Gue nggak tau bakal panjang kaya gini ini cerita. Beberapa kali udah kepikiran buat bikin cerita remake ini cuma idenya kepental terus. Ide yang di pala gue terlalu rumit, jadi gue perlu memoles lagi supaya bikin cerita ini lebih ringan (kalo emang pengen cepet selese). Pada akhirnya gue ambil dasar romance, walaupun nanti mungkin ada actionnya atau apalah.
Kerangka sih udah selese dibikin, jadi dipastikan nggak akan gantung dan ngalor ngidul.
Oke... cekitbrot!
VINOKILOVE
[PINOCCHIO
Remake]
Bedtime
Story Remake!
Ratting
: T
“Rampok!! Tolong!! Ada rampok!!”
Terdengar teriakan seorang wanita
yang berasal dari luar, namun terdengar jelas sampai ke dalam rumah Geppeto.
Geppeto bergegas mencari seseorang
di dalam rumah. Dengan panik dan tergopoh-gopoh Geppeto menaiki tangga dan
membuka dengan kasar pintu kamar yang berada di pojok atas.
“Gempita!” Gadis belia yang manis
terlihat sedang melihat ke arah luar rumah dari balik jendelanya. Dia terlihat
resah.
“Kakek...” Geppeto dengan segera
memeluk cucunya dan mengucap syukur berkali-kali.
“Jangan memikirkan hal bodoh ya,
Nak.”
“Tapi tidak ada yang menolong wanita
itu, Kek. Orang-orang malah masuk ke dalam rumah dan menjauhi wanita itu.”
Geppeto memendarkan pandangannya
keluar rumah melalui jendela kamarnya Gempita. Terlihat seorang wanita memakai
pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya dan terduduk lemas bersandar di dinding
sisi jalan. Dia menangis, namun tidak ada orang di sekelilingnya datang
membantu.
Bahkan saat terlihat orang yang
sedang melewatinya, orang itu acuh dan tidak ingin menghiraukan wanita itu.
Geppeto terlihat sedih melihat nasib
malang wanita itu.
“Kamu janji untuk tidak keluar ya?”
Gempita mengangguk dengan cepat. “Kakek akan ke sana...” setelah menghembuskan
nafas lelah, Geppeto segera keluar dan menemui wanita itu di luar.
“Anda tidak apa-apa, Nona?” Geppeto
mulai menyapanya dengan ragu. Wanita malang itu memandang Geppeto sebentar
kemudian menggeleng. Geppeto melihat ada bekas darah yang merembes di baju
wanita itu. Lengannya terluka oleh sayatan yang sepertinya cukup dalam.
“Biar saya obati.” Geppeto menuntun
wanita itu untuk singgah di kediamannya. Namun setelah sampai di depan pintu,
Geppeto terdiam dan keraguannya kembali menghampiri.
“Saya di sini saja, Tuan.” Wanita
itu berseru dan menduduki bangku yang ada di teras rumah Geppeto.
“Saya ambilkan obat-obatannya.”
Wanita itu segera mengangguk dan menanti.
Beberapa menit setelahnya, Geppeto
kembali dengan kotak obat.
“Mungkin sebaiknya saya memotong
baju yang menutupi lengan anda?” Wanita itu menggeleng.
“Tidak, Tuan. Saya tidak boleh
memperlihatkan tubuh saya kepada siapapun. Walau hanya lengan sekalipun.
Biarkan saya yang melakukannya sendiri.”
“Tapi sepertinya akan susah kalau
melakukannya sendiri.” Geppeto terlihat bingung sementara wanita itu terlihat
seperti menemukan secercah harapan.
“Kalau dengan adik itu tidak
masalah...” Gempita yang bersembunyi di balik jendela kaget karena wanita itu
menatapnya langsung.
“Gempita?” Geppeto terlihat cemas
dan menghampiri Gempita. “Kakek sudah bilang kan? Kamu lebih baik di kamar
saja...”
“Tapi Gempita ingin bantu, Kek.”
“Tidak bisa, kamu ingat kan...”
Melihat perselisihan kecil antara
kakek dan cucu itu, wanita itu mengerti akan keadaannya.
“Tidak masalah, Tuan. Saya akan
melakukannya sendiri.” Namun belum apa-apa saat tangan yang luka mencoba meraih
botol alkohol, botol itu jatuh menggelinding.
“Biar aku saja yang melakukannya,
Nona.” Gempita mengambil botol yang terjatuh itu.
“Tapi...” Wanita itu melihat Geppeto
ragu. Gempita pun ikut melihatnya. Geppeto hanya menghela napas.
“Maaf, Nona. Mungkin kami terkesan
tidak sopan, tapi bolehkan saya mengikatkan tangan anda untuk berjaga-jaga?”
Wanita itu sebelumnya terlihat
kaget, namun akhirnya tersenyum mengangguk dengan sopan. Geppeto menyuruh
Gempita mengambilkan sesuatu dan dia kembali dengan seutas tali.
“Maafkan saya...” Geppeto mengikat tangan wanita itu dengan tali, kemudian ujung yang satunya diikatkan ke bangku.
Geppeto meninggalkan Gempita dan wanita
itu, hanya mencuri dengar di balik pintu masuk.
“Maaf kalau sikap kami berlebihan.”
“Tidak perlu khawatir. Di zaman yang
seperti ini sangat wajar kalau kalian menaruh curiga pada siapapun.”
“Iya, Anda benar.”
“Pasti telah terjadi sesuatu padamu
atau kakekmu sampai kalian seperti ini...” Wanita itu tersenyum lemah. “Ini
sudah keempat kalinya saya dirampok. Beruntung nyawa saya masih bisa selamat.
Hanya saja kali ini anak saya sedang menginginkan seragam baru untuk sekolah
dan saya berniat memakai gaji bulan ini untuk membelinya...” gerakan tangan
Gempita terhenti.
“Anak anda?”
“Iya. Anak saya... ah maaf, tanpa
sadar saya telah mengatakan hal tidak perlu.”
“Tidak apa-apa.” Gempita menggeleng
dan meneruskan pertolongan pertamanya. “Saya... pernah menjadi korban
penculikan.”
Perkataan Gempita membuat wanita itu
terdiam dan tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Dua tahun yang lalu, saat saya
kelas 1 SMA.” Gempita tersenyum getir. “Saat itu beruntung kakek menaruh GPS di
sepatu saya dan keberadaan saya bisa dilacak.”
“Jadi... karena itu kakekmu begitu
mengkhawatirkanmu...”
“Tidak ada lagi orang yang bisa
kakek percaya saat ini. Setelah ditemukan fakta pelaku penculikan memiliki hubungan baik dengan
salah satu kerabat jauh kami, kakek sudah kehilangan rasa percayanya pada siapapun.”
Gempita menyelesaikan sentuhan
terakhir pada pengobatan daruratnya. Wanita itu mengucapkan terima kasih setelah Gempita melepaskan ikatan di tangannya. Bersamaan dengan itu sang kakek muncul dari balik pintunya.
“Beberapa waktu yang lalu juga
pernah ada yang berpura-pura sakit saat berpapasan di tengah jalan dan saat
dibawa ke rumah orang itu mencuri beberapa barang dari rumah ini.” Geppeto
menambahkan cerita.
“Saya mengerti...” wanita itu
tersenyum.
“Hanya dia satu-satunya yang saya
miliki di dunia ini.” Geppeto merangkul pundak Gempita. “Jadi mohon maaf atas
kelancangan saya...” Geppeto dan Gempita menunduk dengan sopan.
“Sayalah yang harus berterima
kasih.”
Wanita itupun undur diri.
--
“Kakek, makan siangnya sudah siap.”
Dari bawah tangga Geppeto mendengar panggilan Gempita. Namun merasa ingin
segera menyelesaikan penelitiannya Geppeto tidak menghiraukan panggilan
Gempita.
“...
beberapa saksi mengatakan bahwa XY adalah teman dekat semasa kuliah dan XY
satu-satunya orang yang ditemukan di tempat kejadian dalam keadaan memegang
pisau dan tak sadarkan diri. Namun pengakuan mencengangkan dari XY bahwa Z juga
datang sejam setelahnya. Dan setelah beberapa menit mereka bertiga bersama XY
kehilangan kesadarannya...”
Gempita mematikan TV dan menghela
napas panjang. Melihat sebentar ke ruang penelitian sang kakek, namun dia tidak
berani untuk mengganggu. Akhirnya Gempita memutuskan untuk membaca buku.
Haripun semakin gelap. Setelah
menyelesaikan beberapa buku yang dibaca, matanya lelah dan sempat tertidur.
Gempita kembali ke meja makan dan melihat makanannya masih utuh. Beberapa bulan
ini konsentrasi sang kakek selalu ada di ruang penelitiannya, membuat Gempita
akhirnya naik pitam.
“Kakek!” Tanpa mengetuk pintu
Gempita masuk ke ruang penelitian. “Mau sampai kapan kakek makan tidak teratur
begini?”
“Gempita!” Wajah kakek terlihat
cerah untuk ukuran orang yang belum makan hari ini. Gempita yang melihatnya
jadi mengurungkan niatnya untuk marah.
“A-ada apa, Kek?”
“Kakek hampir merampungkan robot
ini.”
“Robot?” Gempita mendekati kakek dan
perlahan melihat sesuatu di balik tirai. “Akkkk!!” Gempita menutup wajahnya
dengan segera, sang kakek kaget dan baru sadar sosok di depannya tidak pantas
untuk dilihat oleh seorang gadis.
“Maaf-maaf. Sekarang sudah tidak
apa-apa.” Robot itu dibalut dengan selimut secara sembarang. Namun Gempita
sempat tercengan melihatnya.
“Ro-robot? Ini... bukan manusia,
Kek?”
Kakek tersenyum kemudian menggeleng,
“Kakek juga hampir tidak mempercayainya. Empat tahun yang lalu penelitian ini
sempat terhenti tapi sekarang penyelesaian sudah di depan mata. Mungkin besok
robot ini akan selesai.” Kakek melihat Gempita dengan senang, namun tidak bisa
dipungkiri kerutan di wajahnya semakin nyata dan wajahnya benar-benar terlihat
lusuh karena kurang istirahat.
“Aku ikut senang kalau kakek
senang.”
“Dengan begini, aku tidak akan ada
keraguan saat meninggalkanmu, Nak.” Gempita terlihat bingung dengan ucapan
kakek, namun senyum kakek tidak pernah lepas dari bibirnya. Gempita memeluk
kakeknya dengan sayang.
“Kita akan selalu bersama dan nggak
terpisahkan, Kek.”
“Dengar, Nak. Robot ini akan
menjagamu selama 24 jam, kakek akan menyelesaikannya segera agar dia bisa
langsung bekerja.” Kakek mengusap-usap kepala Gempita, namun Gempita memegang
tangannya dengan kuat.
“Kakek belom makan dari pagi, ayo
makan dulu!”
“Tapi...”
“Atau aku yang bawa makanan kakek
kemari dan membuat makanan-makanan itu berjatuhan di ruangan ini.” mendengar
hal itu kakek menurut dan tidak berani membantah Gempita. Kakek sangat tidak
suka benda lain masuk di ruang penelitiannya.
--
Pagi ini saat Gempita masuk ke ruang
penelitian Geppeto, dia melihat Geppeto sedang tertidur pulas. Gempita
meninggalkan note di samping kakeknya yang mengatakan bahwa dia telah
membuatkan sarapan dan akan pergi ke supermarket terdekat.
Gempita anak dari sepasangan
pengusaha kaya raya yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya enam tahun yang
lalu. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Menurut si kakek
kecelakaan itu disengaja, namun polisi dan aparat hukum menyatakan kalau semua
yang terjadi murni kecelakan. Maka sejak saat itu Geppeto memutuskan untuk
merawat Gempita di rumahnya.
Saat itu penculikan terhadap Gempita
dilakukan atas motif kekecewaan dari kerabatnya karena tidak bisa menguasai
kekayaan kedua orang tua Gempita. Orang suruhan yang tadinya disuruh untuk
meminta uang tebusan, memiliki maksud lain setelah tergoda melihat wajah manis
Gempita. Gempita hampir diperkosa kalau seandainya Geppeto terlambat beberapa
menit.
Lagi-lagi insiden itu berakhir
begitu saja, tanpa adanya penyeledikan khusus dari aparat hukum. Geppeto
meminta seorang detektif swasta untuk menyelidiki motif yang tersembunyi, namun
ketika semua terkuak di depan mata Geppeto, dia merencanakan sesuatu yang lain
daripada harus menyeret orang-orang itu ke meja hukum. Dan demi menunggu
rencananya rampung, Geppeto meminta Gempita untuk berhenti sekolah.
“Semuanya 254 ribu.” Seorang kasir
menunjukan nominal yang tertera di mesin penghitung uang.
“Wah, hujan!” salah satu teman si
kasir berseru kesal setelah melihat hujan yang mengguyur kota dengan lebat.
“Sampai kapan berhentinya...” Selain
takut pada hujan karena mengingatkannya pada hari kematian kedua orang tuanya,
Geppeto selalu memberitahu kalau kejahatan rawan terjadi ketika hujan turun.
Karena meskipun siang hari, keadaan di luar akan menjadi lebih sepi ketika
hujan turun.
Terpaksa Gempita menunggu hujan
berhenti di depan supermarket.
“Mau bareng?” Seorang gadis seumuran
Gempita dengan ramah menawarkan bantuan. “Aku takut kalau jalan sendiri di tengah
hujan begini.”
“Eh, em...”
“Rumahmu di mana?”
“Tidak jauh dari sini. Lewat tiga
kali persimpangan, tepat di sebelah kiri jalan.”
“Oh, kita satu arah. Tinggal lurus
saja kan?” Gempita mengangguk menjawab pertanyaannya. “Bagaimana? Ikut?”
“Oke.”
“Untung payung ini cukup besar.”
Gadis itu tersenyum. “Aku Alya.”
“Gempita.”
“Aku sepertinya beberapa kali pernah
berpapasan denganmu.”
“Oh yah? Aku tidak sadar.”
“Kamu selalu menunduk ke bawah kalau
sedang berjalan.”
“Oh...”
“Jangan berhenti. Di sana ada seseorang,
bersikap biasa aja.” Gempita mengangguk ragu. Kemudian ketakutan semakin
menyerangnya.
“Oh, Kamu rupanya, Ki?” Alya
tiba-tiba bersikap ramah kepada orang itu.
“Alya? Wah, itu kan...”
“Gimana? Hebat kan? Kubawakan nona
cantik pujaanmu nih.”
Deg! Jantung Gempita mulai memacu
dengan kecepatan lebih. Gempita tidak pernah menyadari kalau ternyata semua
adalah tipu muslihat gadis yang bernama Alya itu.
Alya memegang tangannya dan menarik
Gempita ke depan Riki.
“Gila, tangannya halus banget.”
“Serius? Sial, jadi pengen megang!”
Sebelumnya tangan Riki menyentuh Gempita, Gempita melemparkan barang
belanjaannya ke depan Riki dan lari dengan kecepatan penuh. Tapi sayang, Riki
sepertinya sudah biasa dengan kondisi kucing-kucingan seperti ini. Sehingga
belum sampai beberapa menit Gempita terlepas dari Riki, dia berhasil menangkap
lengan Gempita. Namun karena rontaan Gempita yang cukup kuat keduanya terjatuh.
Gempita kini ada dalam kurungan
Riki. Kedua kaki dan tangan terkunci oleh milik Riki.
“Romantis banget nggak sih, kita
bermesraan di bawah hujan gini?” sebelum akhirnya Riki melakukan sesuatu,
seseorang mengangkat Riki hingga bisa melayang di udara.
“WOII! APA-APAAN NIH!”
“Dilarang menganggu Gempita!” hanya
sekali lemparan, Riki terpental di sisi tembok jalan. Alya yang sedari tadi
hanya memperhatikan tercengang melihat temannya yang jago berkelahi itu
langsung KO.
“Aku akan melindungi Gempita.” Dia
berdiri di depan Gempita dan tersenyum saat mata mereka bertemu. “Ayo ke tempat
kakek.” Lalu mengulurkan tangannya agar disambut oleh Gempita. Ketika bangun
dari duduk, Gempita segera ditarik dan dibopong dengan gaya tuan putri. Mereka
lari bersama.
Gempita hanya bisa memejamkan mata
ketika diajak berlari, tapi tidak sampai lima detik dia sudah ada di dalam
rumah.
“Gempita? Ya Tuhan... apa yang
terjadi?” Kakek mendekat ke arah Gempita dengan cemas. "Ketika penyetelan sistem semua selesai, Noki berlari tanpa perintah."
“A-aku nggak apa-apa, Kek. Dia sudah
menolongku, aku nggak apa-apa.”
“Syukurlah, Nak.” Geppeto mengusap
wajah Gempita dengan lembut.
“Tapi, Kek, dia itu...?” Gempita
ingat pernah melihat wajah itu di ruang penelitian Geppeto.
“Ah, kakek lupa memperkenalkannya
padamu.” Padahal baru saja dia basah kuyup karena hujan, tapi berangsur-angsur
tubuhnya mengeringkan semua yang basah di tubuhnya. “Dia sedang mengeringkan
tubuhnya...” Geppeto tertawa.
“Me- mengeringkan?”
“Nah, dia ini adalah Noki. Robot
manusia penjagamu buatan kakek.”
“Ro-robot manusia?!” Gempita dengan
ragu menyambut kembali uluran tangan Noki. Tapi setelah dijabat tangannya
kembali Gempita terkaget. Tangan Noki berbeda dengan yang sebelumnya. Saat di
luar tadi dia menyambut uluran tangannya, tangan Noki sedingin baja. Mungkin
juga karena air hujan yang dihantarkan.
Namun kali ini tangan Noki hangat
layaknya tangan manusia pada umumnya. Setelah dijabat, Noki kembali menarik
Gempita dalam pelukannya.
“Senang berkenalan dengan Gempita.”
“Ehhh, Kek! Kok gini?!” Gempita
terlihat kaku di pelukan Noki. Kakek yang melihatnya hanya tersenyum senang.
---
No comments:
Post a Comment