Tuesday, March 31, 2015

[Flashfiction] Over Thinking

Pengakuan dosa... Saya belum setor tulisan minggu kemaren. Makanya kadang suka ising muncul di grup wahaha.
"Tapi kan gunanya masuk OWOP biar lo diingetin, Ju..." Oiya ya...*tiba-tiba ngeh*

Penyakit tidak komitmen saya agaknya mulai-mulai kambuh nih. Mau ngedit cerita kemaren yang dikoreksi aja malas, apa karena baru satu ya yang dikoreksi? *towel Ruru*

Dan kali ini niatnya mau posting tulisan yang saya bikin di OWOP semalem. Iya, nulis di hape itu lebih mudah dari pada nulis di blog. Padahal harusnya lebih enak nulis pake kompi, karena keyboard-nya lebih besar dari hape. Yasudah cekidot saja.

PS. Sedikit diedit-edit dari versi yang di hape.


Over Thinking


                           

Aku sudah terlanjur. Aku sudah telanjur melakukannya.

Ketika masih duduk di bangku dasar, kulihat ibuku berbincang dengan Ibunya Andre dengan perasaan yang senang, sesekali Ibu mengelus kepala Andre. Andre anak yang nakal, tapi dia selalu juara kelas.

Aku tau ibu selalu menginginkan anak yang cerdas seperti itu, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan tatapan mesra Ibu selalu ada untuknya.

Kemudian aku melakukannya, menjadi juara kelas seperti yang diharapkan Ibu. Namun Ibu hanya tersenyum.
Setelah hijrah ke jenjang pendidikan lebih tinggi, 'kebiasan' Ibu kembali berubah. Ibu selalu menyanjung Yuni di depanku. Teman dekatku di masa putih-abuabu itu anak yang manis, baik perangai maupun penampilannya.

Namun, kami para remaja yang memandang penampilan itu nomor satu, tidak mungkin berpikir untuk menutup lekuk indah tubuh kami seperti yang Yuni lakukan. Sebagian besar justru menganggap itu adalah suatu anugerah yang harus diperlihatkan.

Tapi tidak, sepertinya menjadi perhatian Ibu lebih menarik. Segera kulakukan apa yang menjadi kesenangannya, menutup diriku dengan hijab.

Tapi lagi-lagi reaksi ibu sama, beliau hanya tersenyum.

Dan sekarang, ketika aku sedang menapaki karir yang gemilang. Adikku memutuskan akan menikah dengan seorang yang akan dipilihkan oleh ayah. Mereka bilang proses ini namanya Taaruf. Dalam masalah ini, Ibu tidak pernah memaksaku. Beliau pun sangat mengerti kalau aku selalu menomorduakan soal pernikahan. Tapi kenapa? Saat berbincang dengan adikku tentang pernikahan, sinar matanya terlihat begitu memukau. Kapan beliau pernah menatapku dengan pandangan itu?

Seketika, aku memplokamirkan ingin dikenalkan oleh seorang lelaki baik yang bisa menjadi imamku kelak dalam suatu bahtera yang bernama keluarga. Kembali Ibu tersenyum.

Sebelum ijab diikrarkan, aku harus menuntaskan kegelisahanku selama ini.

"Ibu, kenapa Ibu hanya tersenyum ketika aku mendapatkan apa yang Ibu inginkan?"
Sebelum menjawab beliau tersenyum untuk ke sekian kalinya,

"Ibu tau, Nak, apa yang selalu ada di pikiranmu. Membuatmu tidak puas secara cepat adalah jalan yang terbaik agar membuatmu terus ingin berlari. Yang perlu kamu tau adalah, Ibu selalu bangga dengan apa yang kamu lakukan..." Kali ini ucapan Ibu itu diiringin dengan air mata kebahagian. Aku belum pernah merasa betapa berharganya diriku bagi ibu, dan kini rasa itu muncul dengan tiba-tiba dan luar biasa.

Setiap para ibu memang memiliki caranya tersendiri untuk mendidik anaknya, dan aku bersyukur beliaulah yang jadi Ibuku.

Gawat, aku terlanjur, aku terlanjur melakukannya. Aku terlanjur memutuskan mendidik anakku kelak seperti yang dilakukan beliau.


By :Zu.
#NarasibergambarOWOP
30Maret'15

No comments:

Post a Comment