Thursday, June 23, 2016

[Fiction] CLUMSY WITCH

Sebenernya, postingan gue kali ini berpotensi ada lanjutannya. Masih belom yakin, mari kita liat aja gimana ke depannya.

Cekidot?


CLUMSY WITCH


Hah! Bagaimana? 
Cukup menakutkan kan? 
Aku yakin dengan pindahnya aku ke rumah pohon ini, akan memperkuat aroma mistis yang ada di sekelilingku. 
Hemm, tapi tunggu dulu. Rasanya masih ada yang kurang sih. Apa ya? Biar aku lihat dulu catatanku.

Mengecat dinding rumah pohon dengan darah hewan sesembahan, oke.
Mengambil beberapa tulang dari mayat wanita muda yang masih gadis dan dijejerkan di sisi pintu, sudah.
Menyiapkan sesembahan untuk penghuni lama sekitar, beres.
Selebihnya hanya barang-barangku yang dari rumah lama dan masih berserakan di sini, ha-ha-haaah.

"Dari mana mulai dibersihkan?" Aku menendang salah satu kotak sihirku dari sekian banyak dan berakhir dengan serangan balasan dari si kotak. 
"Main tendang seenaknya! Aku bukan bola, tau! Oiya, kau bodoh ya, aku lupa. Pasti nggak ngerti." Mendengar si kotak itu berbicara tanpa filter kemanusiaan aku langsung segera memukulnya keras-keras.
"Aku bukan bodoh. Aku penyihir yang baru buka praktek. Nantinya aku bakal menguasai dunia. Dan kau akan menyesal karena telah mengataiku."
"Adaaw, sakit, bodoh! Lepas!!"
Tok tok tok. Terdengar suara ketukan dari luar rumah pohon. Dan aku refleks memeluk kotak sihirku.
"Bikin kaget aja...."

Aku menghampiri pintu dan dengan ragu mengintip siapa gerangan yang bertamu di tengah hari begini.

Hegh! Badannya besar, batinku.
"Si-siapa ya?" Tanpa kusadari suaruku bergetar.
"Pembantu penyihir."
"Siapa?"
"Pembantu penyihir."
"Pembantu siapa?"
"Penyihir."
Aku sempat putus asa dan mengakui kalau aku lah penyihir bodoh di zaman ini, sebelum aku menyadari bahwa aku hanya salah bertanya.
"Siapa penyihir yang kau maksud?"
"Penyihir Ziswiv."
"Eh? Aku tidak pernah memesan jasa pembantu penyihir. Kau pasti salah."
"Ibumu mengutusku untuk menemanimu di rumah praktek barumu."

Lagi-lagi ibu! Kegagalanku di rumah lamaku karena ibu yang ikut campur tanpa henti. Dan sekarang setelah membuatnya berjanji untuk tidak ikut campur, dia malah mengirimkanku orang besar yang menakutkan ini.
TIDAK BISA DIMAAFKAN!!

"Jadi... sebaiknya aku mulai dari kandang yang berantakan ini dulu."

KANDANG??
Bahkan dia sudah menginjak-nginjak harga diriku sebagai penyihir.

Dia mengayunkan tangannya dengan pelan dan berirama, kemudian barang-barang itu berterbangan di udara sebelum akhirnya tertata rapih di tempat semestinya.
Karena terkesan dan baru saja ingat ada mantra sihir seperti itu, aku terbengong hebat.

"Lalu? Tidak ada kerjaan lain selain bengong seperti orang bodoh di sana?"
"Eh? Ba-banyak. Kalo gitu aku ke belakang dulu." Buru-buru aku berlari, namun akhirnya aku kembali ke hadapannya.
"Mohon bantuannya." Aku menundukkan kepala dengan sopan.

Jadi, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa aku bisa lupa soal sihir sederhana yang harusnya sudah kuhapal di luar kepala? 
Sekeras apapun kuputar otakku, tidak tersisa satu serpihan pun dari ingatan itu.

Aku sampai pada bagian belakang rumah pohon. Dapur dan tempat cuci piring ada di sana. Dan kamar mandinya 100meter dari belakang rumah. Tentu saja itu bukan kamar mandi umum. Itu kamar mandiku dan hanya aku yang akan memakainya. Kecuali kalau muncul penghuni atau tetangga yang tak kasat mata...

"Bulu kudukku merinding, duh..." Melihat barang-barang yang harusnya sudah kucuci, aku tersenyum penuh arti. "Sihir begitu doang aku juga bisa, hmf."

Aku mengucapkan mantra dan menggerakkan tanganku dengan lembut. Kuputarkan tongkat kecil sihirku, berhenti dan kutarik ke atas udara. Peralatanku semuanya menari di udara. 

"Hem?" Aneh, mereka hanya menari tapi tidak saling membahu untuk membersihkan. Busa dari suatu cairan terlihat mendidih dan semakin mengembang. Cairan itu semakin banyak dan membuat pusaran di udara.

"Eh?"
Dari pusaran itu keluar tembakan air yang menyerang ke arahku.

"Waaaaa--" cairan licin dan berlendir itu mengenai tubuh dan mengotori seluruh bagian belakang rumahku.

Segera aku mengambil tongkat sihirku yang terlepas. Kuucapkan mantra serangan dan mengarahkannya ke pusaran aneh itu.
Kena. Lubang besar di tengah pusaran akan membesar dan mengikatnya. Tapi aku salah...

Pusaran itu terus berubah bentuk, hingga akhirnya menjadi monster utuh.
"Eh-- kok? Kenapa? Eh---" Karena otakku tidak kuat menampung berbagai macam asumsi, cairan selanjutnya mengenai kakiku tanpa ampun. Tapi kali ini terasa panas dan membuat kulitku terbakar.
"Aaaa, panaaaass--"

Pembantu penyihir dengan cepat tiba di depanku dan mengeluarkan sihir miliknya. Yang aku tahu sih, meskipun namanya pembantu penyihir mereka juga bisa menggunakan sihir. Mereka dibekali kemampuan sihir agar bisa berguna bagi majikannya.

Dan dalam 15 detik, monster itu berubah menjadi buih sabun di udara. Peralatanku kini semua bekerja sendiri untuk membersihkan semuanya, tentu saja atas perintahnya, si pembantu sihir itu.
"Kau..." kalimatnya menggantung, lalu menghela napas. "...sibuk sekali." 
Jujur saja, harga diriku terluka. Entah kenapa.

Aku bisa menebak wajahku sekarang seperti apa. Wajah sebentar lagi akan berteriak dan menangis menjerit-jerit. Tapi karena sekarang aku punya bawahan, gengsiku menyuruh untuk menahan dan menelan semua air mata yang akan jatuh. Pasti terlihat menyedihkan.

Pembantu penyihir itu masuk ke dalam rumah dan meninggalkanku yang tidak bisa berjalan baik karena luka bakar yang kuterima.
Aku mengikutinya untuk masuk ke dalam, dengan terpincang-pincang.

"Tadi ada seorang tamu yang menanyakan jasa mengutuk seseorang, dia bilang akan kembali sore ini. Tadi dia sedang terburu-buru..." ucapan si pembantu terpotong, "Anda sedang apa?"

"Cari ramuan obat." Dengan segera tanganku ditarik dan didudukkan di sofa. Si pembantu menatapku lalu kemudian lukaku, setelah itu dia kembali menghela napas panjang. "Biar aku yang mengobatinya."

Udara hangat memenuhi telapak tangannya dan menghantarkannya ke permukaan kulitku. Dengan beberapa mantra lukaku semakin menipis dan akhirnya menghilang. 
"Pembantu penyihir."
"Lukeys."
"Hah?"
"Nama." Sambil menunjuk dirinya.
"Oh... Aku Ziswiv." Malu-malu kusodorkan tanganku. "Tenang saja, aku tidak akan membacakan mantra jatuh cinta." Lukeys menarik kembali tangannya yang hampir berjabat tangan denganku. Lalu dia menganggukan kepalanya dengan sopan. Aku melihatnya judes.

"Hei, Lukeys. Aku menerimamu di sini karena kamu lumayan berguna ya. Tapi paling lama hanya seminggu, setelah itu aku nggak akan mempekerjakanmu lagi."
"Tenang saja. Yang mempekerjakanku adalah ibumu."
"TETAP SAJA..." Aku memelankan intonasi suaraku. "Tetap saja... Aku bisa mengerjakan semuanya sendirian tanpa bantuan siapapun. Kau tahu, nantinya yang akan mengontrol dan menguasai dunia adalah aku. Ingat, aku, Ziswiv Morgathof."
"Penyihir yang belum bisa mengendalikan dan mengenali kemampuan sihirnya sendiri?"
"Maksudmu?"
"Monster barusan. Terbuat dari lemak jahat yang tertimbun di kotoran di dapur. Sihirmu menghidupkan semua sisi jahat yang ada di suatu benda dan membuatnya berkembang hebat."
"Eh?" Aku sepertinya pernah dengar ini.
"Bagi penyihir, itu adalah suatu kemampuan yang sangat luar biasa." Lukeys menatapku yang balik menatapnya penasaran, "tapi tergantung pemiliknya."

Kemudian potongan ingatan saat ibu bertengkar dengan ayah berseliweran di pikiranku. Potongan ingatan saat ayah menyuruh ibuku mengirimkan aku ke pulau penyihir untuk ditempa keras. Potongan ingatan saat ibu menahanku dan membuatku tetap bertahan di sekolah penyihir daerah.

"Jadi... aku ini... hebat?" Wajahku berseri-seri menatap Lukeys.
"Hah?" Lukeys terlihat bingung, "harus kujawab apa..."
"Ah, jangan menggodaku. Katakanlah kalau aku ini memang hebat."
"Maaf. Tapi aku tidak pernah melihat penyihir sebodoh dirimu." Selain kata-katanya, wajah Lukey saat mengatakan itu membuatku naik pitam.
"APA!?" Aku melotot ke arahnya. "Hei, Lukeys! Jangan cuma bisa sedikit sihir lantas kau besar kepala ya!"
"Kenyataan memang selalu menyakitkan."
"Jangan panggil aku bodooh!! Akan kukutuk kau, Lukeys!!" Kuambil boneka voodoo di kotak sihirku. Mengucapkan mantra dan membuat boneka itu sebesar Lukeys. 

"Eh?" Aku tidak punya waktu untuk kaget, karena boneka raksasa itu mulai menembakan ribuan jarum ke arahku.

Lagi-lagi Lukeys menolongku dengan tabir pelindung yang dibuatnya.
"Kau bahkan lupa urutan mengutuk seseorang dengan boneka voodoo..." Lukeys terlihat lelah.
"Ma-maaf..." air mata di pelupuk mata siap terjun bebas. Tapi serangan boneka voodoo raksasa membuat air mata itu bersabar menunggu giliran jatuh.
"Oke, selesaikan yang ini dulu," kataku pelan. Lalu bersembunyi di balik lemari. "Lukeys, tolong ya."
"Sial..." umpatnya. Lukeys menghindar dari serangan boneka itu dan bergantian melakukan serangan.


Aku?

Aku hanya bisa berdoa demi keselamatan Lukeys di balik lemari.
Lukeys, semangat!

No comments:

Post a Comment