Wednesday, April 29, 2015

[FlashFiction] Malam Bulan Sabit

Utang setoran blog akan gue bayar dengan utang Tantangan di Grup OWOP *laluditinjuparamemberOWOP*

Jadi ceritanya hari senin kemarin ada acara Malam Narasi, tapi gue ketiduran. Berhubung Cici bilang itu jadi utang juga, jadi gue (yang menganggapnya itu serius) menerima tantangan untuk membayar utang. *Utangmahkewajibanwoy*

Baiklah, kita lupakan masalah aneh atau tidaknya cerita berikut. Langsung saja kita sambut ceritanya... 


Malam Bulan Sabit



"Ah, kapal itu..." Kia yang sejak tadi terduduk, mendadak berdiri dengan tegak melihat kedatangan sebuah kapal layar. Namun setelah dia cukup lama mengamati, dia menggeleng. 

Cukup lama Kia duduk di sana. Setiap hari menjelang gelap, Kia selalu duduk di situ hingga fajar menyingsing. 

Kia mengamati puluhan orang yang turun-naik kapal layar yang singgah ke kotanya itu. Di antaranya banyak saudagar, wanita-wanita bangsawan bahkan orang-orang terpelajar. Namun di antaranya tidak ada yang Kia cari.

"Kau masih di sini?" seorang kakek dengan tongkatnya datang mendekati Kia. Kia hanya menjawabnya dengan anggukan. 

"Ini sudah malam ke berapa?"

"Malam ke-18..." Jeda sebentar sebelum akhirnya kakek itu harus mengalah untuk terus memulai pertanyaan.

"Sebenarnya apa yang kau cari?" kakek itu sebenarnya tahu apa jawaban Kia. Namun sang kakek berharap, Kia menjawab pertanyaannya dengan jawaban lain.

"Aku tidak tahu..." kakek itu menghela napas lelah. Jawaban itu masih sama. 

Kia masih tampak sama dengan hari-hari sebelumnya. Pakaian usang, badan kurus yang menjulang tinggi, dan sebuah batu kapur di tangannya. Kakek menjatuhkan pandangannya kembali pada benda yang selalu berada di sisi Kia. Pikirnya bingkai yang diselimuti kain usang itu mungkin sesuatu berharga milik Kia, namun pada akhirnya kakek tidak memaksa Kia untuk memperlihatkan benda itu padanya.

"Kek..." Kakek menghadap Kia dengan heran. Tidak biasa, saat Kia berinisiatif untuk berbicara terlebih dahulu.

"Ya?"

"Apa kakek pernah merasakan perasaan ajaib di sini?" Kia menunjuk dadanya yang cukup bidang. Tatapan kakek semakin bingung. "Perasaan aneh, tapi luar biasa. Aku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya..." lanjutnya.

"Perasaan seperti apa itu?" Mendengarkan perkataan Kia si Kakek sempat merasa terkejut. Pasalnya Kia dikenal sebagai pemuda yang sangat pendiam dan sedikit berekspresi. Beberapa pemuda sebayanya sering menyebut Kia aneh dan tidak punya hati.
Bukan, bukan berhati dingin. Kia lebih cenderung seperti tidak tahu ekspresi apa yang harus dia tunjukan.

Kalau Kia melihat orang lain tertawa, selalu berakhir di dalam pikirannya, "Apa aku juga harus tertawa?" Pun kalau Kia melihat orang yang menangis, "Kenapa sesedih itu? Aku harus apa?" dan lain-lain.

"Entahlah, ketika melihatnya. Perasaan itu muncul, bergejolak dari sini, lalu membuat remang di seluruh tubuh. Dan..."

"Dan?" tagih Kakek. Kia agak ragu untuk melanjutkannya. Namun menunjuk sudut bibirnya.

"Di sini, rasanya tidak lelah untuk membuat lengkungan." 

"Tersenyum?" kakek itu bertanya polos. Kia pun mengangguk tidak kalah polosnya. Lalu si Kakek malah terkikih geli.
"Kia... Kau sedang jatuh cinta, Nak."

"Jatuh cinta?"

"Iya, tidak salah lagi." katanya dengan yakin. Kia malah terlihat bingung.

"Tidak mungkin." Kia menyangkal.

"Kenapa tidak?"

"Ya, karena... tidak mungkin." Kakek ikut terihat bingung. Suara bising saat kapal datang menepi kembali memenuhi di pendengaran. 

"Hari ini banyak kapal-kapal yang menepi di sini..." Kia mengikuti arah pandangan kakek dan seketika dia berdiri dengan terburu.

"Kia...?"

"Itu... itu dia."

Bulan sabit yang sejak tadi tertutup dari penglihatan Kia sekarang terlihat. Kapal layar yang menepi mulai membawa Kia ke waktu itu. Waktu di mana muncul dalam penglihatan Kia pemandangan yang membuatnya terpukau dan tak henti-hentinya membuat Kia menggoreskan batu kapurnya di sebuah papan kayu.

Kia, seseorang yang tidak pernah suka belajar tulis-menulis, akhirnya untuk pertama kalinya memakai buku dan alat tulisnya untuk menggambar. Keinginan Kia sangat kuat untuk mengabadikan potret yang ada di dalam pandangannya saat itu, namun coretan itu selalu gagal dengan sempurna.

Dua hari yang lalu, dia melihat karung beras di rumah. Entah hipotesis apa yang membuat Kia yakin karung itu bisa dipakai untuk menuangkan coretan-coretannya.

"Nak..." Kakek membuyarkan lamunan Kia.

Segera Kia membuka penutup kain usang. Kini karung beras itu, sebagai pelapis papan kayu miliknya.

"Kau melukis, Nak? Sejak kapan?" Si kakek terperangah.

"Entahlah. Terjadi begitu saja." Bahkan coret-coretan pensilnya sama sekali tidak bisa dianggap remeh untuk ukuran seseroang yang baru saja mulai melukis.
"Berkali-kali aku melihat kapal menepi di malam hari, entah mengapa yang ini berbeda..." potret pemandangan di depan Kia semakin serupa dengan pemandangan yang waktu itu dia lihat. 

Meski sang Kakek masih belum mengerti di mana spesial pemandangan yang ada di depannya, beliau terlihat lega saat melihat mata Kia berbinar dan tak berhenti tersenyum.

"Kau ini... dasar anak aneh!" Kakek tertawa pelan. Seraya menepuk pucuk kepala Kia, kakek meninggalkan anak itu seorang diri. Berharap Kia bisa menikmati waktu yang telah lama dia tunggu.

"Kek, sepertinya aku memang jatuh cinta..."

Pemandangan itu terlihat sempurna ketika dalam pandangan Kia telah menangkap sosok wanita yang berdiri di sudut kapal. Sosok wanita yang terlihat sedang menatap bulan sabit. Memang tidak terlalu jelas, tapi Kia merasa wanita berambut panjang itu sangat lembut dan meneduhkan hati. 

FIN
----

Hahaha, cerita yang aneh. 
Yasudahlah...

No comments:

Post a Comment