Monday, June 20, 2016

[Fiction] Descendant Of Monster

Setoran yang udah lama, sayang kalo nggak diarsip di blog.

Ya di-cekibrot aja lagi~


Descendant Of Monster


"Kazefukujutsu!" Angin besar pun serta merta datang dan membuat beberapa pohon besar terangkat sampai akar-akarnya.
"Taifukei!" Lalu angin yang baru saja aku hasilkan berkumpul menjadi satu membentuk angin topan yang bisa kukendalikan kemanapun aku mau.

Aku tersenyum puas dan membayangkan saat membawa angin itu ke dataran seberang. Dataran yg hanya dipenuhi dengan gurun dan bukit gersang. Tempat tinggal para moster pemakan manusia.
"Kalau aku bisa mengontrol para moster itu masuk dalam lingkaran angin topanku, aku bisa memusnahkah mereka dengan senkenjutsu-ku. Lalu guru akan memujiku dan memberikan pelukan selamat, kyaaa!" Membayangkan adegan terakhir aku malah semakin bersemangat.

Tapi tiba-tiba pukulan pelan bambu mendarat di kepalaku. Meskipun guru memang tidak pernah benar-benar memukul, tetap saja sakit.
Aku melihatnya dengan kesal dan menyudahi latihanku.
"Kenapa guru tidak pernah bersikap manis kepadaku?"

"Aku selalu bersikap manis padamu."

"Ralat ya. Dulu. Sekarang sudah tidak pernah lagi."

"Ya kalau dulu aku terbiasa melihatmu tanpa pakaian berlari-lari menangkap serangga, sekarang kan beda..."

"Ihh, bukan yang itu. Guru terlalu jauh memutarnya!! Aku ingat terakhir kali guru memelukku, saat umurku 12 tahun. Setelah itu guru selalu menyuruhku menjaga jarak satu meter kalau kita sedang bersama, apa salahku?"

Curang. Selalu saja begitu! Guru tidak bisa langsung menjawab, hanya menutup mulutnya agar aku tidak bisa membaca gerakan bibirnya. Wajahnya merah padam membuatku gemas ingin menerjangnya.

Duagh!! Guru menghindar ketika aku ingin memeluknya. Alhasil aku mencium batang tubuh pohon kekar di belakangnya.
"Jangan bercanda lagi. Latihan hari ini selesai. Desa kita akan mengadakan pesta malam ini, cepat bantu yang lainnya."

"Ish!!" Aku meninggalkan hutan itu dan berlari menuju pemukiman.

Menghampiri beberapa orang yang sedang menyusun bangku.
"Akari? Kenapa di sini?"
"Bodohmu gak ilang-ilang deh, Shoji. Mau bantulah, mau apa lagi?"
"Bantu di dapur sana. Ngapain di sini!" Shoji menoyor kepalaku. "Dan lagi panggil aku 'kak', aku ini kan seumuran gurumu, kenapa ngga bisa sopan sedikit?"
"Aku kan ngga bisa masak."
"Katanya udah dewasa? Berapa umurmu? 13? 14?"
"15 tahun!!"
"Oh ya ya, segitulah." Aku membantu meletakan alat makan di meja tapi Shoji malah menatapku lekat-lekat.
"Apa liat-liat."
"Kamu ini benar-benar adiknya Yukari ya, yah walaupun kelakuanmu minus sih..." Sudah cukup aku tidak mau disama-samakan lagi dengan perempuan itu. Apa sih salahku selalu menjadi bayang-bayangnya?

Aku melempar gelas alumunium ke kepala Shoji dan pergi dari tempat itu.
"Dasar bocah sialan." Shoji meringis kesakitan dan menyumpahiku.

Aku memiliki seorang kakak. Umur kami terpaut 13 tahun. Sejak kematian orangtuaku 11 tahun yang lalu, dia berjanji untuk menjagaku dan selalu bersamaku. Nyatanya tiga tahun setelahnya dia juga pergi, hilang entah kemana.
Ditambah lagi, dia adalah satu-satunya orang yang selalu mengisi hati Rei-niichan, Guruku.

"Benar kamu ingin bantu masak?" Bibi Kaya, ibunya Shoji.
"Iya, Bi. Sekalian belajar masak, guru suka wanita yang pintar masak kan, ya Bi?" Aku mulai bersemangat kembali.
"Rei selalu bilang begitu, padahal dia hanya suka masakan Yukari." Mulai lagi. Semangatku kembali surut. "Omong-omong, Akari sejak kapan tubuhmu berkembang pesat begini? Usiamu 15 tahun kan? Kamu tampak seperti Yukari saat berumur 18 tahun..."
"Benarkah, Bi?" Kataku tanpa antusias yg berarti.
"Kalau saja saat itu Yukari saat itu tidak nekat pergi..." seperti ingat akan sesuatu Bibi menjentikkan jari. "Ada yang mau Bibi tunjukan padamu."

---

Baru kali ini aku memakai gaun. Rasanya.... tidak nyaman sih, habis seperti bukan diriku. Tapi kalau membayangkan guru akan terpesona aku kembali bersemangat.
"Ya Tuhan... kamu cantik sekali, Nak. Ayo kita buat yang lainnya tercengang dengan perubahanmu."
"Ta-tapi, Bi. Aku malu."
"Kamu cantik, kenapa harus malu? Malam ini kamu putrinya."

Saat aku melihat dari kejauhan Shoji dan Rei-niichan sedang berbincang-bincang, aku segera bersembunyi di balik tubuh Bibi Kaya begitu mereka menatap ke arah kami.
"Kemana si kuncir kuda, Bu?" Si Shoji itu memang selalu menyebalkan.
"Di belakang ibu nih..." dengan ragu aku keluar perlahan dari balik badan Bibi.
"Ngapain pake sem... ohokkk!!" Shoji menyemburkan minuman yang baru saja diminumnya.

Shoji tersedak dan terbatuk cukup lama, sampai wajahnya merah padam. Lalu Rei-niichan mengalihkan tatapannya dariku.

Tamat sudah. Pasti penampilanku memalukan.

"Em... Bi, aku mau bantu yang lain dulu." Satu-satunya cara agar aku bisa lepas dari sana. Aku tidak akan pernah lagi memakai pakaian seperti ini di depan mereka.

---
Kenapa sih mereka tidak pernah bersikap manis lagi padaku?
Di saat seperti ini, mau tidak mau aku akan ingat wanita itu.
"Kakak..."
Cuma dia satu-satunya yang aku punya, lalu dia pergi dan tidak pernah kembali lagi.

"Kamu lihat Akari tadi?" Dua orang penduduk desaku masuk ke dalam hutan tempatku melarikan diri dari keramaian pesta.
"Aku kira kita akan kembali melakukan pemujaan untuk sesembahan monster itu."
"Itu tidak mungkin. Sejak saat itu, sudah tidak ada lagi keturunan kita yang berubah menjadi monster. Aku sangat berterima kasih sekali pada Yukari."

Orang-orang itu mengangkat beberapa batu besar dari sana. "Untuk apa mereka meminta kita mengambil ini?"

"Bibi Kaya memerlukannya untuk dijadikan tungku tambahan," salah satunya terlihat kesulitan mengangkat batu.

"Yang aku bingung kalau benar Yukari bisa mengalahkan monster-monster itu dan melepaskan kutukan desa kita, kenapa dia tidak terlihat di mana pun?"
"Jangan bertingkah seperti Shoji si menyebalkan itu deh. Yang penting kan kutukan sudah lepas dan keturunan kita bisa hidup tenang."
"Satu lagi yang aneh, Rei salah satu orang terkuat di desa kita sampai sekarang masih belum menghancurkan tabir penghubung yang antara dunia kita dan monster itu. Kenapa hanya Yukari yang bisa?"
"Kalo kamu tidak bisa diam, aku akan menyerahkan tubuhmu sebagai sesembahan monster sialan itu."
"Ck, benar-benar tidak bisa diajak diskusi."

Apa itu yang baru saja kudengar? Aku sama sekali tidak pernah dengar cerita ini dari siapapun. Maksudnya sesembahan apa? Kakak... apa dia mempertaruhkan nyawanya demi desa ini?

Semuanya berputar di otakku dengan cepat.

Ingatanku ketika tertawa bersama kakak. Ingatanku ketika Rei-niichan dan kakak bertengkar mulut. Ingatanku ketika kakak memelukku di malam hari setelah itu menghilang dan tak pernah kembali. Ingatanku saat Bibi Kaya memelukku mengatakan ada yang harus Kakak lakukan di luar desa.
Semua bergerak dengan cepat dan meninggalkan denyut sakit yang tak tertahankan di kepalaku.

"Akari."
Seseorang menepuk pundakku dan tanpa sadar aku mengeluarkan Fuukobushijutsu. Pukulan di udaraku telak mengenai Rei-niichan yang tanpa persiapan.
Aku panik ketika sadar yang aku serang adalah Rei-niichan. Lalu ketakutan menyergapku tanpa sebab.

Aku berlari menusuri hutan hingga tepi perbatasan dataran. Yang aku dengar sehebat apapun ilmu kami, kami tidak akan bisa pergi ke sana dan melewatinya. Tapi kali ini aku nekat, perasaanku mengatakan aku akan bisa bertemu dengan Kakak kalau melewatinya.

Ketika melompati perbatasan, seperti ada aliran listrik hebat yang menyentuh tubuhku sampai terpental. Aku terbatuk hebat. Seluruh badanku terluka karena menghantam pepohonan.

"Kenapa!? Aku.... aku hanya ingin masuk, monster sialan!!"
Perasaan sesak memenuhi dadaku, tanpa sadar airmataku turun. Terisak, membiarkan semuanya lepas.

"Kak...."
Berbarengan aku menyebutkan nama kakakku, angin dahsyat berhembus. Suara petir terdengar keras. Lalu disusul suara kikihan yang aneh.

"Kamu tidak akan bisa menemui kakakmu." Entah mengapa suara gemuruh yang aneh itu bisa kuterjemahkan dengan mudah.

"Kenapa!? Apa salah aku dan kakakku!? Kami hanya anak sebatang kara, kenapa kalian begitu jahat pada kami!!"

"Hoo, apakah kita harus peduli dengan nasib malang makanan kami..."

"Monster sialan!! Kembalikan kakakku!!" Aku bersiap mengeluarkan jurus andalanku. "Senkenjutsu!!" Seribu samurai mengarah ke tabir pelindung. Namun semua terpental dengan percuma.
"Kazefuku... hggh!!" Sebuah bulatan cahaya mengenai tubuhku dan lagi-lagi membuatku terpental. Kali ini darah keluar dari mulutku.

Namun dengan sisa kekuatan yang ada aku mencoba berdiri kembali.

"Kembalilah, Akari..." suara itu begitu lirih. Aku mengangkat kepalaku dan air mataku menetes mendengarkan suara itu. Suara kakak.

"Kakak...?" Lalu tidak ada jawaban lagi dari balik tabir itu. Aku terus memukul-mukul tabir pelindung dan terus terpental berulang kali. Aku terus memanggil-manggil kakakku yang ada di dalam sana. Tapi tidak terdengar apa-apa lagi.

Matahari pagi semakin jelas menampakkan dirinya. Lalu bersamaan dengan suara gemuruh aku mendengar suara lirih dari balik tabir itu.

"Jangan cari kakakmu lagi." Tangisku pecah dan membuat seluruh tubuhlu mati rasa. Semua sesak, bahkan aku mengira akan mati saat itu juga.

"Akari!!" Suara itu datang sebelum akhirnya seseorang memelukku dari belakang.

"Syukurlah..." suara Rei-niichan terdengar frustasi sekali saat itu. Aku membalikkan tubuhku dan melihat kekhawatiran yang tersirat di wajahnya, membuatku merasa bersalah. Tapi sedetik kemudian aku merasakan kenyamanan dan jatuh tak sadarkan diri di pelukannya.

Dalam mimpi aku melihat kakak dengan sosok yang sangat menakutkan. Tapi tak sedikitpun rasa takut di diriku hinggap. Saat itu aku berjanji kepada kakakku.
"Aku akan menyelamatkan kakak." Sambil tersenyum ke arah sosok yang mengerikan itu.

#malamnarasi
#DescendantofMonsters
#Fantasiromanceaction
By : Zu
25/5/16

No comments:

Post a Comment