Jajaaang~
Jumpa lagi dalam acaraa... setoran OWOP, wahahaha. Sebenernya ide cerita bergelimangan di otak, cuma yang sanggup direalisasikan cuma satu. Ini pun ide yang baru aja keluar karena kepengen ikutan Giveaway-nya Ruru. Ide awalnya sebenernya bukan yang gue tulis ini, tapi karena hari ini udah nggak dapet feel lagi buat nulis ide lama itu, so terpaksa gue gali ide lain lagi. Untungnya, bisa selesai sebelum deadline GAnya berakhir.
Dan sebenernya rencana gue, tiap minggu gue mau ngedit tulisan gue yang udah dicoret-coret sama editor kesayangan gue itu. Cuma lagi-lagi waktunya mepet-mepet, kadang males juga sih #plak
Yasudah, gimana kalo kita bikin sekalian aja. Sebulan sekali gue akan edit tulisan gue, jadi nggak usah tiap minggu juga ngeditnya, wahaha....
Sukur-sukur, tulisan gue kesalahannya makin ngga ada, jadi nggak usah kena coretan lagi. Aamiin :3
Yasudah, kembali ke setoran sekaligus partisipasi gue dalam GA-nya Ruru, cekidot~
Tabung Kehidupan
Berhenti menatapku
seperti itu!!
Untuk ke sekian kalinya aku berteriak di dalam hati, setelah
menerima tatapan penuh arti dari para tetanggaku.
Perlu kalian tahu, bagaimanapun juga orang tuaku pemilik
beberapa toko besar di pertokoan Mangga Besar. Usaha kami cukup maju dan kami
hidup berlimpah dengan harta.
Tidak seperti Doni, anak tetangga yang seumuran denganku itu
adalah orang miskin yang selalu menyusahkan. Hidupnya hanya dipenuhi hutang
kepada keluargaku.
Sekolahku adalah sekolah terkenal dan teman-temanku juga anak dari keluarga terpandang.
Uang jajanku sehari cukup untuk membeli tas dan baju
bermerk setiap harinya.
Ya baiklah... tidak perlu diulangi lagi. Aku memang hanya sedang mengungkit masa lalu. Aku memang sedang berbicara tentang ‘dulu’... setahun yang lalu. Sebelum
kejadian naas itu terjadi.
Siapa yang menyangka, tiket hadiah yang terima oleh orang
tuaku setahun yang lalu, malah menjadi malapetaka bagi keluargaku. Pesawat yang
ditumpangi oleh kedua orang tuaku sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya, hingga akhirnya telah dinyatakan seluruh penumpang yang menaiki pesawat itu hilang.
Dan semua bisa dikatakan tidak selamat.
Uang asuransi memang telah kami dapatkan. Tapi siapa yang
percaya seorang anak 15 tahun bisa memegang seluruh harta keluarganya. Aku dan
adikku, yang berusia enam tahun masih harus bergantung oleh orang dewasa.
Tapi sayangnya mereka bukan orang yang tepat untuk memegang
tanggung jawab orang lain. Meski kami adalah sanak saudara, materi bisa
membutakan dan menjadikan kami seperti orang asing.
Harta keluargaku menjadi rebutan sanak keluargaku. Dan apa
yang bisa dilakukan oleh aku dan adikku? Tidak ada. Sekarang kehidupan kami
berada di genggaman mereka. Kini, kalau kami ingin bertahan hidup, kami harus
menuruti mereka.
Semua, tidak lagi sama.
--
--
“Cuci yang bersih pakaian Mila...” Dulu, Mila adalah
sepupuku yang kubenci. Dan dengan mudah
aku bisa mencampakannya kalau dia sudah berulah. Tapi sekarang, aku harus
menuruti semua yang dia dan Ibunya katakan. Sekarang, Mila adalah sepupu yang
sangat aku benci.
“Tapi aku belum masak untuk Igo...” Adikku mengaduh
kesakitan karena perutnya belum diisi sejak kemarin malam.
“Kan, bisa sekalian kamu kerjain nanti, sekalian buat makan
malam Igo, ngirit!” Ibu Mila adalah istri dari adik tirinya ayahku. Dulu, kalau
berkunjung ke rumahnya, diam-diam aku mengendap masuk ke kamarnya dan merusak
gaunnya. Sekarang keadaan benar-benar berbalik.
“Kak...” Igo memegang ujung bajuku dengan erat. Wajahnya
pucat sekali.
“Aku minta tolong pada Bibi, biarkan aku masakan sesuatu
untuk Igo dulu...” Makan pagi, makan siang dan makan malam selalu habis tanpa
sisa oleh keluarga dari Bibiku itu. Setiap hari aku harus masak sendiri dengan bahan seadanya.
“Oke, tapi kamu harus janji selesaikan cucianmu sebelum
magrib!”
“Iya, aku janji...”
Dengan sigap aku menyalakan kompor dan menyiapkan bahan
makanan untuk membuatkan Igo nasi goreng. Tapi setelah kompor menyala sebentar,
apinya kembali redup.
Aku panik. Segera mungkin kuhidupkan kembali kompor itu dan
api lagi-lagi mati.
Selanjutnya api benar-benar tidak menyala sama sekali.
“Kak Linka, nasi gorengnya udah?” tanya Igo yang terlihat
lemas duduk di lantai.
“Sebentar ya, Go. Kakak, minta bibi untuk belikan gas dulu.”
Kudatangi bibiku di ruang tengah, yang sedang asik dengan
telenovela langganannya.
“Bi, gasnya habis...”
“Abis lagi? Gimana sih! Kamu boros banget makenya... Duh,
sial banget deh, dititipin anak-anak yang nyusahin begini.” Aku hanya bisa menahan
amarahku. Genggamanku terus menguat ketika bibiku itu mengatakan hal yang
buruk-buruk tentang orang tuaku. Tapi aku berhasil menahan amarahku sampai
akhirnya mulut Bibiku itu tertutup.
“Yaudah nih, beli gas yang 3 kilo aja.”
Uang yang diberikan Bibiku benar-benar pas untuk dibelikan
gas seharga itu, padahal tadinya aku ingin menyisakannya sedikit untuk
membelikan Igo roti sebagai pengganjal rasa laparnya. Tapi yasudahlah, lebih
baik aku cepat-cepat menyelesaikan masakanku untuk Igo.
“Oh, maaf Neng. Gasnya lagi kosong...”
“Habis, Bu?”
Gawat, hari semakin mendekati waktu magrib tapi 3 warung
yang aku datangi semua kehabisan gas 3 kg itu. Mataku memanas memikirkan Igo di
rumah. Tapi warung mana lagi yang harus aku datangi?
“Linka...” terdengar sebuah suara memanggilku.
“Kamu...”
“Kenapa?” tanya cowok itu lembut.
“Nggak, nggak kenapa-kenapa...”
“Oh...” Dia diam sejenak, namun tidak lama kemudian dia
memalingkan mukanya ke arahku lagi “Udah mau magrib, sekali-kali ajak Igo ke
mesjid dong...”
“...”mataku kembali nanar memikirkan adikku yang sedang
kelaparan menungguku di rumah. Membayangkan Igo membuatku semakin lemah.
“Linka?” cowok itu mendekat setelah menyadari keadaanku
tidak stabil.
“Don...” aku menguatkan diriku dan mencoba bertanya pada
Doni, cowok yang sekarang berada di depanku. “Kamu tahu, di mana tempat yang
jual gas 3kg?”
“Eh? Gas?” tanpa kusadari sepanjang jalan terus aku berbincang pada Doni. Doni mengatakan akan mengantarkanku
ke tempatnya biasa dia membeli gas itu, dan dalam perjalanan itulah semua keluh
kesahku kutumpahkan semua ke Doni.
Doni tidak mengatakan apapun, dia hanya mendengarkan semua
ceritaku dengan baik. Sampai akhirnya, kini gas itu sudah berada di tanganku.
“Akhirnya dapat juga...” Kata Doni dengan senang. “Warung
ini biasanya memang menyetok gas 3 kg lebih banyak dari warung biasanya, karena
sebagian besar yang tinggal di daerah sini adalah warga miskin.” Lanjut Doni.
Doni tidak berkomentar apa-apa tentang ceritaku barusan. Hal buruk yang kualami ini mungkin belum seberapa dibandingkan penderitaan warga miskin lainnya. Tapi hanya dengan didengarkan saja, rasanya perasaanku menjadi lebih ringan.
Kuperhatikan baik-baik tulisan yang tertera pada tabung gas
itu, ‘Hanya Untuk Masyarakat Miskin’.
Selama setahun ini aku selalu menolak tatapan-tatapan orang
yang meremehkanku atau mengasihaniku. Setahun ini begitu berat mengakui kalau
aku sudah kehilangan segalanya. Setahun ini aku masih mempertahankan harga
diriku sebagai orang yang sama.
Namun inilah aku, aku hanyalah seorang gadis biasa yang
masih harus belajar menghargai hidup.
“Nggak papa kan ada lebel begituannya?” tanya Doni ragu.
Aku tersenyum lemah, “Ya, akhirnya aku bisa masak buat
Igo...”
FIN~
-------
A/N : Maaak, FTV kali nggak seeh?
Yasudahlah....
No comments:
Post a Comment