Monday, September 12, 2016

[FlashFiction] Harap Tinggal

Holaaa, ini adalah project gue, Nana, dan Ruru buat nulis 180 hari tanpa berhenti. Kebutulan ini adalah salah satu yang bisa gue posting di blog dan juga sekalian melunasi utang gue sama Emud!

Niatnya sih mau bikin fluff romance, karena itu ide lama yang nangkring begitu nyoba nerusin jadinya malah kaya gini. Jauh beda sama rencana awal xD

Cekidot yo~


Harap Tinggal


Kata temanku, aku aneh.

Mereka saat ini dalam puncak masa kejayaannya. Masa remaja, masa di mana semua orang mengatakan ‘kalian hebat’ ketika melakukan sesuatu. Dan ‘kalian payah’ ketika tidak mengikutinya. Lalu perasaan angkuh membubung tinggi, membuatmu terus ingin berada di atas.

Inginku bersama mengukir kenangan indah, pintaku kita tidak pernah berubah, tetap seperti dulu tertawa dengan candaan yang biasa. Tapi apa daya, tanpa kata aku menjauhinya, karena berniat untuk menjadi lebih bermanfaat untuk sesama.

“Mursyid sayang, Umi nggak akan ngelarang kamu bergaul dengan siapapun. Tapi Umi percaya semua yang Umi ajarkan ke kamu nggak akan kamu sia-siakan.”

Aku menatap Umi dalam, menyerap semua yang dikatakannya, juga apa yang dia sampaikan lewat tatapan lembutnya.

“Jangan menyalahi dirimu sendiri atas apa yang terjadi, Nak. Kamu mungkin memang temannya tapi tugasmu sebatas mengingatkannya. Kalau bisa mencegahnya itu lebih baik, namun kalau tidak mampu kamu-lah yang harus mundur. Allah tahu kamu sudah berbuat yang terbaik untuknya.”

Sahabatku, Doni, pagi ini dikabarkan meninggal dalam sebuah pengejaran. Doni melakukan bisnis ilegal yaitu jual-beli narkoba. Doni adalah salah satu distibutor di kalangan SMA yang terlibat perkelahian kemarin. Kekacauan itu berujung pengejaran polisi. Malangnya, Doni selamat dengan cara kehilangan nyawanya. Doni menabrak pagar jalan ketika mencoba melarikan diri dan menewaskannya seketika segera setelah mobilnya menghantam bangunan lain.

Aku meringis sakit karena luka robek di mulut yang aku terima akibat berkelahi dengan Doni kemarin. Tepat saat Doni mau pergi ke tempat transaksi.

“Lo tuh nggak pernah berubah, Syid! Semua anak juga tahu barang ini paling keren dan cocok banget buat seneng-seneng... Lo juga pasti butuh, nggak usah muna deh!” Aku melihat kulit Doni yang semakin pucat karena mengkonsumsi obat terlarang itu. Keadaan tubuh dan wajahnya sangat jelas terlihat berbeda dibanding setahun lalu saat aku melihatnya di bawah ring basket dengan keringat bercucuran setelah tanding. Kini dia bukan lagi Doni yang kukenal.

“Don, lo cuma membahayakan diri lo sendiri!”

“Alah, udah deh nggak usah ceramah. Makin mirip lo kaya Mamah Kiki...”
Saat itu tanganku sudah siap menghantam wajahnya dan menghentikannya agar tidak pergi ke tempat transaksi. Tapi Doni mengatakan hal lain yang membuatku menunda sementara keinginanku.

“Syid, kita udah beda. Lo dan gue nggak ada di jalan yang sama lagi. Sebaiknya lo nggak usah dateng ke hadapan gue dan membawa embel-embel sahabat...”

Kali ini aku benar-benar menghantamkan kepalan tanganku tepat ke wajahnya. Selesai sudah tugasku untuk mengingatkannya. Aku bahkan tidak mampu lagi untuk memikirkan bagaimana ke depannya hubungan kami.

“Sialan lo!” DUAGH! Doni membalas pukulanku tidak kalah kuat. Untuk beberapa menit kami saling pukul namun pada akhirnya karena iba akhirnya kuputuskan untuk tidak melawannya lagi, membiarkan dia membabi-buta menghajar wajahku.

“Tuh, Syid! Udah gue balikin semua persahabatan kita yang lo gadang-gadang itu. Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue, terus ngaku-ngaku sebagai temen!” aku hanya bisa tergeletak lemas mendengarkan semua ocehannya sebelum akhirnya dia pergi dengan mobilnya.

Seakan langit ikut bersimpati melihat keadaanku yang menyedihkan. Hujan turun ikut menyapu semua rasa sakit di sekujur tubuh, namun ikut meredam semua amarah dan kesedihanku. Dalam hujan amarah, benci, sedih, luka, dan air mata, semua lepas begitu saja menjadi satu. Namun harapan untuk bersama kembali tidak pernah hilang, selalu berdiam diri di dasar hati.

Sepotong kenangan kecil yang indah menari-nari di permukaan pikiranku. Sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.

“Syid, minjem iqro dong...” Doni dan aku ketika berada di TPA.

“Tuh kamu pasti lupa bawa lagi.”

“Abis tadi kamu nyamper aku kecepatan sih... “

“Kan biar ada waktu buat ngapalin juz ‘amma dulu.”

“Iya sih...”

“Kalau begitu besok nggak usah bareng deh, gimana?” usulku.

“Yah, jangan gitu dong. Ntar aku nggak bakal jalan kalo kamu nggak nyamper.” Doni merengek.

“Kok kamu manjanya lebih-lebih dari adekku sih...” aku melihat sebal ke arah Doni.

“Aku kan emang adekmu~ Kakak jangan tinggalin dedek ya.” Doni menirukan gaya andalan Zahra. Aku menyentakan tangan Doni dan berpura-pura geli karena melihat tingkah lakunya. Lalu detik berikutnya kami tertawa geli bersama.

--

Kubuka lembaran surat yasin dan kulantunkan ayat indah itu. Sesekali aku menatap nisan Doni dan seperti melihat Doni sedang tersenyum puas karena aku masih tetap bersamanya.

“Aku nggak akan meninggalkanmu.” Tahun ketiga tanpa Doni sahabatku. Saat ini hanya ini yang bisa kulakukan, usaha untuk tidak meninggalkannya.

FIN

No comments:

Post a Comment