi terus...”
Kedua orang itu melewatiku begitu
saja, seperti tidak ada siapapun di depannya. Ya, selain mereka berdua memang
hanya ada aku di sini—karena teman yang lain sudah keluar terlebih dulu.
Keberadaanku ini bisa dikatakan sangat jauh dari eksistensi manusia
kebanyakan.
Suatu ketika saat kami sedang
mengikuti mata kuliah Kewarganegaraan, sang dosen yang selesai menjelaskan Hak
dan Kewajiban Warga Negara, meminta pendapat kepada kami. Kebetulan aku yang
masih ingat jelas isi Hak dan Kewajiban dalam UUD 45 yang tercantum pada pasal
30, mengemukakan pendapatku. Aku yakin kalian tidak mau mendengarnya. Yang
pasti aku juga membeberkan secara lengkap isi pasal itu. Lalu dengan wajah
bengong sang dosen balik bertanya kepadaku.
“Moza, sejak kapan kamu duduk di
sana? Kapan kamu masuk?”
Aku melihat teman-temanku. Maksudku,
meminta dukungan untuk mengatakan bahwa aku ada di sini sejak awal perkuliahan
dimulai. Tapi teman yang lain justru mengangguk setuju atas pertanyaan si ibu
dosen, seakan tidak ada yang bisa merasakan keberadaanku di ruangan itu sejak
tadi.
“Kayanya Moza ada dari tadi deh,
Bu?” Lira, teman satu kelasku buka mulut.
“Kamu lihat, Lir?”
“Nggak, Bu. Saya cuma denger suara
kursi Moza yang berbunyi di awal perkuliahan...” Setidaknya itu lebih baik
daripada tidak disadari keberadaannya sama sekali. Lalu Lira mendapat sorakan
dan beberapa hujatan ‘sok tau’ dari teman yang lain.
Tanpa diduga perkuliahan kembali
kondusif dan masalah kehadiranku terselesaikan begitu saja.
Terkadang, aku merasa sedang berada
di alam mimpi dan hadir hanya untuk mengawasi mereka.
**
“Gue pikir, untuk pesta ulang tahun
kampus yang ke-68 ini sebaiknya kita bikin sesuatu yang berbeda...” Kusnadi si
ketua angkatan di kelasku mulai berpendapat.“Maksud gue, sebelum kita semua
sibuk sama skripsi kayak senior-senior kita, gue mau kita sama-sama buat
kenangan yang nggak terlupakan.”
“Njir,
tuh anak kebanyakan baca komik atau nonton anime deh kayaknya,” gumam Anita.
Beberapa anak-anak yang lainnya ada yang setuju dan sebagian lagi ada yang melihat
Kusnadi layaknya Anita melihatnya.
“Dan lagi, kita bisa buat anak-anak
yang sering nebeng nama di kegiatan kampus bener-bener bekerja. Contohnya kaya
yang di samping lo, Nit.” Kusnadi menyindir Lira yang sejak tadi tidur dengan
tenang.
Sudah menjadi kebiasaan Lira selalu
tidur saat mata kuliah Filsafat berlangsung. Namun, hari ini tidurnya sedikit
lebih lama, karena sehabis kuliah Kusnadi memutuskan untuk mengadakan rapat
dadakan di kelas. Akhirnya tanpa minta persetujuan yang lainnya, Kusnadi membuat
konsepnya dan mulai membagi teman-teman dalam kepanitian.
“Ih, seenaknya aja tuh anak. Yang
lain juga belom bersuara, udah maen mutusin aja.” Anita menggumam jengkel. “Ini
lagi, kebo banget! Woi, bantuin bersuara kek!” seru Anita seraya mencubit pipi
Lira. Lira mengaduh kesakitan.
Sebenernya aku sependapat dengan
Anita yang tidak mau repot-repot di perayaan ulang tahun kampus. Toh aku juga
tidak diharapkan keikutsertaannya.
“Seksi dokumentasi. Yang ini udah
nggak usah diganggu gugat ya. Gue percayain sama lo ya, Nit.”
“Kok gue sih?” Anita berdiri dari
tempat duduknya tiba-tiba untuk protes.
“Di antara angkatan kita kemampuan
lo yang paling banyak diakuin sama anak-anak dalam hal photography...”
Anita diam sejenak. Sepertinya dia merasa tersanjung sekaligus merasa kesal karena tidak bisa bergerak menghindar saat Kusnadi berbicara demikian.
Anita diam sejenak. Sepertinya dia merasa tersanjung sekaligus merasa kesal karena tidak bisa bergerak menghindar saat Kusnadi berbicara demikian.
“Kalo gitu gue boleh milih orang
yang bakal bantuin gue...”
“Silahkan aja,” sela Kusnadi.
“Lira.”
“Udah gue duga,” Kusnadi berkomentar
tanpa rasa kaget.
“Kok gue sih?” Lira buru-buru protes
pada Anita. Namun tatapan Anita membuatnya langsung bungkam setelah sedetik
mengatakan itu.
Lira yang tepat ada di depanku,
tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan kini melihat ke arahku, tersenyum penuh
arti. Dia menarik tanganku dan mengacungkannya ke atas.
“Moza juga bakal se-tim sama kita.”
Hah!?
Hah!?
“Eh?” Kusnadi dan aku sama-sama
kaget. Tidak ketinggalan reaksi anak-anak yang lainnya, termasuk Anita.
“Bebas, kan?” Lira minta persetujuan
Kusnadi. Namun Anita sendiri sepertinya tidak merasa keberatan saat Lira
mengajukanku sebagai teman setimnya.
“O-oh... Oke aja. Tapi kita harus
denger pendapat yang bersangkutan dulu, bersedia atau tidak?” Kusnadi menatap
ke arahku sebentar lalu menjatuhkan pandangannya ke lantai. Setahuku sih dia
bukan tipe cowok alim yang menurunkan pandangannya seperti itu.
Lira memandangku dengan memamerkan
deretan gigi putihnya. Aku menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas
pelan--yang mungkin orang lain tidak mengira kalau itu sebenernya helaan napas
pasrah.
“Boleh...” jawabku dengan pelan.
“Yes!” Lira bersorak girang.
Mungkin saja pertimbangan anak ini
mengajakku ikut serta adalah untuk menjadikanku tumbal agar dia bebas dari
tugas.
**
Ya, di sinilah aku sekarang. Kebun Raya Bogor. Dengan kamera
SLR yang menggantung di leherku dan Anita. Sedang Lira memegang kamera digital
mini kesayangan miliknya.
“Ini yang disebut tes kamera, Moz.” Anita masih sibuk
mengutak-atik kamera sedangkan aku mengurungkan niat ingin berkomentar dengan
apa yang barusan Lira katakan.
Hanya mereka saja yang menganggap kegiatan tes kamera itu
harus di tempat jauh, seperti di Kebun Raya Bogor ini misalnya. Bisa jadi hal
ini hanya ada dalam konsep kedua anak ini.
“Kita coba ke tempat bunga anggrek yuk,” ajak Anita
menyusuri jalan taman.
Seumur hidupku aku belum pernah merasakan jalan-jalan
seperti ini. Maksudku, hang out ke
luar bersama teman untuk
bersenang-senang atau bahkan sekedar melakukan hal remeh yang tidak penting.
Ini pertama kalinya.
Selesai mengambil foto ke sana dan kemari, kami memutuskan
untuk istirahat dan melihat-lihat hasil foto kami. Kami memilih tempat di
tengah taman yang beralaskan rumput hijau. Anita menyiapkan laptopnya dan memasukan
memori card kameranya. Kusnadi tidak
berbohong. Kemampuan Anita dalam mengambil foto cukup oke untuk kategori
pemula. Aku jadi merasa sungkan untuk memperlihatkan foto milikku.
“Punya lo cukup oke, Moz.” Anita
sungguh-sungguh memujiku. Namun aku merasa tidak berhak menerimanya.
“Punya kamu lebih oke.”
“Ah, lo bisa aja.” Anita mendorong
tubuhku--tanpa sungkan. “Setidaknya lo masih bisa diharapkan dibanding bocah
ini.” Anita menunjuk Lira yang sudah terkapar tidak berdaya di atas rumput
hijau. Pemandangan di sana memang sangat menenangkan, ditambah lagi udara yang
sangat sejuk. Memang tidak bisa disalahkan kalau Lira langsung merasa nyaman di
sana.
“Sesekali memang harus ke sini...”
lanjut Anita seraya ikut merebahkan dirinya di atas rumput. Aku tidak banyak
berkomentar, ikut menikmati hembusan angin dan sedikit sinar matahari yang
menerpa wajah saat mengambil posisi tidur.
-
-
Sudah setahun setengah selalu sama.
Aku berada di baris paling belakang dan baris di depanku ada Anita dan Lira
yang selalu berdampingan. Mereka lah yang paling sering menyapaku. Meskipun
kata sering yang aku maksud tidak lebih dari 5 kali dalam sebulan.
Aku selalu mendengarkan cerita
mereka dan seakan aku ikut menjadi bagian dari mereka. Lira yang banyak bicara
itu, seakan membiarkanku tau masalah apa yang dia curhatkan kepada Anita.
Tiga bulan terakhir ini ada seorang
kakak kelas yang dikaguminya. Baru tiga hari yang lalu dia mendapatkan sepucuk puisi
di novel Lira yang dipinjam olehnya.
Oleh karena itu, entah bagaimana
caranya aku tahu orang yang dibalik tirai ini adalah Kak Andi, kakak senior
yang dikagumi oleh Lira.
Lira berada di sampingku, dengan
perasaan cemas dia menggenggam erat beberapa helai kertas yang ada di dalam map
yang dipegangnya.
“Gue nggak tau, Kak Andi mau nggak
ya proses sama gue?”
Dalam sekejap aku sudah bisa
mengetahui keadaan ini. Bahwa Lira sedang melaksanakan proses taaruf dengan Kak
Andi--aku sering mendengar anak mesjid membahas hal seperti ini. Namun Lira
masih ragu apakah Kak Andi akan menolaknya setelah membaca proposalnya atau
tidak.
Aku melihat sekeliling. Kemana Anita
saat dibutuhkan untuk memberikannya semangat?
“Jadilah dirimu sendiri, Lir... Nggak
usah takut,” kataku saat tidak juga menemukan sosok Anita.
“Makasih Za.” Lira tersenyum lega
sambil membalas genggaman tanganku.
-
-
Kedip. Aku tersadar dan masih di
tempat yang sama. Di atas rerumputan hijau di tengah taman Kebun Raya Bogor. Tidak
lama setelah itu Anita dan Lira mengerjapkan mata dan bangun.
“Pulang yuk,” ajak Anita.
“Hah? Gue ketiduran. Mimpi itu
lagi... hihihi” Lira terkikih seperti sedang membayangkan sesuatu yang lucu.
“Ya, ampun. Tidur sebentar
sempet-sempetnya mimpi.” Anita tidak habis pikir.
“Karena gue mimpi indah jadi lo
sirik, Nit?”
“Yaelah, Lir...” komen Anita malas.
“Yang penting kan gue seneng...”
lalu Lira terkekeh. Dia tiba-tiba mengamit tanganku dan kami beranjak untuk
pulang. Lalu Anita mengatakan dengan suara kecil, seperti ‘terserah deh’.
Biasanya aku tidak pernah penasaran
dengan apa yang dimimpikan semua orang, toh itu urusan pribadi mereka yang
tidak mungkin juga aku campuri. Tapi kali ini...
“Mimpi apa, Lir?” Awalnya Lira
menatapku heran, namun setelah itu dia tersenyum.
“Karena lo ada di mimpi itu, lo
berhak tau.” Dia membisikkan sesuatu kepadaku. Lira menceritakan persis apa
yang aku lihat dalam mimpiku. Mimpi saat aku bersamanya tadi menemani Lira
untuk bertaaruf dengan Kak Andi di mesjid kampus.
Aku tercengang hebat.
Bukan, bukan karena mengetahui cerita barusan. Tapi aku merasakan sebuah fakta lain yang aku ragukan selama ini.
Bukan, bukan karena mengetahui cerita barusan. Tapi aku merasakan sebuah fakta lain yang aku ragukan selama ini.
**
Beberapa hari setelah itu. Aku berjalan menuju ruang kelas.
Ketika sampai di lobi, aku melihat dari kejauhan seseorang yang mukanya
akhir-akhir ini aku kenal. Kalau aku tidak salah, dialah Kak Andi yang dikagumi
Lira.
Ketika aku memutuskan untuk bersikap biasa—layaknya orang yang
tak mengenalnya—dia malah memanggilku,
“Maaf...” dia memamnggilku saat berpapasan denganku.
“...kamu temannya Lira?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
“Mm... Saya ingin memberi ini.” Dia memberikan selembar
kertas hvs yang dilipat dengan rapi. “Bisa tolong berikan padanya?” jeda
sebentar. “Saat mengembalikan novel miliknya, saya memberikannya bersama amplop
yang berisi... em... puisi saya. Itu kesalahan saya. Saya sedang belajar
membuat puisi dan harusnya tidak salah memberikan itu kepadanya. Saya harusnya
memasukkan ini ke dalamnya. Contoh surat pengantar untuk melakukan observasi.”
Lira salah paham? Gawat. Apa yang harus aku lakukan?
Kalau aku sampai menyampaikan kepada Lira hal ini, aku tidak
tahu bagaimana sikapnya kepadaku nanti.
“Baiklah, saya mengerti.” Tapi di luar dugaan aku malah
menyanggupinya, meski aku tidak ingin melakukannya. Lalu kami saling pamit
setelah dia mengucapkan terima kasih.
Sebelum kelas dimulai, aku melihat Kusnadi menghampiri
Anita.
“Pesiapan kalian udah sampe mana?”
“Dokumentasi sih nggak mempersiapkan banyak hal sebelum
acara, kita kan kerja pas acara,” jawab Anita seadanya.
Aku berjalan ke arah tempat dudukku—yaitu tempat yang paling
belakang—dan mendapati Lira yang tengah tertidur. Suasana kelas agak ramai,
karena dosen yang mengisi kuliah kami akan datang terlambat. Aku melihat dari belakang,
alis mata Lira mengerut tidak senang.
Mungkin dia tidak bisa tidur karena suasana kelas berisik.
Atau bisa jadi dia sedang bermimpi buruk.
Penasaran dengan sesuatu, aku mencoba memejamkan kedua
mataku.
-
-
“Kenapa kamu tidak mau dijodohkan, Nak?” tanya wanita
setengah baya duduk bersampingan dengan seorang anak perempuan yang tertunduk
sedih. “Kamu harus menjelaskan alasanmu kepada Bapak atau Ibu,” lanjutnya lagi.
Aku hanya memperhatikan mereka di ambang pintu masuk.
“Lira nggak tau, Bu. Lira hanya berpikir Lira nggak bisa,”
ya, dia adalah Lira dan ibunya. Aku langsung paham topik apa yang sedang mereka
bahas. Lalu sekelilingku tiba-tiba gelap gulita. Aku tidak bisa melihat apapun.
Dan tiba-tiba aku sudah berada di tempat yang berbeda. Masih di ambang pintu,
namun pintu mesjid.
Kali ini sekumpulan orang berpakaian batik formal sedang
duduk ramai-ramai di dalam mesjid itu. Di depan mereka ada seorang wanita
berpakaian kebaya pengantin berwarna putih gading, yang terus menundukkan tatapannya.
Menunggu mempelai pria yang belum datang.
Siapa yang akan datang, tentu saja itu masih menjadi
misteri.
“Ini memang mimpinya, tapi kalau saja aku bisa
mengontrolnya...” Aku melihat kertas hvs yang terlipat rapi di tanganku. “Nggak
ada salahnya mencoba.”
Aku memejamkan mata dan mencoba mencari sesosok orang yang
sangat ingin ditemui Lira saat ini. Aku mencoba dengan keras, hingga tanpa
sadar peluh di sekitar keningku semakin banyak. Setelah beberapa lama, aku
mencoba membuka mata. Dan aku menemukan orang itu di halaman depan mesjid
dengan tatapan bingung.
“Kak Andi!” panggilku saat menghampirinya. “Lira sudah siap
di dalam, hari ini kalian akan menikah. Pergilah ke sana.” Aku bisa melihat
kebingungan di wajah Kak Andi.
Aku memberikan kertas hvs terlipat rapi kepadanya, “...dan
ini. Cobalah untuk menjelaskannya sendiri.” Kak Andi semakin bingung, namun aku
menatapnya mencoba untuk membuatnya mengerti. Detik selajutnya, dia mantap
melangkahkan kakinya ke dalam masjid.
“Assalamualaikum...” para tamu dan juga Lira kini melihat ke
arah suara itu berasal. Lira kaget karena sepertinya tidak menyangka dia akan
menikah dengan Kak Andi. Mataku saat itu bertatapan dengan Lira, dia terdiam
sebentar kemudian tersenyum manis ke arahku. Otomatis aku membalas senyumnya,
tersenyum senang ke arahnya.
-
-
Kedip. Aku membuka mata dan melihat Lira tersenyum di
sela-sela tidurnya.
“Lir, Pak Joko datang tuh.” Anita mengguncang tubuh Lira
dengan keras.
Kini aku yakin dengan keanehan yang terjadi pada diriku.
Sebelumnya aku tidak pernah menyadari apa yang terjadi dengan tubuhku ini.
Karena sejak kecil aku sudah sering mengalami hal-hal aneh itu. Ya, hal yang
terjadi di dalam mimpiku.
Misalnya saja, indera perasaku bisa berfungsi dengan baik
saat tidur. Atau aku bisa dengan mudah mengetahui keberadaanku. Dunia mimpi
atau nyata?
Terkadang aku juga bisa mengendalikan apa yang ada di mimpiku. Belakangan saat SMA aku mengetahui tanda-tanda itu sangatlah mirip dengan Lucid Dream. Siapapun bisa mengalaminya, saat itu aku masih menganggapnya itu adalah hal yang biasa, setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. Aku pikir ada hal yang lain yang membuatku berbeda dan aku menyadari kata yang tepat untuk itu.
Terkadang aku juga bisa mengendalikan apa yang ada di mimpiku. Belakangan saat SMA aku mengetahui tanda-tanda itu sangatlah mirip dengan Lucid Dream. Siapapun bisa mengalaminya, saat itu aku masih menganggapnya itu adalah hal yang biasa, setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. Aku pikir ada hal yang lain yang membuatku berbeda dan aku menyadari kata yang tepat untuk itu.
Penjelajah mimpi.
Kecurigaanku mulai menguat saat aku tertidur di waktu yang
sama dengan Lira di Kebun Raya Bogor beberapa waktu yang lalu. Dan sekarang aku
mendapati fakta bahwa aku bukan hanya bisa masuk ke dalam mimpi dan
mengendalikan mimpi.
Kurunut semua kejadian, dalam ingatanku. Sepertinya hal ini
bukan yang pertama kali terjadi. Seharusnya aku sudah menyadari ini sejak lama.
Tapi entah karena alasan apa aku mencoba untuk mengapus semua kenangan itu.
Kupaksa ingatanku untuk sampai pada memori saat itu. Dan
ingatanku tertumbuk pada suatu kejadian. Terhenti pada kejadian itu. Saat itu
mungkin aku kelas 2 SMA. Saat diadakannya acara summer camp di sekolahku.
**
“Di grup kita nggak ada cowoknya, itu semua salah lo karena
terlihat menyedihkan dan selalu sendirian di kelas!” Wanita cantik berambut bob
itu menunjuk-nunjukkan jarinya ke pundakku dengan keras.
“Kita sial banget ya, Va. Ada banyak kelompok di kelas, tapi
malah kita yang kebagian anak menyedihkan begini,” Wanda menggerutu kesal.
“Udahlah, kita suruh aja Moza yang kerjain semuanya. Biarin
dia kerja sendirian.” Kali ini Eva menepuk-nepuk pundakku dengan seringainya
yang menakutkan.
“Gue setuju,” Mira bersorak riang.
Alhasil, saat itu hanya aku yang sibuk sendiri. Dari mulai
memasang tenda sampai mencari kayu dan daun kering untuk dibakar. Posisi
tendaku dengan tenda panitia—yang berisi guru-guru—terpaut jauh jaraknya, maka
tingkah seenaknya Eva dan kawan-kawan semakin parah.
“Udah cuciin piring bekas kita-kita?” tanya Mira dengan
wajah polosnya. Aku mengangguk pelan.
Eva langsung keluar membawa jaketku keluar tenda dan dengan
jijiknya melemparkannya ke arahku.
“Ingat ya, kalau ada guru yang lagi patroli lo boleh masuk
dan tidur di dalam. Kalo nggak ada, lo sekarang tidur di luar! Jangan ganggu
kita yang butuh tidur untuk kecantikan.” Setelah mengatakan hal itu Eva masuk
ke tenda diikuti oleh Mira dan Wanda.
Bagi orang pendiam seperti diriku, saat ingin melakukan sesuatu
yang mengasyikkan tanpa melanggar hukum hanya bisa dilakukan di dalam mimpi.
Aku bisa membentuk makhluk aneh dengan tampilan yang cukup menyeramkan dan
mengendalikannya untuk membantuku melakukan SEGALA hal. Ketika aku mengalami
sesuatu yang buruk, aku meminta mereka untuk melakukan rencana yang tidak akan
pernah aku lakukan di dunia nyata. Misalnya saja, ketika dikerjai oleh teman.
Hal itu sudah terus berlangsung sejak aku kelas 4 SD.
Hal itu sudah terus berlangsung sejak aku kelas 4 SD.
Dan kali itupun aku akan melakukannya lagi pada mereka. Saat
itu aku sadar, aku telah berada di mimpi. Namun aku tidak pernah aku bayangkan
tempat seperti itu menjadi latarnya. Ya, di sebuah Diskotik.
Di sana aku menemukan Eva, Wanda dan Mira yang sedang
terlena di lantai dansa. Aku hanya menepuk tanganku dua kali dan keluarlah tiga
orang berpakaian serba hitam dengan moncong mulutnya yang berbentuk masker
mengerikan. Mereka mengeluarkan asap berwarna kuning tua dan membuat ketiga
wanita itu kehilangan kesadaran. Setelah memacu mobil dengan cepat, kini posisi
mobilnya berada di tepi jurang. Sekali ada gerakan mungkin mobil itu akan jatuh
dan hilang di dasar jurang yang tak pernah terjangkau oleh penglihatan manusia.
Eva melihatku dan memohon dengan sangat ketakutan. Kedua
temannya hanya bisa menangis.
“Moza... tolong... tolong kami waa!!” aku sendiri dapat
merasakan kengerian yang mereka alami ketika baru saja mobil mereka bergoyang
dan akan jatuh ke jurang sana.
“Aku bertaruh, kalian tidak akan pernah ingin jadi seperti
aku.” Jeda sebentar. “Tapi tidak bisakah kalian hidup tanpa membuat orang
sepertiku tambah susah?” hanya itu yang ingin aku sampaikan pada mereka. Aku
tidak menginginkan mereka mati atau semacamnya. Aku hanya ingin mereka
mengerti, dan mulai mengurusi urusan mereka masing-masing.
Selanjutnya aku berada di setting tempat yang sama sekali berbeda. Di rumah. Rumah Wanda.
Seperti yang sudah kurencanakan, aku akan bermain-main dengan mereka di dalam
mimpi, karena hanya di dalam mimpi aku bisa mengendalikan semuanya dan berbuat
sesuai keingiananku.
Sejak saat itu Eva dan kawan-kawan tidak pernah lagi
berurusan denganku. Aku pikir itu aneh. Tapi sedikitpun aku tidak pernah
menyadari, kalau aku sebenarnya telah melewati dimensi lain. Aku telah
menjelajahi mimpi mereka dan mengendalikannya.
**
“Moza?” Lira menepuk-nepuk pelan pipiku. Lalu Lira kembali
tertawa senang.
“Jangan-jangan penyakit pelor gue nular ya? Tapi lo bengong
apa tidur sih?” Lira terkikih geli. Anita kemudian bersiap dengan tas gemblok
dan ecobag yang selalu dibawanya.
Saat tersadar dari lamunan, kelas telah kosong. Aku bahkan tidak dengar satu
katapun saat dosen kami berbicara.
“Udah pada pulang?” tanyaku pada mereka.
“Gue saranin Moz, jangan dekat-dekat Lira. Penyakit dia itu
bahaya, bisa nular gitu...”
“Kan tadi gue bilang begitu, gak perlu diulang kali, Nit.”
Lira menatap sinis Anita. Aku tanpa sadar tertawa meski tak bersuara.
“Ih, Moza ketawa...” Lira menunjuk lurus-lurus ke hidungku.
Kalau tidak menghindar mungkin saja aku sudah mendapatkan cawilan darinya.
“Pulang yuk!” ajak Anita. Namun aku masih terdiam. Tentu
saja Anita mengajak Lira, bukan aku.
“Kok diem aja, Za? Ayok.” Lira mengetuk mejaku untuk
menyadarkanku. Nyatanya aku masih terbengong.
“Pulang bareng?” tanyaku bodoh.
“Iyalah. Mau ikut nggak?” aku mengangguk cepat-cepat,
membereskan tasku dan segera beranjak dari tempat itu.
Sejujurnya aku takut. Aku takut suatu hari nanti aku tidak
bisa mengendalikan diriku, aku takut akan seperti dulu lagi. Ketika di mana aku
tersakiti dan tanpa sadar aku akan mengerahkan 'teman-temanku' untuk menyerang
mereka atau menyakiti mereka.
Ya, aku menyadarinya. Aku seperti memiliki teman-teman di
dimensi lain. Dan kurasa itu bukanlah hal yang baik. Parahnya lagi aku juga
tidak bisa bilang kalau itu adalah hal yang buruk.
Aku masih tertinggal di belakang, memikirkan hal-hal yang
aku khawatirkan. Saat akhirnya tersadar, Lira berjalan ke arahku dan merangkul
pundakku.
“Jalan lo kaya Putri Solo, ih.” Lira terkikih lagi, kali ini
aku melihat Anita ikut tersenyum sekilas saat menoleh pada kami.
Mungkin saja... mungkin saja ketakutanku ini tidak
beralasan. Ya, mungkin saja. Atau mungkin tidak juga.
Aku tersenyum dan menyusul mereka.
FIN?
FIN?
Stlh mmbaca smuanya, akhirnya gue sadar. Ternyata tulisan ini mmg pjg. Wkakaka
ReplyDeleteku tak sengaja, jdi sepanjang ini... #nyanyi
DeleteDone. Tapi belum ngerti akhirannya XD
ReplyDeleteBahahahak yasudahlah
Delete