Wednesday, July 29, 2015

[Tantangan Menulis EMIB] Hidup Yang Sempurna

KZL, GMZ, SBL!!!

Aakkkk, gara-gara note hape yang angot entah kenapa, dua kali nulis di hape panjang-panjang eh... keapus. Perfect banget nggak sih. Jadi males nulis lagi dan ngepost di grup watsap. 

Yah, emang sih telat dari jam deadline, tapi tadinya pengen tetep ngeposting di sana biar keliatan konsist dikit. Apa daya, hati sakit dipermainkan HP!! Langsung buka laptop dan ngetik ulang. Lumayan ada yang tulisan yang di-post di blog, sekalian setoran yang udah sering banget absen. 

Di bawah ini yang bakal saya posting adalah tantangan menulis dari EMIB atau Mba Depi. Kalo mau tanya singkatan EMIB tanya aja Cici ya... xD

Cekidot!!


Hidup Yang Sempurna

"Selesai!"
Seorang gadis remaja kelas 2 SMA memekik senang dan mengangkat tinggi-tinggi salah satu kertas rancangannya. 
Rancangan untuk membuat kamar pribadinya. Rancangan yang lainnya adalah rancangan untuk rumahnya.
Rancangan ini tidak memiliki banyak arsitektur berarti, atau sudut-sudut indah lainnya. Rancangan ini menitikberatkan pada isi dalam kamar atau rumah idamannya.

Ya, gadis ini sedang bermimpi. Bermimpi dikelilingi oleh fasilitas yang lengkap.

Kaena beberapa rumah teman yang dia singgahi, memicu pikirannya untuk membuat rumah dan kamar impian. Mimpi itu muncul begitu saja dan menjadi ambisi baginya.

Hidup yang sangat sederhana tidak jarang membuatnya iri. Iri pada teman-temannya yang memiliki hidup yang lebih baik darinya. Tidak jarang pula dia mengharapkan ada di posisi yang sama.
Membuatnya sering berpikir, "mungkin dengan peralatan yang lengkap, dia bisa menjadi juara kelas" atau "mungkin dengan peralatan lengkap dia bisa menjadi lebih menarik di antara teman-teman wanitanya, dan bisa mendapatkan cinta yang dia inginkan." 
Tapi apa daya, hidupnya memang tidak sesempurna yang dia pikirkan.

--

Pagi selanjutnya gadis itu, Yani, tidak berniat untuk sekolah. Hari-harinya habis digunakan untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting karena rasa iri yang terus kian berkembang, dan malangnya pikiran itu tidak pernah lepas darinya.

Misalnya saja, hari ini dia tahu Chika teman sebangkunya akan pamer benda pemberian dari kakaknya yang baru pulang dari luar negeri.
Atau Doni si cerdas yang mengerjakan tugas esai geografinya di laptop dengan materi presentasi power point yang sangat menarik.
Atau, Kina yang akan kembali membandingkan merk tas milik Yani dengannya.

Yani duduk di tepi mesjid yang cukup jauh dari sekolahnya. Melihat dua anak kecil dan ibunya sedang mencuci tangan di tempat wudhu.

"Sudah Nak?"
Anak-anak berpakaian lusuh itu mengangguk. Sang ibu yang membawa kantong plastik dan buntalan kain tersenyum lembut kepada dua anak itu.

"Sebelum makan, baca doanya dulu ya..." sang ibu menyodorkan kantong plastik putih ke depan anak-anak yang memandang dengan penuh napsu.
Namun, anak-anak itu mengurungkan niat mereka untuk membuka plastik itu dengan segera, dan mendahulukan doa. Saat akan mulai makan, tatapan sang ibu bertemu dengan Yani.

"Kakak, mau makan bareng?" Tawarnya. Yani tersentak dan buru-buru menggeleng.

"Terima kasih Bu. Sudah tadi di rumah."

"Kakak nggak sekolah?" Yani menggeleng lemah. 
Merasa tidak enak bertanya-tanya sang ibu terdiam sebentar dan melanjutkan acara makan-makannya dengan kedua anak itu.

"Ibu.... tinggal dekat sini?" Kini Yani yang memulai. Dijawab dengan gelengan dan disertai senyum oleh ibu itu.

"Jauh, Kak. Dekat bantaran kali sana..." sulit untuk mengingat nama kali yang dia maksud, karena itu si ibu memilih untuk menggantung kalimatnya. 
"Gubuk kecil kami sebentar lagi akan digusur..." Ada tawa lelah yang dimunculkan di wajahnya.

"Gimana sekolahnya adik-adik ini?" gurat kekhawatiran terlihat di wajah Yani.

"Mereka tidak sekolah. Sesekali saja ibu mengajarkan apa yang ibu bisa..."
setelah menyelesaikan makanan yang ada di mulutnya, dia meneruskan kalimatnya kembali, "Jaman sekarang semua serba sulit... Kakak harus sekolah yang rajin ya, nggak banyak yang beruntung kaya kakak mendapatkan pendidikan."

"Yang mendapatkan kesempatan juga tidak seberuntung itu, Bu. Banyak di antara teman-temanku yang 'terlantar' di sekolah..." Yani menertawakan dirinya sendiri. "Pendidikan yang layak hanyalah buat mereka yang mampu..." lalu menghela napas berat setelah mengatakan "Beruntungnya mereka..."

"Nak," Panggilan sang ibu kian lembut, "...masing-masing kita memiliki kekurangan. Bohong kalau hidup seseorang itu ada yang sempurna. Tidak, kebahagian itu tidak melulu soal materi dan tidak akan abadi. Dia berputar, Nak..."
Sang ibu menyelesaikan makannya dan segera menatap Yani dalam-dalam.

"Bagi ibu, hidup yang sempurna adalah ketika kita menyadari bertapa kita kaya raya memiliki anggota tubuh yang lengkap. Kita bisa mengusahakan apapun untuk bertahan hidup dengan kondisi sempurna ini... meski sebenarnya kehidupan yang kita jalani tidak semudah itu."

Betapa malunya Yani mendengarkan kalimat seperti itu keluar dari seorang yang--bahkan--lebih tidak beruntung darinya. Sang ibu masih bisa tersenyum dan bersyukur atas apa yang dia miliki sekarang. Nuraninya tidak bisa berbohong, bahwa dia menyetujui apa yang dikatakan ibu setengah baya yang tidak jauh duduk di sampingnya.

Materi yang dia nilai selama ini adalah akibat cara pandang yang salah darinya. Si ibu telah memberikan makna baru pada kata 'sempurna' yang dia yakini. Kini hidup yang sempurna baginya memiliki arti yang berbeda bagi Yani. Yaitu, cara pandang seseorang dalam mensyukuri nikmat yang diberikan Sang Khalik kepadanya.

Melihat anak-anak yang telah selesai makan dan mencuci kembali tangannya, Yani tertegun ketika menyadari anak-anak itu melanjutkannya dengan wudhu.

"Kak, mau sholat dhuha bareng?" Tanya si sulung. Wajahnya semakin merunduk dan malu pada dirinya sendiri. Tepukan pelan di pundak Yani menenangkannya. Si ibu tersenyum seraya berkata, "Dan, memiliki anak-anak yang sholeh dan sholeha adalah kesempurnaan lain yang diberikan Sang Khalik, sebagai seorang ibu."

Yani tersenyum dan mengangguk setuju.

~

Zu. 
29.07.2015

No comments:

Post a Comment