Demi memenuhi tantangan bareng Saa yang saya buat sendiri, akan saya persembahkan cerita fiksi dari Barisan Sakit Hati (yang ditinggal nikah duluan oleh temen-temannya)...
Cek saja~
Edited : Tantangan yang iseng ini ternyata disambut serius oleh Nana juga. Nah, baca juga karya Saa dan Nana. Silahkan dinikmati~
Edited : Tantangan yang iseng ini ternyata disambut serius oleh Nana juga. Nah, baca juga karya Saa dan Nana. Silahkan dinikmati~
[Fiction : Sensi]
Pikiran
Aina sejak tadi terus berpusat pada umur yang sedang dia tanggung sekarang ini.
Seorang gadis muda yang terbelenggu dengan pertanyaan yang menghantuinya
akhir-akhir ini.
“Kapan
nikah?”
“Jangan
dateng ke kondangan terus, kapan mau ngundang?”
“Calon
mana calon?”
Dan
pertanyaan basi lainnya.
Pernikahan
Rani kemarin sudah menggenapkan jumlah pertanyaan menjadi 100. Itupun kalau
Aina tidak salah hitung.
Aina
terus saja menggerutu kesal kalau ingat kata-kata itu. Kadang sambil menatap
pantulan dirinya di cermin Aina bertanya-tanya dalam hati.
“Memangnya
udah pantas berumah tangga ya?”
“Memangnya
udah cocok jadi ibu-ibu?”
“Umurku
kan masih 24 tahun... Dosakah kalau masih single?”
Sebenernya
pertanyaan itu hanya ingin dia lontarkan tanpa alasan, tanpa harus dapat
jawaban. Aina hanya sedang dilanda semacam sindrom sensi. Yang apabila
seseorang membahas kata ‘nikah’, Aina tidak segan membalikkan meja yang sedang
ditempatinya itu.
“Hai
Kak, udah pulang?” sapa adik Aina yang sedang menginjak masa remajanya. Yuri
sedang berada di masa-masa keemasannya, mendapat predikat siswa populer di
sekolahnya dan menjadi bintang sekolah di angkatannya.
“Itu
siapa?” saat mau masuk tadi Aina tidak sengaja melihat seorang cowok sedang
duduk di motornya sambil memangku helm-nya.
“Andri.
Tadi abis nganterin pulang, terus minta minum.”
“Ck,
bocah SMA.”
“Temen
loh kak, bukan pacar.” Jangankan kata ‘nikah’ kata pacar atau pasangan saja
sudah bikin Aina naik darah.
“TERUS
KENAPA? MASALAH BUAT GUE?” tanpa sadar Aina mengembalikan dirinya ke masa-masa
jahiliyahnya dulu. Sang adik tak sempat memberikan penjelasan lain, kebingungan
dengan sikap kakaknya barusan. Aina masuk kamar dan menutup pintu dengan
kuat-kuat.
“Hih,
cowok itu pacarnya atau bukan, emang urusanku?” gerutunya lagi. Beberapa detik
setelah itu, sebelum Aina mendaratkan kakinya ke kamar mandi untuk
bersih-bersih diri sepulang kantor, Aina melihat Hpnya bergetar sesaat.
“Whatssap?
Siapa?” Nomor yang tertera tidak dikenal. Aina segera meninggalkan Hpnya
setelah membaca sejenak pesan singkat yang aneh.
‘Tes...’
hanya satu kata itu, tanpa poto profil yang jelas.
Selesai
mandi, kembali dia melihat Hpnya dan ternyata beberapa pesan dari orang itu
kembali datang.
‘Cuma
mau tanya...’
‘Nomor
lo ada di kontak gue, boleh tau lo siapa?’
‘Kenalan?
:) ’
“Orang
gila...” gerutu Aina. Pasalnya Aina sudah melewatkan masa-masa itu. Masa-masa
di mana iseng dengan nomor random. Masa ketika pertama kali punya HP dan itu...
sudah lama sekali.
‘Kok
diread aja?’ Tanda contreng dua
berwarna biru pasti membuat orang itu mengerti pesannya telah dibaca oleh Aina.
“Gak
modal.”
Akhirnya
Aina tinggal Hp itu tidur dan sama sekali tidak menggubrisnya.
--
“Ai,
mau coklat atau stoberi?” tanya Ibu yang siap mengoleskan selai di roti yang
akan disantap anak-anaknya.
“Dua-duanya
boleh, Bu”
“Kakak
mah maruk ih... ntar cepet abis selainya.”
“Kenapa
emangnya? Kan aku yang beli.” Aina lebih galak lagi dari Yuri.
“Bu,
kakak kenapa sih dari kemaren sensi mulu...” Yuri yang tidak berani menanyakan
keadaan kakaknya langsung itu, beralih bertanya ke Ibunya perihal sikap
kakaknya yang seperti kucing ingin melahirkan itu.
“Oh,
biasalah...” Ibu langsung mendapatkan tatapan sengit dari Aina. Melihat itu
Yuri mengerti dan berhenti bertanya. Tapi bukan Yuri namanya kalau tidak bisa
diam karena tidak betah dengan suasana kaku.
“Oh iya Kak.”
“Apa?”
“Kemarin
kakak tau, temanku Andri? Yang di luar itu lho...”
“Kenapa?”
“Dia
nanyain kakak.”
“Hah?”
“Iya,
terus minta nomor kakak.”
“HAH?”
“Kan?
” Yuri berbalik arah kepada Ibunya. “Gawat nih, Bu... cowok-cowok yang awalnya
naksir aku, banyak yang pindah haluan kalau ke rumah dan ngeliat kakak.” Si ibu
hanya tersenyum kaku.
“Banyak
yang ngira kakak masih kuliah, jadi banyak yang ngincer kakak gitu...”
lanjutnya.
“Terus
kamu kasih nomor aku?” Aina masih menahan amarahnya yang sudah mengebul sampai
ubun-ubun.
“Ya
kasihlah. Andrinya maksa aku juga.” Jadi terjawab sudah siapa yang iseng
malam-malam kirim chat yang tidak jelas dan tidak modal itu. Bisa jadi bocah
ingusan teman adiknya itu. Aina kembali menenangkan dirinya, menganggap semua
itu adalah nyamuk yang hanya mengganggu dan membuat gatal sesaat.
“Tapi
ya... Kalau dipikir-pikir, teman-temanku semua menganggap kakak tuh masih
kuliah loh.”
“Kayanya
aku udah cukup dewasa deh dalam bersikap.”
“Itu
dia, kakak keliatan kok udah tuanya.” Lama-lama kok gigitan nyamuknya membuat
kesal dan minta digaruk terus.
“Coba
kalau kakak udah nikah, mungkin bakal lain lagi ceritanya...” Ceritanya memang
bakal lain kalau Aina mengambil garpu dan menusukkannya ke tangan Yuri. Tapi
sebelum itu ibu dengan sigap membuat Yuri yang tidak peka itu bangun dari meja
makan dan menariknya untuk keluar rumah.
“Ibu,
roti Yuri belum abis...”
--
“Ainaaa...”
Teriakan yang satu ini pasti sudah diketahui asal-usulnya dari mana. Fika, teman
seperjuangan Aina di kantor datang dengan rusuh menghampiri Aina yang baru saja
menaruh tas di lokernya.
“Plis,
Fik... Toamu dikecilkan.”
“Hehehe,
sowrry beb... Aku lagi seneng sih. Ada kabar gembira nih buat kamu.”
“Kulit
manggis ada ekstraknya?” tanya Aina polos.
“Apa
siiiih... Ai, basi banget deh!”
“Abis
apa dong?”
“Riko,
anak divisi sebelah... titip salam buatmu.”
“Hah!?”
dengus Aina kesal. “Nggak sekalian suratnya?” tanyanya menantang.
“Kok
kamu tau sih, dia mau nitip surat besok.” Fika malah melongok kaget.
“Cih,
kelakuan ababil.” Jawab Aina sombong. Bukan, bukan maksud Aina sombong. Tapi
lagi-lagi fase itu. Fase itu harusnya sudah lewat dari kemarin-kemarin di
hidupnya. Sekarang bukan lagi jamannya hanya naksir, hanya suka, hanya berakhir
pada hubungan yang tidak jelas. Aina sudah lelah dengan fase itu.
“Mending
kamu kasih aku pekerjaan yang jelas-jelas tenggatnya udah deket.” meskipun
merasa tidak senang karena berita yang dia anggap heboh ini disia-siakan, Fika
menuruti kata-kata Aina dan memberikan setumpuk pekerjaan yang masih tertunda
dari minggu kemarin.
Baru
setengah jam Aina asik dengan pekerjaannya. Boss memanggilnya dan menyuruh Aina
mengirimkan beberapa dokumen ke perusahaan klien.
“Jalan
dulu ya, Fik...”
“Ati-ati,
Ai...”
Di
lobi, saat Aina sedang menunggu lift turun, ada seseorang yang mendekatinya. Dia
Riko.
“Hai...”
Tanpa memandang Aina dan ikut serius memandang pintu lift, Riko menyapa. Aina
yang tidak merasa disapa, langsung melengos masuk ke dalam lift. Riko yang
bingung mengikuti Aina masuk ke dalam lift.
Canggung.
Hanya berdua saja dengan Aina. Riko panik. Aina memencet tombol lift dengan
santai.
Pikirnya ingin menyapa Aina langsung, tapi rasanya timing-nya kurang tepat. Riko menyiapkan
kertas yang tadi dia tuliskan nomor teleponnya dan pesan singkat ‘call me,
maybe?’
Lalu
dengan ragu dia tempelkan di pintu lift, tepat di depan Aina.
Pintu
lift terbuka. Aina melengos pergi tanpa menghiraukan kertas itu. Riko pundung.
“Alay...”
bisik Aina lirih sambil berjalan.
--
Terik
matahari menggigit kulit, tepat saat raja siang menyibakan jubahnya ke seluruh
negeri, adzan dzuhur berkumandang.
“Enak
banget kamu, pulang-pulang langsung isoma...” Rajuk Fika.
“Berkat
macetnya Jakarta...” Aina tersenyum sinis.
“Makan
dulu, Ai?”
“Solat
dulu-lah, biar segeran dikit.”
“Aku
lagi nggak, kalo gitu aku duluan ya? Laper banget nih...” Fika memelas.
“Yaudah,
sana...”
Aina
memutuskan untuk berjalan sedikit ke arah mesjid umum yang jaraknya tidak
terlalu jauh dari sana. Merasa akhir-akhir ini emosinya terlalu tidak stabil,
Aina memutuskan untuk lebih khusyuk bersimpuh dan mengadu pada Penciptanya.
Baru
selesai membuka heels nya, dan ketika beranjak dari tempat duduknya ponsel Aina
tiba-tiba berdering mengaggetkan. Hanya tiga dering, lalu berhenti.
Penasaran,
Aina mengecek siapa yang misscall.
Lagi-lagi,
nomor tidak dikenal. Lalu sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.
‘Lagi
ngapain? Udah makan?’
Seketika
Aina ingin mencampurkan adik kesayangannya itu ke dalam adonan bakso. Pasalnya tidak
bisa dihitung lagi, berapa kali adiknya telah memperjual-belikan nomor Aina
kepada teman-teman sekolahnya yang tertarik padanya.
“Astagfirluloh...”
Aina menghembuskan nafas pelan dan berat. “Punya adik pinter banget...”
lanjutnya bergumam. Dilihatnya lagi pesan itu, lalu dia bergidik.
“Subhanallah...
apa emang cowok zaman sekarang begini semua? Gak to the point”
“Gak
semua, Mba...” tanpa diduga, cowok di sebrang yang cukup jauh darinya
berkomentar.
“Eh?
Denger, Mas?”
“Kedengeran,
Mba...” katanya langsung diikuti senyum simpulnya.
“Maaf
ya kalau tersinggung. Tapi sebagian besar cowok yang saya temuin begitu semua.”
Aina melirik sebentar ke arah orang itu, tapi orang itu hanya menatap menunggu
Aina melanjutkan penjelaskannya. “Maksud saya, udahlah... nggak bisa apa ‘tembak’
cewek langsung? Kalau bisa nikah langsung, nggak bisa apa? Atau nggak berani?”
“Nikah
yuk, Mbak?” senyum di bibirnya masih ada di sana. Tidak kata-kata dusta setelah
itu, dan keduanya masih terdiam.
“Jadi?”
tagih orang itu yang tiba-tiba sudah berada di depannya.
“Hah?”
Aina kehilangan 50 persen keceradasannya setelah kalimat sakral tadi. “Ja-jangan
bercanda, Mas...” katanya tertunduk malu.
“Saya
serius. Hari ini ba’da ashar saya kirimin CV saya.” Melihat Aina salah tingkah,
akhirnya lelaki itu menambahkan. “Kalau mba bersedia, saya tunggu ba’da Ashar
di sini...” baru beberapa langkah setelah mengucap salam,
dia berhenti dan berbalik, “Jangan lupa sholatnya, Mba.” Lalu pergi setelah
kembali mengucap salam seraya tersenyum dengan penuh percaya diri.
Dan ketika keinginanmu datang saat itu juga,
apa kamu siap?
Perkataan
seorang teman menggema begitu saja di kepala Aina.
FIN
----
Sungguh fiksi yang aneh.
Yang penting selese deh :D
Wakakakakak. Siapa tuh Mas-masnya?
ReplyDeleteHihihi... Oke Zu fic-nya. Ru ga sempet
merhatiin tanda bacanya sih, tapi oke kayaknya.
Anyway, emang 'biduan' apaan Zu? Hayooo
*cek KBBI*
DeleteOh, oke... salah u, biduan itu penyanyi... *catet*
Serius ini ngga ada 'cacat tulisan' yang fatal? Yeaaaahhh....
Mas-masnya? Saya juga ngga tau, itu hanya imajinasi aja... Kurang tau tuh beneran terjadi ngga di dunia nyata... Wakakaka
Wow Mbak Zu...
ReplyDeleteEndingnya itu...
Iya Talli, kenapa? Wakakaka
DeleteGantung ya... *lalukemudiannyanyiGantung-nyaMellygoeslaw*
guw juga belom nikah kok zu..hahahhaa #pukpuk
ReplyDeleteMakanya nikah, Jah, bia gak sensi... wakakaka *ngaca*
DeleteKajuuuuu~ Endingnya bikin merindiiiiing~ XDD Hahahhah
ReplyDeleteKenapa emangnya Re? Berasa digituin ya...
DeleteJawab apa Re, kalo ada yang langsung 'tembak' gitu? Wahahaha *survey*
Ini bagus loh. Endingnya terutama. Gue kebawa sama ceritanya, hahahaha. Dan emang di masa-masa sekarang beneran males deh ngeladenin cowok-lagi-ngapain :p
ReplyDeleteYang kebawa gitu biasanya pernah mengalami, Na. Wakakaka
DeleteEmang ya kalau dibuat yang setengah pengalaman pribadi dan pake mood sendiri lebih berasa. xDD
Zuu, endingnya koq kereeen! Gw ngebayangin itu di Summitmas, jaman2 kerja di JF. Adawww, sweet bangettt. Lanjutin dah bikin kumcer brg Saa dan Nana.
ReplyDeleteBanyak yang bilang endingnya bagus dan keren ya, padahal dibalik itu semua, itu ending sengaja digantung karena penulisnya stak, Miii... Wakakaka
DeleteWah, dapet support... jadi tertarik buat bikin kumcer beneran xD
Zuu,, lanjutin donk...
ReplyDeleteItu ngena bangett...
Mantabbhhh.. ka Zu,
ReplyDeleteKalimat yang dicetak miring terakhir itu...