Tiga kata yang dilempar : Congklak, Korupsi, Pena
Check this out!!
HOPE
Menjadi juara kelas? Berlaku baik kepada mereka?
Maaf, tapi aku sungguh tidak ingin berusaha lagi lebih dari ini.
Maaf, tapi aku sungguh tidak ingin berusaha lagi lebih dari ini.
Tahun ini, tepatnya
kemarin, aku berumur 15 tahun. Dan ibuku memberikanku hadiah sebuah
pena. Ini dilakukannya setiap tahun, sejak aku berumur 10 tahun. Aku
tahu maksudnya, dia menyuruhku agar aku lebih giat lagi belajar. Agar
aku menjadi anak yang sesuai harapan mereka.
Tapi apa yang bisa kulakukan? Tidak ada.
Tapi apa yang bisa kulakukan? Tidak ada.
Aku bukannya tidak berusaha.
Tapi aku lelah berusaha. Sekeras apapun usahaku aku tidak bisa menjadi
anak seperti yang mereka inginkan.
Ini tahun kesembilanku
duduk di Sekolah Dasar. Ya, aku masih duduk di kelas 5 SD. Total tiga
kali pindah sekolah dan dua kali tidak naik kelas. Aku harus berpikir
keras untuk mengingat ini.
Seperti yang mereka
tahu, aku selalu bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas dan melakukan
kenakalan-kenakalan remaja pada umumnya.
Yang mereka tahu, aku bodoh
karena itu. Padahal yang mereka tidak tahu sangatlah banyak.
Aku lelah berusaha. Aku lelah ditertawakan.
-
-
Sejak dulu aku memang bukan anak yang bisa dengan mudah menerima pelajaran. Butuh waktu yang cukup lama--atau mungkin sangat lama--untuk mengerti yang kuterima.
Dua tahun lalu.
Setelah pindah sekolah dan bolos beberapa minggu, untuk pertama kalinya aku masuk kelas.
"Pandu, ibu senang melihat kamu di kelas. Sering-sering masuk ya Pandu..." Basa-basi dari guru yang sudah sering kudengar.
Kemarin orangtuaku dipanggil dan menyuruhku untuk berada di kelas selama jam pelajaran. Kali itu aku coba menuruti mereka lagi.
"... Nah, pertanyaan
no. 14. Berikut ini sinomin dari sikap sombong adalah?" Aku lebih
memilih menggambar sesuatu dan tidak mendengarkan ucapan guru itu,
namun...
"Coba Pandu yang jawab..."
"Coba Pandu yang jawab..."
Yang lainnya menatapku dengan lekat. Suasana kelas itu hening. Sepertinya aku benar-benar harus mengatakan sesuatu.
Bu guru mengulang
pertanyaan dan kembali menatapku. Aku rasa aku tahu. Meskipun aku tidak tahan melihat deretan huruf di buku, tapi aku pernah mendengar kata-kata
ini di tahun sebelumnya. Mungkin sebaiknya aku coba menjawabnya.
"Cong...klak?"
Lalu keheningan pecah oleh tawa anak satu kelas.
Lihat, aku sudah
berusaha. Tapi apa yang kudapat? Aku mendengar beberapa bisik-bisik
teman sekelasku yang mengataiku "Gede bodoh".
Hatiku panas. Pikiranku kalut.
Aku marah dan segera keluar kelas setelah membuka pintu dengan kasar.
Mereka tidak akan pernah tahu, bahkan kedua orangtuaku.
Mereka tidak tahu usahaku ketika aku belajar tengah malam,
mencoba membaca dan menulis. Tapi yang terjadi, aku hanya merusak buku
dan alat tulisku karena kesal.
Mereka tidak akan pernah tahu, apa yang aku rasakan.
-
-
-
"Pandu..."
Kakakku Gayatri menghampiriku yang sedang mengutak-atik mobil tamiya-ku. Sejujurnya aku tidak tahu harus melakukan apa ketika roda ban mobil itu macet.
Kakakku Gayatri menghampiriku yang sedang mengutak-atik mobil tamiya-ku. Sejujurnya aku tidak tahu harus melakukan apa ketika roda ban mobil itu macet.
"Kakak masuk ya..." Kakakku duduk di pinggir tempat tidurku sambil terus melanjutkan omongannya.
"Kakak tadi siang bertemu dengan, Bu Lusi, guru BK-mu di SD Pelita..." mendengar nama guru itu, aku menghentikan aktifitasku dan menatapnya marah.
"... beliau bilang, mungkin saja kamu menderita disleksia... jadi..."
"Jadi apa? Kakak mau bilang pada ayah dan ibu? Kakak mau bilang kalau anaknya mengidap penyakit bodoh seperti itu?!"
"Pandu..."
"Kakak nggak akan ngerti! Pergi sana!!"
Aku menatap kakakku dengan tatapan yang dingin.
Aku menatap kakakku dengan tatapan yang dingin.
Ya, tiga tahun yang
lalu, saat pertama kali aku pindah sekolah. Bu Lusi sebagai guru
bimbingan konseling menghampiriku. Mengujiku dengan beberapa pertanyaan
sederhana. Karena pertanyaannya sangat mengganggu kalau tidak dijawab,
maka aku mengikuti apa yang dia inginkan. Tapi yang kudapat adalah
kemungkinan yang pahit.
Hari selanjutnya guru
itu memanggilku kembali dan memberitahukan nama penyakit yang sampai
sekarang sangat kubenci. Penyakit itu membuatku semakin putus asa
terhadap hidupku dan semakin membuatku tidak peduli dengan pendidikanku.
Namun aku tidak bisa mengatakan semua itu kepada mereka.
Mereka berharap aku seperti kakakku, Gayatri.
Anak yang banyak memenangkan lomba akademis dan membuat mereka bangga.
Tapi aku bukanlah
kakakku yang berprestasi dan berwawasan luas. Yang bahkan di umurnya
yang ke 17 tahun, pembicaraannya dengan ayah seputar korupsi--kata yang
hanya bisa kudapatkan ketika sedang menonton acara berita.
Aku bukanlah kakakku.
Aku tidak bisa memenuhi harapan mereka. Tapi bukannya inginku seperti itu.
Yang mereka tidak tau, aku tidak ingin semua ini terjadi padaku.
#LemparKataChallenge
#pena #congklak #korupsi
#pena #congklak #korupsi
No comments:
Post a Comment