Niatnya sih mau bikin fluff romance, karena itu ide lama yang nangkring begitu nyoba nerusin jadinya malah kaya gini. Jauh beda sama rencana awal xD
Cekidot yo~
Harap Tinggal
Kata temanku, aku aneh.
Mereka saat ini dalam puncak masa kejayaannya. Masa remaja,
masa di mana semua orang mengatakan ‘kalian hebat’ ketika melakukan sesuatu. Dan
‘kalian payah’ ketika tidak mengikutinya. Lalu perasaan angkuh membubung
tinggi, membuatmu terus ingin berada di atas.
Inginku bersama mengukir kenangan indah, pintaku kita tidak
pernah berubah, tetap seperti dulu tertawa dengan candaan yang biasa. Tapi apa
daya, tanpa kata aku menjauhinya, karena berniat untuk menjadi lebih bermanfaat
untuk sesama.
“Mursyid sayang, Umi nggak akan ngelarang kamu bergaul
dengan siapapun. Tapi Umi percaya semua yang Umi ajarkan ke kamu nggak akan
kamu sia-siakan.”
Aku menatap Umi dalam, menyerap semua yang dikatakannya,
juga apa yang dia sampaikan lewat tatapan lembutnya.
“Jangan menyalahi dirimu sendiri atas apa yang terjadi, Nak.
Kamu mungkin memang temannya tapi tugasmu sebatas mengingatkannya. Kalau bisa
mencegahnya itu lebih baik, namun kalau tidak mampu kamu-lah yang harus mundur.
Allah tahu kamu sudah berbuat yang terbaik untuknya.”
Sahabatku, Doni, pagi ini dikabarkan meninggal dalam sebuah
pengejaran. Doni melakukan bisnis ilegal yaitu jual-beli narkoba. Doni adalah
salah satu distibutor di kalangan SMA yang terlibat perkelahian kemarin. Kekacauan
itu berujung pengejaran polisi. Malangnya, Doni selamat dengan cara kehilangan
nyawanya. Doni menabrak pagar jalan ketika mencoba melarikan diri dan
menewaskannya seketika segera setelah mobilnya menghantam bangunan lain.
Aku meringis sakit karena luka robek di mulut yang aku
terima akibat berkelahi dengan Doni kemarin. Tepat saat Doni mau pergi ke
tempat transaksi.
“Lo tuh nggak pernah berubah, Syid! Semua anak juga tahu
barang ini paling keren dan cocok banget buat seneng-seneng... Lo juga pasti
butuh, nggak usah muna deh!” Aku melihat kulit Doni yang semakin pucat karena mengkonsumsi
obat terlarang itu. Keadaan tubuh dan wajahnya sangat jelas terlihat berbeda
dibanding setahun lalu saat aku melihatnya di bawah ring basket dengan keringat
bercucuran setelah tanding. Kini dia bukan lagi Doni yang kukenal.
“Don, lo cuma membahayakan diri lo sendiri!”
“Alah, udah deh nggak usah ceramah. Makin mirip lo kaya
Mamah Kiki...”
Saat itu tanganku sudah siap menghantam wajahnya dan
menghentikannya agar tidak pergi ke tempat transaksi. Tapi Doni mengatakan hal
lain yang membuatku menunda sementara keinginanku.
“Syid, kita udah beda. Lo dan gue nggak ada di jalan yang
sama lagi. Sebaiknya lo nggak usah dateng ke hadapan gue dan membawa
embel-embel sahabat...”
Kali ini aku benar-benar menghantamkan kepalan tanganku
tepat ke wajahnya. Selesai sudah tugasku untuk mengingatkannya. Aku bahkan
tidak mampu lagi untuk memikirkan bagaimana ke depannya hubungan kami.
“Sialan lo!” DUAGH! Doni membalas pukulanku tidak kalah
kuat. Untuk beberapa menit kami saling pukul namun pada akhirnya karena iba akhirnya
kuputuskan untuk tidak melawannya lagi, membiarkan dia membabi-buta menghajar
wajahku.
“Tuh, Syid! Udah gue balikin semua persahabatan kita yang lo
gadang-gadang itu. Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue, terus ngaku-ngaku
sebagai temen!” aku hanya bisa tergeletak lemas mendengarkan semua ocehannya
sebelum akhirnya dia pergi dengan mobilnya.
Seakan langit ikut bersimpati melihat keadaanku yang
menyedihkan. Hujan turun ikut menyapu semua rasa sakit di sekujur tubuh, namun
ikut meredam semua amarah dan kesedihanku. Dalam hujan amarah, benci, sedih,
luka, dan air mata, semua lepas begitu saja menjadi satu. Namun harapan untuk bersama
kembali tidak pernah hilang, selalu berdiam diri di dasar hati.
Sepotong kenangan kecil yang indah menari-nari di permukaan
pikiranku. Sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.
“Syid, minjem iqro dong...” Doni dan aku ketika berada di
TPA.
“Tuh kamu pasti lupa bawa lagi.”
“Abis tadi kamu nyamper aku kecepatan sih... “
“Kan biar ada waktu buat ngapalin juz ‘amma dulu.”
“Iya sih...”
“Kalau begitu besok nggak usah bareng deh, gimana?” usulku.
“Yah, jangan gitu dong. Ntar aku nggak bakal jalan kalo kamu
nggak nyamper.” Doni merengek.
“Kok kamu manjanya lebih-lebih dari adekku sih...” aku
melihat sebal ke arah Doni.
“Aku kan emang adekmu~ Kakak jangan tinggalin dedek ya.”
Doni menirukan gaya andalan Zahra. Aku menyentakan tangan Doni dan berpura-pura
geli karena melihat tingkah lakunya. Lalu detik berikutnya kami tertawa geli
bersama.
--
Kubuka lembaran surat yasin dan kulantunkan ayat indah itu. Sesekali
aku menatap nisan Doni dan seperti melihat Doni sedang tersenyum puas karena
aku masih tetap bersamanya.
“Aku nggak akan meninggalkanmu.” Tahun ketiga tanpa Doni
sahabatku. Saat ini hanya ini yang bisa kulakukan, usaha untuk tidak
meninggalkannya.
FIN
No comments:
Post a Comment