Tuesday, May 24, 2016

[Fiction - Remake Story] : VINOKILOVE Part 1 (PINOCCHIO Remake Story)

Jeng jeng~
Gue nggak tau bakal panjang kaya gini ini cerita. Beberapa kali udah kepikiran buat bikin cerita remake ini cuma idenya kepental terus. Ide yang di pala gue terlalu rumit, jadi gue perlu memoles lagi supaya bikin cerita ini lebih ringan (kalo emang pengen cepet selese). Pada akhirnya gue ambil dasar romance, walaupun nanti mungkin ada actionnya atau apalah.
Kerangka sih udah selese dibikin, jadi dipastikan nggak akan gantung dan ngalor ngidul.

Oke... cekitbrot!



VINOKILOVE
[PINOCCHIO Remake]
Bedtime Story Remake!
Ratting : T

“Rampok!! Tolong!! Ada rampok!!”

Terdengar teriakan seorang wanita yang berasal dari luar, namun terdengar jelas sampai ke dalam rumah Geppeto.

Geppeto bergegas mencari seseorang di dalam rumah. Dengan panik dan tergopoh-gopoh Geppeto menaiki tangga dan membuka dengan kasar pintu kamar yang berada di pojok atas.

“Gempita!” Gadis belia yang manis terlihat sedang melihat ke arah luar rumah dari balik jendelanya. Dia terlihat resah.

“Kakek...” Geppeto dengan segera memeluk cucunya dan mengucap syukur berkali-kali.

“Jangan memikirkan hal bodoh ya, Nak.”

“Tapi tidak ada yang menolong wanita itu, Kek. Orang-orang malah masuk ke dalam rumah dan menjauhi wanita itu.”

Geppeto memendarkan pandangannya keluar rumah melalui jendela kamarnya Gempita. Terlihat seorang wanita memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan terduduk lemas bersandar di dinding sisi jalan. Dia menangis, namun tidak ada orang di sekelilingnya datang membantu.

Bahkan saat terlihat orang yang sedang melewatinya, orang itu acuh dan tidak ingin menghiraukan wanita itu.

Geppeto terlihat sedih melihat nasib malang wanita itu.

“Kamu janji untuk tidak keluar ya?” Gempita mengangguk dengan cepat. “Kakek akan ke sana...” setelah menghembuskan nafas lelah, Geppeto segera keluar dan menemui wanita itu di luar.

“Anda tidak apa-apa, Nona?” Geppeto mulai menyapanya dengan ragu. Wanita malang itu memandang Geppeto sebentar kemudian menggeleng. Geppeto melihat ada bekas darah yang merembes di baju wanita itu. Lengannya terluka oleh sayatan yang sepertinya cukup dalam.

“Biar saya obati.” Geppeto menuntun wanita itu untuk singgah di kediamannya. Namun setelah sampai di depan pintu, Geppeto terdiam dan keraguannya kembali menghampiri.

“Saya di sini saja, Tuan.” Wanita itu berseru dan menduduki bangku yang ada di teras rumah Geppeto.

“Saya ambilkan obat-obatannya.” Wanita itu segera mengangguk dan menanti.
Beberapa menit setelahnya, Geppeto kembali dengan kotak obat.

“Mungkin sebaiknya saya memotong baju yang menutupi lengan anda?” Wanita itu menggeleng.

“Tidak, Tuan. Saya tidak boleh memperlihatkan tubuh saya kepada siapapun. Walau hanya lengan sekalipun. Biarkan saya yang melakukannya sendiri.”

“Tapi sepertinya akan susah kalau melakukannya sendiri.” Geppeto terlihat bingung sementara wanita itu terlihat seperti menemukan secercah harapan.

“Kalau dengan adik itu tidak masalah...” Gempita yang bersembunyi di balik jendela kaget karena wanita itu menatapnya langsung.

“Gempita?” Geppeto terlihat cemas dan menghampiri Gempita. “Kakek sudah bilang kan? Kamu lebih baik di kamar saja...”

“Tapi Gempita ingin bantu, Kek.”

“Tidak bisa, kamu ingat kan...” 

Melihat perselisihan kecil antara kakek dan cucu itu, wanita itu mengerti akan keadaannya.

“Tidak masalah, Tuan. Saya akan melakukannya sendiri.” Namun belum apa-apa saat tangan yang luka mencoba meraih botol alkohol, botol itu jatuh menggelinding.

“Biar aku saja yang melakukannya, Nona.” Gempita mengambil botol yang terjatuh itu.

“Tapi...” Wanita itu melihat Geppeto ragu. Gempita pun ikut melihatnya. Geppeto hanya menghela napas.

“Maaf, Nona. Mungkin kami terkesan tidak sopan, tapi bolehkan saya mengikatkan tangan anda untuk berjaga-jaga?”

Wanita itu sebelumnya terlihat kaget, namun akhirnya tersenyum mengangguk dengan sopan. Geppeto menyuruh Gempita mengambilkan sesuatu dan dia kembali dengan seutas tali.

“Maafkan saya...” Geppeto mengikat tangan wanita itu dengan tali, kemudian ujung yang satunya diikatkan ke bangku.

Geppeto meninggalkan Gempita dan wanita itu, hanya mencuri dengar di balik pintu masuk.

“Maaf kalau sikap kami berlebihan.”

“Tidak perlu khawatir. Di zaman yang seperti ini sangat wajar kalau kalian menaruh curiga pada siapapun.”

“Iya, Anda benar.”

“Pasti telah terjadi sesuatu padamu atau kakekmu sampai kalian seperti ini...” Wanita itu tersenyum lemah. “Ini sudah keempat kalinya saya dirampok. Beruntung nyawa saya masih bisa selamat. Hanya saja kali ini anak saya sedang menginginkan seragam baru untuk sekolah dan saya berniat memakai gaji bulan ini untuk membelinya...” gerakan tangan Gempita terhenti.

“Anak anda?”

“Iya. Anak saya... ah maaf, tanpa sadar saya telah mengatakan hal tidak perlu.”

“Tidak apa-apa.” Gempita menggeleng dan meneruskan pertolongan pertamanya. “Saya... pernah menjadi korban penculikan.”

Perkataan Gempita membuat wanita itu terdiam dan tidak bisa mengatakan apa-apa.

“Dua tahun yang lalu, saat saya kelas 1 SMA.” Gempita tersenyum getir. “Saat itu beruntung kakek menaruh GPS di sepatu saya dan keberadaan saya bisa dilacak.”

“Jadi... karena itu kakekmu begitu mengkhawatirkanmu...”

“Tidak ada lagi orang yang bisa kakek percaya saat ini. Setelah ditemukan fakta pelaku penculikan memiliki hubungan baik dengan salah satu kerabat jauh kami, kakek sudah kehilangan rasa percayanya pada siapapun.”

Gempita menyelesaikan sentuhan terakhir pada pengobatan daruratnya. Wanita itu mengucapkan terima kasih setelah Gempita melepaskan ikatan di tangannya. Bersamaan dengan itu sang kakek muncul dari balik pintunya.

“Beberapa waktu yang lalu juga pernah ada yang berpura-pura sakit saat berpapasan di tengah jalan dan saat dibawa ke rumah orang itu mencuri beberapa barang dari rumah ini.” Geppeto menambahkan cerita.

“Saya mengerti...” wanita itu tersenyum.

“Hanya dia satu-satunya yang saya miliki di dunia ini.” Geppeto merangkul pundak Gempita. “Jadi mohon maaf atas kelancangan saya...” Geppeto dan Gempita menunduk dengan sopan.

“Sayalah yang harus berterima kasih.”

Wanita itupun undur diri.
--

“Kakek, makan siangnya sudah siap.” Dari bawah tangga Geppeto mendengar panggilan Gempita. Namun merasa ingin segera menyelesaikan penelitiannya Geppeto tidak menghiraukan panggilan Gempita.

“... beberapa saksi mengatakan bahwa XY adalah teman dekat semasa kuliah dan XY satu-satunya orang yang ditemukan di tempat kejadian dalam keadaan memegang pisau dan tak sadarkan diri. Namun pengakuan mencengangkan dari XY bahwa Z juga datang sejam setelahnya. Dan setelah beberapa menit mereka bertiga bersama XY kehilangan kesadarannya...”

Gempita mematikan TV dan menghela napas panjang. Melihat sebentar ke ruang penelitian sang kakek, namun dia tidak berani untuk mengganggu. Akhirnya Gempita memutuskan untuk membaca buku.

Haripun semakin gelap. Setelah menyelesaikan beberapa buku yang dibaca, matanya lelah dan sempat tertidur. Gempita kembali ke meja makan dan melihat makanannya masih utuh. Beberapa bulan ini konsentrasi sang kakek selalu ada di ruang penelitiannya, membuat Gempita akhirnya naik pitam.

“Kakek!” Tanpa mengetuk pintu Gempita masuk ke ruang penelitian. “Mau sampai kapan kakek makan tidak teratur begini?”

“Gempita!” Wajah kakek terlihat cerah untuk ukuran orang yang belum makan hari ini. Gempita yang melihatnya jadi mengurungkan niatnya untuk marah.

“A-ada apa, Kek?”

“Kakek hampir merampungkan robot ini.”

“Robot?” Gempita mendekati kakek dan perlahan melihat sesuatu di balik tirai. “Akkkk!!” Gempita menutup wajahnya dengan segera, sang kakek kaget dan baru sadar sosok di depannya tidak pantas untuk dilihat oleh seorang gadis.

“Maaf-maaf. Sekarang sudah tidak apa-apa.” Robot itu dibalut dengan selimut secara sembarang. Namun Gempita sempat tercengan melihatnya.

“Ro-robot? Ini... bukan manusia, Kek?”

Kakek tersenyum kemudian menggeleng, “Kakek juga hampir tidak mempercayainya. Empat tahun yang lalu penelitian ini sempat terhenti tapi sekarang penyelesaian sudah di depan mata. Mungkin besok robot ini akan selesai.” Kakek melihat Gempita dengan senang, namun tidak bisa dipungkiri kerutan di wajahnya semakin nyata dan wajahnya benar-benar terlihat lusuh karena kurang istirahat.

“Aku ikut senang kalau kakek senang.”

“Dengan begini, aku tidak akan ada keraguan saat meninggalkanmu, Nak.” Gempita terlihat bingung dengan ucapan kakek, namun senyum kakek tidak pernah lepas dari bibirnya. Gempita memeluk kakeknya dengan sayang.

“Kita akan selalu bersama dan nggak terpisahkan, Kek.”

“Dengar, Nak. Robot ini akan menjagamu selama 24 jam, kakek akan menyelesaikannya segera agar dia bisa langsung bekerja.” Kakek mengusap-usap kepala Gempita, namun Gempita memegang tangannya dengan kuat.

“Kakek belom makan dari pagi, ayo makan dulu!”

“Tapi...”

“Atau aku yang bawa makanan kakek kemari dan membuat makanan-makanan itu berjatuhan di ruangan ini.” mendengar hal itu kakek menurut dan tidak berani membantah Gempita. Kakek sangat tidak suka benda lain masuk di ruang penelitiannya.

--
Pagi ini saat Gempita masuk ke ruang penelitian Geppeto, dia melihat Geppeto sedang tertidur pulas. Gempita meninggalkan note di samping kakeknya yang mengatakan bahwa dia telah membuatkan sarapan dan akan pergi ke supermarket terdekat.

Gempita anak dari sepasangan pengusaha kaya raya yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya enam tahun yang lalu. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Menurut si kakek kecelakaan itu disengaja, namun polisi dan aparat hukum menyatakan kalau semua yang terjadi murni kecelakan. Maka sejak saat itu Geppeto memutuskan untuk merawat Gempita di rumahnya.

Saat itu penculikan terhadap Gempita dilakukan atas motif kekecewaan dari kerabatnya karena tidak bisa menguasai kekayaan kedua orang tua Gempita. Orang suruhan yang tadinya disuruh untuk meminta uang tebusan, memiliki maksud lain setelah tergoda melihat wajah manis Gempita. Gempita hampir diperkosa kalau seandainya Geppeto terlambat beberapa menit.

Lagi-lagi insiden itu berakhir begitu saja, tanpa adanya penyeledikan khusus dari aparat hukum. Geppeto meminta seorang detektif swasta untuk menyelidiki motif yang tersembunyi, namun ketika semua terkuak di depan mata Geppeto, dia merencanakan sesuatu yang lain daripada harus menyeret orang-orang itu ke meja hukum. Dan demi menunggu rencananya rampung, Geppeto meminta Gempita untuk berhenti sekolah.

“Semuanya 254 ribu.” Seorang kasir menunjukan nominal yang tertera di mesin penghitung uang.

“Wah, hujan!” salah satu teman si kasir berseru kesal setelah melihat hujan yang mengguyur kota dengan lebat.

“Sampai kapan berhentinya...” Selain takut pada hujan karena mengingatkannya pada hari kematian kedua orang tuanya, Geppeto selalu memberitahu kalau kejahatan rawan terjadi ketika hujan turun. Karena meskipun siang hari, keadaan di luar akan menjadi lebih sepi ketika hujan turun.

Terpaksa Gempita menunggu hujan berhenti di depan supermarket.

“Mau bareng?” Seorang gadis seumuran Gempita dengan ramah menawarkan bantuan. “Aku takut kalau jalan sendiri di tengah hujan begini.”

“Eh, em...”

“Rumahmu di mana?”

“Tidak jauh dari sini. Lewat tiga kali persimpangan, tepat di sebelah kiri jalan.”

“Oh, kita satu arah. Tinggal lurus saja kan?” Gempita mengangguk menjawab pertanyaannya. “Bagaimana? Ikut?”

“Oke.”

“Untung payung ini cukup besar.” Gadis itu tersenyum. “Aku Alya.”

“Gempita.”

“Aku sepertinya beberapa kali pernah berpapasan denganmu.”

“Oh yah? Aku tidak sadar.”

“Kamu selalu menunduk ke bawah kalau sedang berjalan.”

“Oh...”

“Jangan berhenti. Di sana ada seseorang, bersikap biasa aja.” Gempita mengangguk ragu. Kemudian ketakutan semakin menyerangnya.

“Oh, Kamu rupanya, Ki?” Alya tiba-tiba bersikap ramah kepada orang itu.

“Alya? Wah, itu kan...”

“Gimana? Hebat kan? Kubawakan nona cantik pujaanmu nih.”

Deg! Jantung Gempita mulai memacu dengan kecepatan lebih. Gempita tidak pernah menyadari kalau ternyata semua adalah tipu muslihat gadis yang bernama Alya itu.

Alya memegang tangannya dan menarik Gempita ke depan Riki.

“Gila, tangannya halus banget.”

“Serius? Sial, jadi pengen megang!” Sebelumnya tangan Riki menyentuh Gempita, Gempita melemparkan barang belanjaannya ke depan Riki dan lari dengan kecepatan penuh. Tapi sayang, Riki sepertinya sudah biasa dengan kondisi kucing-kucingan seperti ini. Sehingga belum sampai beberapa menit Gempita terlepas dari Riki, dia berhasil menangkap lengan Gempita. Namun karena rontaan Gempita yang cukup kuat keduanya terjatuh.

Gempita kini ada dalam kurungan Riki. Kedua kaki dan tangan terkunci oleh milik Riki.

“Romantis banget nggak sih, kita bermesraan di bawah hujan gini?” sebelum akhirnya Riki melakukan sesuatu, seseorang mengangkat Riki hingga bisa melayang di udara.

“WOII! APA-APAAN NIH!”

“Dilarang menganggu Gempita!” hanya sekali lemparan, Riki terpental di sisi tembok jalan. Alya yang sedari tadi hanya memperhatikan tercengang melihat temannya yang jago berkelahi itu langsung KO.

“Aku akan melindungi Gempita.” Dia berdiri di depan Gempita dan tersenyum saat mata mereka bertemu. “Ayo ke tempat kakek.” Lalu mengulurkan tangannya agar disambut oleh Gempita. Ketika bangun dari duduk, Gempita segera ditarik dan dibopong dengan gaya tuan putri. Mereka lari bersama.

Gempita hanya bisa memejamkan mata ketika diajak berlari, tapi tidak sampai lima detik dia sudah ada di dalam rumah.

“Gempita? Ya Tuhan... apa yang terjadi?” Kakek mendekat ke arah Gempita dengan cemas. "Ketika penyetelan sistem semua selesai, Noki berlari tanpa perintah."

“A-aku nggak apa-apa, Kek. Dia sudah menolongku, aku nggak apa-apa.”

“Syukurlah, Nak.” Geppeto mengusap wajah Gempita dengan lembut.

“Tapi, Kek, dia itu...?” Gempita ingat pernah melihat wajah itu di ruang penelitian Geppeto.

“Ah, kakek lupa memperkenalkannya padamu.” Padahal baru saja dia basah kuyup karena hujan, tapi berangsur-angsur tubuhnya mengeringkan semua yang basah di tubuhnya. “Dia sedang mengeringkan tubuhnya...” Geppeto tertawa.

“Me- mengeringkan?”

“Nah, dia ini adalah Noki. Robot manusia penjagamu buatan kakek.”

“Ro-robot manusia?!” Gempita dengan ragu menyambut kembali uluran tangan Noki. Tapi setelah dijabat tangannya kembali Gempita terkaget. Tangan Noki berbeda dengan yang sebelumnya. Saat di luar tadi dia menyambut uluran tangannya, tangan Noki sedingin baja. Mungkin juga karena air hujan yang dihantarkan.

Namun kali ini tangan Noki hangat layaknya tangan manusia pada umumnya. Setelah dijabat, Noki kembali menarik Gempita dalam pelukannya.

“Senang berkenalan dengan Gempita.”

“Ehhh, Kek! Kok gini?!” Gempita terlihat kaku di pelukan Noki. Kakek yang melihatnya hanya tersenyum senang.

---

Bagaimana selanjutnya cerita Gempita dan Noki? Lanjut ke episode dua yaa~ :3

No comments:

Post a Comment