Cinta Pertama.
Gue gip-ap setelah mikir panjang tulisan
dengan tema ini. Pengen gue tulis tentang pengalaman orang lain, gue nggak
kepikiran siapa-siapa. Pengen gue bikin cerita fiksi bikinan tetep nggak
kepikiran apa-apa. Akhirnya gue memutuskan buat bikin cerita based on my story (garis besarnya sih) dengan permakkan
sedemikian rupa.
Cekidot!
Cinta Pertama.
Aku bingung bukan kepalang, bukannya pelajaran
Bahasa Indonesia itu sudah cukup kita pelajari dari SD sampai SMA ya? Sampai 12
tahun lho... Itu nggak sebentar, ih!
Terus kenapa juga masuk bangku kuliah aku
mesti ketemu lagi?
“Buat ngelempengin bahasa Alay lo yang semakin
parah di SMA...” Anita memukul kepalaku memakai selembar kertas fotokopian miliknya.
“Gue nggak Alay ih!” Anita dengan sigap
memainkan ponselnya dan membuka foto profil Fbku. Foto yang kuambil hanya
sekitaran wajah dengan sudut kemiringan 45 derajat di atas kepala.
Lalu aku pun bungkam.
Pasalnya aku sering menjuluki anak-anak yang berpoto demikian sebagai anak alay. Entah aku khilaf atau apa mengganti poto FBku semalam dengan gaya yang seperti itu.
Pasalnya aku sering menjuluki anak-anak yang berpoto demikian sebagai anak alay. Entah aku khilaf atau apa mengganti poto FBku semalam dengan gaya yang seperti itu.
“Ya, tapi kan nggak mesti ada tugas kaya gini
dong?” Alasanku tidak suka bahasa Indonesia sebenernya karena ketakutanku pada tugas atau materi yang berbau puisi dan kawan-kawannya. Disinyalir bahwa dosen bahasa Indonesiaku
ini adalah seorang pujangga. Menurut beberapa fakta, beliau sering kali menggaungkan
lantunan-lantunan syair ketika kuliah sedang berlangsung.
Dan entah kenapa aku merasa nasib buruk terlalu setia kepadaku.
Minggu lalu dosen itu memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk membuat puisi dan membacakannya langsung di depan kelas.
Minggu lalu dosen itu memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk membuat puisi dan membacakannya langsung di depan kelas.
“Anggap aja ini sebuah tantangan, Lir.”
“Mending disuruh naik gunung lah, Nit.” Aku
mendengus kesal. Namun setelah itu Anita tidak menghiraukan kicauanku. Dia hanya
fokus pada hapalan puisinya.
“Nit, yaelah... bikinin dong.”
“Gocap sinih.”
“Matre luh.” Aku mendorong pundaknya pelan.
“Lagian bikin aja susah banget sih, Lir. Asal
aja lah.”
“Masalahnya, temanya ‘Cinta Pertama’... mau
nulis apa cobaaaa?”
“Oiya, lo nggak pernah jatuh cinta yak. Gue
lupa.”
“Sialan! Sering ihh...” Aku keceplosan.
“Oh iya, gue lupa lagi. Penyakit lo kan sering
banget naksir orang yaah...”
Semakin dipikir, meladeni Anita bicara itu
lebih menyusahkan daripada bikin puisi, karena itu aku memutuskan untuk mulai memutar ulang memoriku daripada meladeninya. Mulai mengingat kapan pertama kalinya jatuh cinta.
**
Saat SMA? Ah nggak, kelas dua SMP! Aku suka sama temen
sepermainanku. Kita sering nonton kartun Jepang dan menceritakan kembali ceritanya dengan antusias keesokan
harinya saat bertemu.
Eh, tunggu.
Saat dulu aku mengaji di Madrasah dekat rumah, aku ingat aku pernah menyukai
kakak kelasku. Dia bernama Sigit. Dia terlihat pintar dan paling sholeh di antara
teman-temannya, meski badannya tergolong pendek, wajahnya cukup lumayan. Umur
berapa saat itu ya?
Kelas empat SD? Berarti umur 10 tahun....
Ah!
Kelas tiga SD aku juga pernah suka Bayu. Dia adalah anak kelas 3
yang tidak naik kelas tapi memiliki wajah yang lumayan oke ketimbang
temen-temennya. Dia bandel, tapi terkadang dia bersikap manis kepadaku.
Tunggu, tunggu.
Saat kelas satu SD, aku, si murid pindahan,
sering dikerjai teman-teman sekolahku. Lalu ada seorang temen sekelas yang selalu melindungiku dan membelaku, dia seperti kakakku. Tidak jarang aku menangis karena keusilan teman-temanku, tapi dia terus memperlakukanku dengan baik. Mm... siapa ya nama orang itu? Yang jelas, aku menyukainya. Sepertinya dia cinta pertamaku deh.
Eh? Salah.
Aku sepertinya salah.
Sebelum aku pindah sekolah, aku tinggal di
Desa Sukamaju. Dan di desa itulah aku rasa aku menambatkan cinta pertamaku.
Tidak salah lagi.
Namanya Made. Atau aku memanggilnya Kak Made. Seingatku dia hanya setahun
lebih tua dariku. Berasal dari Bali dan warna kulitnya putih bersih. Aku rasa
orang tuanya campuran, maksudku salah satu orang tuanya mungkin asli orang
asing. Itu hanya pikiranku saja sih.
“Di sekolah ini, kayanya Kak Made yang paling pintar...”
“Anak kelas dua yang cakep itu ya?”
“Oh, anak kelasku juga banyak yang suka tuh.”
Omongan teman sepermainanku saat di sekolah. Saat itu aku sedang jajan,
membeli beberapa snack favoritku. Penasaran dengan yang namanya Kak Made, aku
memutuskan untuk melihatnya ketika diadakan upacara hari senin nanti.
Saat hari senin datang, aku bergegas menemukan tempat yang paling oke
untuk bisa melihat barisan anak kelas dua.
“Itu dia...” gumamku. Setelah memastikan nametag yang terpasang di dada
Kak Made.
Sepertinya benar apa yang dikatakan teman-teman, Kak Made itu tipe
anak-anak yang layak untuk masuk acara anak beken seperti Cilukba dan
menggantikan Messy yang selalu disama-samakan denganku. Ups, aku bukan sedang
memuji diri sih... Hahaha
Entah ada magnet apa, rasa suka itu membuatku
mencari sosok Kak Made terus menerus. Tapi tidak seperti teman-teman lain, yang
juga menyukai Kak Made, aku terlalu malu untuk mendekatinya atau bahkan
menyapanya sekalipun.
Memangnya siapa aku? Aku ini hanya orang yang tidak pernah diketahui
keberadaannya. Tapi anehnya, hanya mengetahui keberadaan Kak Made membuatku
merasa bahagia dan nyaman.
Setelah mengawasi Kak Made sekian lama, aku juga tau seperti apa wajah
ibunya, yang kadang menjemputnya. Ibu Kak Made sangatlah cantik, tapi dia bukan
orang asing.
Mungkin yang orang asing adalah ayahnya? Pikirku, masih keukeuh.
Lalu suatu hari, aku teledor melupakan bekalku. Sampai ibuku
harus susah-susah membawakan bekalku dari rumah. Untungnya jarak rumah ke
sekolah tidak terlalu jauh. Jadi ibuku masih mau mengantarkan bekalku. Kalau
jauh? Haha. Mungkin dia menyuruh anaknya untuk ngutang dulu di kantin buat
makan siang.
Kembali lagi ke bekal. Setelah mengantarkan bekalku, ibuku terlihat
berhenti dan bercengkrama dengan sesorang di depan pintu gerbang sekolah.
Penasaran siapa teman ibu itu, aku menegaskan penglihatanku. Dan kenyataan
menamparku begitu kuat.
Ibu Kak Made dan ibuku sedang berbincang.
Mereka mengobrol dengan sangat akrab. Kalau aku yang sekarang, tentunya akan berpikir sampai sejauh itu. Iya, sejauh-bahwa-mereka-adalah-sahabat-lama-yang-bertemu-di-sekolah-anaknya-dan-dulu-sebelum-menikah-mereka-berjanji-untuk-menjodohkan-anaknya-ketika-sudah-besar-nanti.
Mereka mengobrol dengan sangat akrab. Kalau aku yang sekarang, tentunya akan berpikir sampai sejauh itu. Iya, sejauh-bahwa-mereka-adalah-sahabat-lama-yang-bertemu-di-sekolah-anaknya-dan-dulu-sebelum-menikah-mereka-berjanji-untuk-menjodohkan-anaknya-ketika-sudah-besar-nanti.
Tapi aku di kala itu hanya berpikir, ternyata Ibunya Kak Made adalah
teman ibuku. Mungkin suatu hari ibu akan main ke rumah ibu Kak Made.
Membayangkan hal itu membuatku bersemangat.
Pulang sekolah aku berlari
ke rumah dengan tergesa dan segera mencari ibu di dapur.
“Ibuuuu...” Aku memeluk pinggul ibu dari belakang.
“Ibu kenal sama ibunya Kak Made?”
“Made? Oh, Maksudmu I Gede Made Ganesa? Anaknya Yurika?”
“Tante Yurika ya...” Aku mengangguk dengan antusias.
“Kamu kenal anaknya? Dia kakak kelasmu ya?”
“Iya, Kak Made pintar dan banyak yang suka.”
“Iya, anaknya Yurika itu perpaduan yang oke dari Yurika dan suaminya.”
Ibu terlihat mengingat kembali akan masa-masanya bersama tante Yurika.
“Ibu nggak main ke rumah tante Yurika itu?”
“Oh, iya. Habis catur wulan ini tante Yurika bakal balik lagi ke Bali,
jadi ya...”
“Apa?” aku terlihat sangat kecewa saat itu. Mungkin hal itu juga bukan hal
yang biasa di mata ibu, sehingga ibu menanyakan kenapa responku seperti itu. Saat
itu aku tidak terlalu ingat apa lagi yang aku katakan dan lakukan setelah itu.
Yang aku ingat hari demi hari, aku hanya bisa melihat Kak Made dari
jauh dengan kesedihan yang mendalam. Aku melihat Kak Made bermain
dengan riang di lapangan dengan teman-temannya. Sedang aku hanya bisa bertopang dagu, memandang punggunya dengan mata letihku, dan beberapa kali menghela napas panjang.
Cinta pertamaku begitu menyakitkan. Rasa manis sebentar kemudian pahit terasa. Seperti es sirop yang terlalu banyak pemanis buatan dan bahan pewarna. Meninggalkan rasa yang tidak enak di lidah.
Cinta pertamaku begitu menyakitkan. Rasa manis sebentar kemudian pahit terasa. Seperti es sirop yang terlalu banyak pemanis buatan dan bahan pewarna. Meninggalkan rasa yang tidak enak di lidah.
Mungkin waktu kecil dulu aku tidak bisa mengungkapan perasaanku dengan
jelas. Tidak tahu sesakit apa, tidak tahu sepahit apa rasa itu. Yang jelas aku
ingat adalah perasaan tidak suka akan perpisahan.
**
“... Ra, oi Lira!!” Anita mencubit lenganku dengan sangat kencang. Aku
terbangun dari lamunanku.
Jam kuliahku berlalu begitu saja, mata kuliah Filsafat yang membuat
pusing kepala itu biasanya aku pakai buat melamun atau tidur di kelas. Makanya
aku dan Anita selalu datang pertama ke kelas dan mencari bangku kedua terakhir.
Di situ adalah tempat yang paling aman untuk melancarkan semua kegiatanku.
Tanpa sadar aku telah menghabiskan waktu kuliahku untuk memutar kembali
ingatanku. Tapi berkat hal itu aku mendapatkan ide untuk menuliskan puisi yang akan
aku bawakan pada mata kuliah Bahasa Indonesia nanti.
“Nit...” aku memanggil Anita yang sedang membereskan barang-barangnya
dan memasukannya ke dalam tas. “Ide gue buat puisi kali ini akan melow banget
kayanya...”
“Oyah?” Anita melirik aku sebentar, dan kembali menyelesaikan
beres-beresnya.
“Bener ih!”
“Tentang apa sih?” tanya Anita penasaran, kali ini dia sudah rapih
dengan tas yang sudah dia gembloknya.
“Tentang perpisahan dengan cinta pertama.”
“Duileeh, melow banget nih romannya. Cinta pertama pas kapan tuh?”
“Pas gue kelas satu SD, jadi ceritanya...”
“HAH? Kelas satu SD!?” Anita teriak di depan telingaku tanpa memikirkan
gendang telingaku yang mungkin saja rusak karena teriakannya.
“Duh... Kenapa sih?” kataku sambil mengusap-usap telingaku.
“Yang bener aja, lu kelas satu SD udah suka sama orang? Punya perasaan
dalem gitu? Bahkan lo melow-melowan pas kalian pisah?” Anita memastikan kembali
apa yang dia dengar dariku barusan.
“Iya, emang kenapa sih?” tanyaku balik penasaran.
“Gila lo! Kecilnya nontonin sinetron mulu kali ya? Jaman kaya gitu tuh
harusnya lo lagi asyik-asyiknya main bareng temen-temen lo, terus main
peper-peperan ingus pas lagi pilek.”
“Ihh...” aku malah geli dengan deskripsi Anita barusan.
“Lah elu, kecil-kecil udah baper-baperan gitu,” lanjut Anita mengambil
tas eco bag-nya di meja sebelah. Saat
dia beranjak pergi, aku menghentikan gerakannya dengan menarik tangannya.
“Ih, bentar dulu kali Nit.” Kali ini aku bermaksud untuk melakukan
pembelaan. “Gue juga menikmati masa kecil gue dengan main bareng-bareng sama
temen gue kali,” lanjutku.
Anita hanya mengangguk-angguk mengiyakan ceritaku.
“Gue inget kok, gue punya temen deket banget waktu TK. Namanya Ari. Dia
saingan belajar gue di TK, gue punya temen yang lain sih... Kayak si Riris, Ian
sama Indah. Tapi gue paling deket sama Ari... terus...” tiba-tiba ingatanku
terpental sangat jauh.
“Iya, Lir. Iya... Gue percaya, nggak usah dibahas lagi. Ayo pulang.”
Gantian Anita yang menarik tanganku untuk keluar kelas. Namun lagi-lagi aku
menghentikan gerakan Anita.
“Bentar, Nit. Kayanya gue dulu juga suka sama Ari deh...”
“Hah?”
“Iya. Gue inget, gue lebih menyukai Ari daripada temen-temen gue yang
lain. Gue seneng kalau Ari udah ngajak gue main di rumahnya... Kayanya cinta
pertama gue Ari deh, Nit...”
“Terserah lo, Lira. Gue mau pulang,” kata Anita setelah menghela napas
panjang. Pergi bgitu saja meninggalkanku di belakang.
FIN~
Yahhh kirain bakal dipost puisi cinta pertamanya :p
ReplyDeleteWakakakakak jangan berharap banyak Din...
DeleteItu hal yang mustahil xD
tau gitu tantangannya bikin puisi cinta aja deh XD
DeleteNamanya ada Ari juga. Kok sama yah? Dia anak Pak RT bukan?
ReplyDeleteKaynya dia anaknya Pak RT deh...
DeleteRambutnya lurus, matanya sipit bukan?
Wakakaka
Numpang ngakak Qaqa. Wkakakka
ReplyDelete