Thursday, July 30, 2015

[Fiction] : Permulaan (Remake)

Okeh, satu lagi deh nih. Hasil remake-an. Tapi nggak usah dibahas tantangan yang dibawah ya, uda nggak berlaku lagi. Nggak berhasil. Nggak sesuai target, err...

Udah, Cekidot~
--
Sebuah Flashfiction untuk memenuhi tantangan Ruru 'Membuat Flashfiction Tiap Hari' akan saya persembahkan. Sebuah Flashfiction berdasarkan bukan dari cerita nyata dan hanya rekayasa. Semoga sedikit 'colongan' di FlashFiction ini tidak mengganggu.



"Permulaan"


Q : Kalian tahu? Dari mana datangnya cinta?

Aku mematut diri di cermin. Bersolek seminimal mungkin, agar tidak terlihat terlalu bersemangat untuk yang satu ini. Bagaimanapun aku adalah anak kelas 3 SMP yang masih belum pantas bersolek terlalu mencolok.

A1 : Awalnya, cinta itu dari mata turun ke hati...

Begitu ya? Berarti cinta itu hanyalah penampilan semata. Iya, kan?

A2 : Tidak. Cinta itu, dari benci baru cinta...

Hmm... Lalu aku harus mencari musuh dulu untuk bisa mencintai seseorang?

Bagiku, cinta yang lebih rumit dari matematika dan lebih susah dari bahasa inggris itu datangnya dari musik.

--

Alunan musik jazz mengalun indah dari ponsel milik orang yang berada di depanku.

"Gak diangkat, Kak?"

"Emangnya boleh? Kamu juga pasti akan menghentikanku sebelum aku mengangkatnya. Kamu suka lagunya kan?"

"Hehehe, yu no mi so wel, Kak." Alunan musik yang lembut dengan ritme-ritme unik mengalun dan memanjakan telingaku. Intro dari  Something about us-nya Daft Punk.
Dan setelah beberapa lama, musik itu berhenti.

"Yah..."

"Ya masa aku suruh orang neleponin aku terus? Lagi pula sekarang kita sedang belajar tau!'' Telunjuknya menoyor keningku dengan gemas. Dan hanya bisa kubalas dengan merengutkan alisku.

Selain berprofesi menjadi guru privatku, kakak ganteng yang satu ini juga mengisi event-event musik jazz bersama bandnya.

--

Awal pertemuanku dengannya memang sebuah kebetulan. Tidak bisa diprediksi seberapa jauhnya hubungan itu akan berlanjut. Tapi takdir berkata lain.

Menjadi anak hilang di acara Jazz terbesar di Senayan, membuat Kak Yunus iba dan tidak bisa meninggalkanku.
Aku bohong padanya ketika aku bilang bahwa aku kehilangan tiket nonton acara itu, lantaran untuk pergi ke sana aku harus kabur dari rumah dulu. Tapi aku benar-benar beruntung bertemu dengannya yang punya koneksi orang dalam di acara itu. Kak Yunus meminta temannya memberikanku akses masuk.

Setelah main kucing-kucingan dengan Mama, Papa dan polisi di telepon, akhirnya tanpa mengurangi rasa bersalahku kepada Kak Yunus, aku menyerahkan diri. Pukul 21.00 aku minta diantar Kak Yunus ke depan gerbang utama pintu Senayan.
Dan Kak Yunus terbengong dengan sempurna, melihat beberapa polisi sudah siaga di depan sana.

Kengerian di wajahku semakin bertambah ketika para polisi menggiring Kak Yunus seperti penjahat.
Ibu yang mengetahui situasinya hanya dengan melihat wajahku, saat itu langsung mengambil tindakan.
"Ah, Pak Polisi, maaf. Ini guru lesnya anak saya. Saya tidak tahu ternyata anak ini keluar bersamanya..." Kata ibuku dengan akting penyesalannya yang tidak cacat sedikitpun.

"Apa? Guru les? Kenapa ibu tidak mengkomfirmasikan dulu sebelum menghubungi polisi..." Polisi itu terlihat kesal.

"Maaf Pak..." Hanya itu yang diucapkan ibuku. Dan kini gantian ayahku yang terbengong-bengong hebat.

Lalu dengan ajaib tiba-tiba saja, Ibu menjadikan Kak Yunus sebagai guru privatku sungguhan. Di luar dugaanku, kini aku bisa lebih sering lagi bertemu dengannya.

--

"Ini sudah harga mati, kalau not only pasangannya but also."

"Seperti aku berpasangan dengan Kakak ya? Itu sudah harga mati, hehehe"
Banyak di antara teman-temanku mengatakan, kalau aku ini terlalu agresif. Hmm... menurut kalian juga begitu?

Yah, mau bagaimana lagi, tiba-tiba saja perasaanku kepadanya berkembang pesat seperti ini. Perasaan yang tahapnya 'tidak pernah ingin lepas darinya dan selalu ingin mendengar suaranya'.

"Iya deh, terserah kamu." Responnya.

Tapi kalian setuju, kan, kalau kubilang dia ini terlalu baik?
Selalu memaklumi kata-kataku dan tak pernah marah. Membuatku tergoda untuk terus meledeknya.

Atau... bisa saja, kan, Kak Yunus juga menyukaiku. Waaaa~

"Katanya minggu depan Kakak show di Plaza Senayan? Acara apa ka?" Menginterograsinya saat belajar adalah tujuanku yang sebenarnya.

"Selesaikan soal-soal itu dulu, baru akan kukasih tau." Tapi selalu gagal.

"Ihh, gak asiik!"

Dadaku menghangat ketika berada di dekatnya. Terkadang detak jantung itu tidak beraturan. Dan ketika berada jauh darinya aku sangat merindukannya, membuatku sangat resah.

Begitukah cinta? Kalau benar begitu, berarti cinta itu memang aneh. Perasaan yag membingungkan.
Tapi meskipun begitu, perasaan ini sangat menyenangkan.

Tiba-tiba aku ingat perkataan dari salah satu sahabatku Fika, kalau "Cinta itu harus dinyatakan, kalau dipendam saja nanti akan tumbuh jerawat"

Konyol! Siapa yang percaya akan hal itu?

Aku rasa hanya orang-orang yang kuno saja yang percaya akan hal itu. Kita ini kan hidup di zaman modern dan dilengkapi teknologi canggih. Untuk bisa menghilangkan segala bentuk jerawat yang datang tanpa diundang itu persoal mudah.

Lalu buat apa harus takut? Benar kan?

Kembali aku mematut wajahku di cermin...

"Okeh, besok minggu depan akan kunyatakan perasaanku."

--

Hari ini Kak Yunus akan tampil di sebuah café kecil. Memang bukan event yang besar, tapi pastinya itu cukup membuatnya terlihat keren.
Aku sudah memutuskan ini akan menjadi hari yang terpenting dalam hidupku.

Ketika tekadku sudah bulat, ternyata masih ada satu masalah yang menghadang. Karena acaranya terlalu malam, orang tuaku tidak mengijinkanku ke sana.

Dalam situasi seperti ini, barulah aku merasa beruntung sekali mempunyai sahabat seperti Banyu. Sahabatku dari kecil yang selalu disayang oleh orang tuaku, karena prestasinya. Ditambah lagi usianya yang lebih tua tiga tahun lebih tua di atasku, membuat anak itu selalu bersikap superior terhadapku.
Huh, menjadi jenius memang keuntungan baginya, tapi sikap menyebalkan miliknya selalu menjadi nilai minus di mataku.

"Lo harus ingat, berapa banyak punya hutang budi pada gue!"
Cih, beruntungnya dia, karena hari ini mood-ku sedang bagus. Aku meninggalkannya tanpa mengacuhkannya.

Derap langkahku menghiasi lobi sebuah cafe yang bernuansa minimalis romantis itu. Tapi entah kenapa suasana begitu mencekam ketika aku masuk ke bagian dalam ruangan. Suara microfon berderit sebelum mengeluarkan suaranya.

"... Seorang gadis yang aku minta untuk menjadi cahaya dalam hidupku..." Hm? Suara itu sepertinya sangat familiar.

"... untuk menjadi tempat berbagi... dan kuharap dia adalah tulang rusukku yang hilang..." Dadaku berdenyut sakit. Sesak. Seperti berada di ruangan yang begitu sempit, yang membuatku sulit untuk bernapas.


Dari mana awal mulanya cinta?


"Yasmin, maukah kau menikah denganku?" Suara Kak Yunus agak bergetar, namun aku bisa merasakan betapa seriusnya ketika dia mengutarakan hal itu. Ada seorang wanita yang duduk di deretan paling depan, dia mulai menangis terisak dan menggangguk berkali-kali. Menandakan kalau dia menerima lamaran Kak Yunus.

Hancur.
Seperti dihantam deburan ombak di Pantai.
Seperti ada tusukan benda tajam yang tepat mengenai jantungku.
Seperti sebuah gulungan kertas menghantam kepalaku.

"Aw!" Aku mengaduh sakit. Ternyata pukulan kertas itu nyata. Banyu, dengan wajah kesalnya, memukulkan gulungan kertas itu kepadaku.

"Sakit, tau!"

"Gue rasa waktu kita sudah habis. Ibu lo nelepon, dan sepertinya kita udah ketahuan. Jangan coba-coba mengotori 'cap anak baik' milik gue, ya! Ayo pulang."

Aku terlalu naif karena tidak pernah berpikir kalau dia sudah memiliki kekasih.
Aku terlalu naif untuk mengira Kak Yunus menyukaiku.
Aku... terlalu... akhhh...!
Bodohnya aku...

"Banyu... aku... mungkin akan membuatmu repot lagi..." Kataku yang masih terpukul dengan apa yang baru kulihat barusan.
Mataku mulai perih. Airmata sudah siap untuk menjatuhkan dirinya. Dan aku tidak yakin kapan airmata ini bisa berhenti mengalir.

Selesai semua. Tidak ada lagi tempat buatku di hati Kak Yunus. Tidak ada lagi cerita tentang aku dan dia. Bahkan, tidak juga sebagai guru dan murid.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan nasib nilai-nilaiku.

Pikiranku campur aduk. Perasaanku campur aduk.

"Lo akan terus berhutang budi pada sama gue, paham?" Banyu mencubit kedua pipiku, seraya pergi masuk ke dalam mobil. Selang beberapa lama kaca mobil terbuka dan menampakan Banyu yang sudah siap berada di belakang kemudi.

"Mulai besok, sepulang sekolah gue akan ngajarin lo tanpa ampun!" Aku tercengang melihatnya. Seakan mengetahui apa yang aku pikirkan dan apa yang aku rasakan, semua kata-kata Banyu membuatku sedikit lebih tenang.

Meski terlihat kesal, semu di wajah dan perasaan lega milik Banyu terlihat penuh arti di mataku.

Hei, mungkinkah awal cinta itu datang dari akhir cerita?

Fin~


A/N : Okeh, memang cerita gue absurd abis. Kebanyakan baca komik dan nonton pelem kayanya. Salut juga buat Ruru yang cape-cape ngedit semua tulisan amburadul ini dulu.
Gue bahkan sampe sakit kepala harus nge-remake cerita ini tanpa mengubah ceritanya. Ini aja gue perhalus scene-nya dan alurnya doang. Gue harap sih jauh lebih baik dari yang aslinya.

Kalo masi aneh, ya... apaboleh buat. Beginilah adanya *pundung*

No comments:

Post a Comment