Saturday, March 21, 2015

[FlashFiction] Tabung Kehidupan

Jajaaang~
Jumpa lagi dalam acaraa... setoran OWOP, wahahaha. Sebenernya ide cerita bergelimangan di otak, cuma yang sanggup direalisasikan cuma satu. Ini pun ide yang baru aja keluar karena kepengen ikutan Giveaway-nya Ruru. Ide awalnya sebenernya bukan yang gue tulis ini, tapi karena hari ini udah nggak dapet feel lagi buat nulis ide lama itu, so terpaksa gue gali ide lain lagi. Untungnya, bisa selesai sebelum deadline GAnya berakhir.

Dan sebenernya rencana gue, tiap minggu gue mau ngedit tulisan gue yang udah dicoret-coret sama editor kesayangan gue itu. Cuma lagi-lagi waktunya mepet-mepet, kadang males juga sih #plak
Yasudah, gimana kalo kita bikin sekalian aja. Sebulan sekali gue akan edit tulisan gue, jadi nggak usah tiap minggu juga ngeditnya, wahaha....
Sukur-sukur, tulisan gue kesalahannya makin ngga ada, jadi nggak usah kena coretan lagi. Aamiin :3

Yasudah, kembali ke setoran sekaligus partisipasi gue dalam GA-nya Ruru, cekidot~

Tabung Kehidupan


Berhenti menatapku seperti itu!!

Untuk ke sekian kalinya aku berteriak di dalam hati, setelah menerima tatapan penuh arti dari para tetanggaku.

Perlu kalian tahu, bagaimanapun juga orang tuaku pemilik beberapa toko besar di pertokoan Mangga Besar. Usaha kami cukup maju dan kami hidup berlimpah dengan harta.

Tidak seperti Doni, anak tetangga yang seumuran denganku itu adalah orang miskin yang selalu menyusahkan. Hidupnya hanya dipenuhi hutang kepada keluargaku.

Sekolahku adalah sekolah terkenal dan teman-temanku juga anak dari keluarga terpandang.

Uang jajanku sehari cukup untuk membeli tas dan baju bermerk setiap harinya.

Ya baiklah... tidak perlu diulangi lagi. Aku memang hanya sedang mengungkit masa lalu. Aku memang sedang berbicara tentang ‘dulu’... setahun yang lalu. Sebelum kejadian naas itu terjadi.

Siapa yang menyangka, tiket hadiah yang terima oleh orang tuaku setahun yang lalu, malah menjadi malapetaka bagi keluargaku. Pesawat yang ditumpangi oleh kedua orang tuaku sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya, hingga akhirnya telah dinyatakan seluruh penumpang yang menaiki pesawat itu hilang. Dan semua bisa dikatakan tidak selamat.

Uang asuransi memang telah kami dapatkan. Tapi siapa yang percaya seorang anak 15 tahun bisa memegang seluruh harta keluarganya. Aku dan adikku, yang berusia enam tahun masih harus bergantung oleh orang dewasa.
Tapi sayangnya mereka bukan orang yang tepat untuk memegang tanggung jawab orang lain. Meski kami adalah sanak saudara, materi bisa membutakan dan menjadikan kami seperti orang asing.

Harta keluargaku menjadi rebutan sanak keluargaku. Dan apa yang bisa dilakukan oleh aku dan adikku? Tidak ada. Sekarang kehidupan kami berada di genggaman mereka. Kini, kalau kami ingin bertahan hidup, kami harus menuruti mereka.

Semua, tidak lagi sama.
--
--
“Cuci yang bersih pakaian Mila...” Dulu, Mila adalah sepupuku yang  kubenci. Dan dengan mudah aku bisa mencampakannya kalau dia sudah berulah. Tapi sekarang, aku harus menuruti semua yang dia dan Ibunya katakan. Sekarang, Mila adalah sepupu yang sangat aku benci.

“Tapi aku belum masak untuk Igo...” Adikku mengaduh kesakitan karena perutnya belum diisi sejak kemarin malam.

“Kan, bisa sekalian kamu kerjain nanti, sekalian buat makan malam Igo, ngirit!” Ibu Mila adalah istri dari adik tirinya ayahku. Dulu, kalau berkunjung ke rumahnya, diam-diam aku mengendap masuk ke kamarnya dan merusak gaunnya. Sekarang keadaan benar-benar berbalik.

“Kak...” Igo memegang ujung bajuku dengan erat. Wajahnya pucat sekali.

“Aku minta tolong pada Bibi, biarkan aku masakan sesuatu untuk Igo dulu...” Makan pagi, makan siang dan makan malam selalu habis tanpa sisa oleh keluarga dari Bibiku itu. Setiap hari aku harus masak sendiri dengan bahan seadanya.

“Oke, tapi kamu harus janji selesaikan cucianmu sebelum magrib!”

“Iya, aku janji...”
Dengan sigap aku menyalakan kompor dan menyiapkan bahan makanan untuk membuatkan Igo nasi goreng. Tapi setelah kompor menyala sebentar, apinya kembali redup.

Aku panik. Segera mungkin kuhidupkan kembali kompor itu dan api lagi-lagi mati. 
Selanjutnya api benar-benar tidak menyala sama sekali.

“Kak Linka, nasi gorengnya udah?” tanya Igo yang terlihat lemas duduk di lantai.

“Sebentar ya, Go. Kakak, minta bibi untuk belikan gas dulu.”

Kudatangi bibiku di ruang tengah, yang sedang asik dengan telenovela langganannya.
“Bi, gasnya habis...”

“Abis lagi? Gimana sih! Kamu boros banget makenya... Duh, sial banget deh, dititipin anak-anak yang nyusahin begini.” Aku hanya bisa menahan amarahku. Genggamanku terus menguat ketika bibiku itu mengatakan hal yang buruk-buruk tentang orang tuaku. Tapi aku berhasil menahan amarahku sampai akhirnya mulut Bibiku itu tertutup.

“Yaudah nih, beli gas yang 3 kilo aja.”
Uang yang diberikan Bibiku benar-benar pas untuk dibelikan gas seharga itu, padahal tadinya aku ingin menyisakannya sedikit untuk membelikan Igo roti sebagai pengganjal rasa laparnya. Tapi yasudahlah, lebih baik aku cepat-cepat menyelesaikan masakanku untuk Igo.

“Oh, maaf Neng. Gasnya lagi kosong...”

“Habis, Bu?”

Gawat, hari semakin mendekati waktu magrib tapi 3 warung yang aku datangi semua kehabisan gas 3 kg itu. Mataku memanas memikirkan Igo di rumah. Tapi warung mana lagi yang harus aku datangi?

“Linka...” terdengar sebuah suara memanggilku.

“Kamu...”

“Kenapa?” tanya cowok itu lembut.

“Nggak, nggak kenapa-kenapa...”

“Oh...” Dia diam sejenak, namun tidak lama kemudian dia memalingkan mukanya ke arahku lagi “Udah mau magrib, sekali-kali ajak Igo ke mesjid dong...”

“...”mataku kembali nanar memikirkan adikku yang sedang kelaparan menungguku di rumah. Membayangkan Igo membuatku semakin lemah.

“Linka?” cowok itu mendekat setelah menyadari keadaanku tidak stabil.

“Don...” aku menguatkan diriku dan mencoba bertanya pada Doni, cowok yang sekarang berada di depanku. “Kamu tahu, di mana tempat yang jual gas 3kg?”

“Eh? Gas?” tanpa kusadari sepanjang jalan terus aku berbincang pada Doni. Doni mengatakan akan mengantarkanku ke tempatnya biasa dia membeli gas itu, dan dalam perjalanan itulah semua keluh kesahku kutumpahkan semua ke Doni.

Doni tidak mengatakan apapun, dia hanya mendengarkan semua ceritaku dengan baik. Sampai akhirnya, kini gas itu sudah berada di tanganku.

“Akhirnya dapat juga...” Kata Doni dengan senang. “Warung ini biasanya memang menyetok gas 3 kg lebih banyak dari warung biasanya, karena sebagian besar yang tinggal di daerah sini adalah warga miskin.” Lanjut Doni.

Doni tidak berkomentar apa-apa tentang ceritaku barusan. Hal buruk yang kualami ini mungkin belum seberapa dibandingkan penderitaan warga miskin lainnya. Tapi hanya dengan didengarkan saja, rasanya perasaanku menjadi lebih ringan. 

Kuperhatikan baik-baik tulisan yang tertera pada tabung gas itu, ‘Hanya Untuk Masyarakat Miskin’.

Selama setahun ini aku selalu menolak tatapan-tatapan orang yang meremehkanku atau mengasihaniku. Setahun ini begitu berat mengakui kalau aku sudah kehilangan segalanya. Setahun ini aku masih mempertahankan harga diriku sebagai orang yang sama.

Namun inilah aku, aku hanyalah seorang gadis biasa yang masih harus belajar menghargai hidup.

“Nggak papa kan ada lebel begituannya?” tanya Doni ragu.
Aku tersenyum lemah, “Ya, akhirnya aku bisa masak buat Igo...”


FIN~

-------

A/N : Maaak, FTV kali nggak seeh?
Yasudahlah....

No comments:

Post a Comment