Ini adalah kelanjutan Story Blog Tour Romance/Angst OWOP II. Sebenernya gue udah berusaha buat memikirkan angst dengan sekuat tenaga, tapi kok roman-romannya malah mengarah ke genre lain. Maafkan ya, ini gara-gara yang atas #tunjukyangnulisepisodeawal-awal #laludigaplok. Semoga yang bawah-bawah porsi angst-nya bisa diperbanyak ya, Mohon kerjasamanya... #Bow #lalukabur
Episode sebelumnya.
Chapter 1 - Luka Elisa (Nifa)
Episode sebelumnya.
Chapter 1 - Luka Elisa (Nifa)
Chapter 5, Cekidot!
TEMAN BARU
Elisa masuk ke rumahnya dengan ragu. Dia melihat si Bibi
sedang membersihkan sisa-sisa keributan yang terjadi tadi siang di rumahnya.
“Non...” Bibi akhirnya menyadari kedatangan Elisa.
“Mereka... bener...” kata Elisa terputus-putus.
“Iya, Non. Tadi sih awalnya Bapak yang pergi, tapi nggak
lama setelah itu Ibu juga keluar rumah, Non. Mobilnya juga nggak ada kan?” Si
Bibi dengan lemah lembut menenangkan Elisa. Meskipun kelihatannya Elisa
baik-baik saja, tidak bisa dipungkiri ekspresi wajahnya menyiratkan sedikit
ketakutan dan kekhawatiran.
“Non...” Bibi memandangi perban yang menyembul di sweater
lengan panjangnya Elisa, tapi dengan cepat Elisa menyembunyikannya. Tadi Tezar
sempat membantu Elisa untuk mengobati luka-lukanya sebelum akhirnya membawa
Elisa ke Dufan.
“Yaudah, Bi. Aku ke kamar ya.” Elisa pun pergi ke kamarnya
meninggalkan si Bibi yang terlihat khawatir. Bukan hal baru Bibi mendapati luka
atau bekas luka di tangan Elisa, namun kalau ditanya Elisa selalu mengelaknya. Karena
itulah Bibi menyimpulkan kalau Elisa tidak mau mengusik masalah lukanya itu.
--
“Hai,
El...” Pagi hari ketika Elisa berjalan ke arah ruang kelasnya ada seseorang
yang sejak tadi menunggu di depan pintu kelas. Ya, Tezar. Betapa beruntungnya
dia memiliki sahabat seperti Tezar yang selalu ada dan selalu menyayanginya
tanpa mengharap pamrih.
“Hai...”
balasnya, tersenyum lemah. Memang tidak ada keributan lagi tadi pagi di rumah
Elisa, namun kondisinya tidak lebih baik dari kemarin. Bahkan Elisa menghindari
sarapan bersama orangtuanya.
“Udah
makan? Kok lemes gitu.” Tezar menghampirinya seraya mencubit pipi pucat Elisa
dengan gemas. “Mau gue traktir apa?”
Elisa
menggembungkan pipinya lalu tertawa pelan, “Belagu, ujung-ujungnya juga beli
bakwan doang.”
“Bakwan
itu nutrisinya oke lho, kan banyak sayuran yang masuk di dalamnya.”
“Ih,
sana makan bakwan seumur hidup lo!” Elisa memukul pelan lengan Tezar sebelum
akhirnya mereka tertawa lepas. Siapa yang tidak menyangsikan kalau kedekatan
Elisa dan Tezar hanya sebatas teman? Mereka begitu akrab layaknya pasangan muda
pada umumnya. Semua yang melihat pasti sependapat dengan itu, tak terkecuali
Alya yang sedari tadi melihat mereka dari kejauhan.
Tangan
Alya mengepal, tersirat kebencian yang begitu mendalam di matanya. Dan detik
itu juga Alya sudah memutuskan sesuatu. Hal yang menghantui pikirannya
akhir-akhir ini.
--
Setelah
istirahat makan siang bersama Tezar di kantin, Elisa pamit kepada Tezar untuk
pergi ke toilet dan kembali ke kelas terlebih dulu. Siang ini Elisa merasakan
kekuatannya berangsur pulih, dia seperti mendapati kembali cahaya yang
menerangi hidupnya. Dan harus Elisa akui sebagian besar berkat Tezar. Peran
Tezar dalam hidup Elisa memang sangat besar.
Elisa
tersenyum tipis di depan cermin kamar mandi sekolah dan mulai membasuh tangannya.
Namun seseorang datang tanpa disadari Elisa.
“Lo
lebih manis kalau tersenyum begitu.” Orang itu adalah Alya. Elisa terlihat
panik ketika menyadari tangannya yang tidak tertutup sweater, dia buru-buru
menurunkan lengan swaternya yang sempat dia gulung. Di sekolah ini hanya Tezar
yang tahu kenapa tangannya penuh luka seperti itu.
“A-
Alya...”
“Maaf,
ngagetin ya?” Alya membenarkan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan di
depan cermin. Sebagai seorang siswi teladan Alya selalu terlihat rapi dalam
berpenampilan. Bukan hanya terkenal sebagai siswa teladan saja, Alya pun
menjadi sekretaris OSIS dan ketua kelas di kelasnya. Alya juga dikenal sebagai
salah satu siswa pintar di SMA-nya.
Baru
ketika masuk SMA ini Elisa tahu, Tezar mempunyai teman kecil yang tinggal
bertetangga dengannya. Dan orang itu adalah Alya. Berulang kali Elisa berpikir
ingin bisa kenal dengan Alya, namun nampaknya Alya terlalu bertolak-belakang
dengan dirinya. Elisa hanya mengagumi Alya dari kejauhan.
“E-enggak
kok.” Beberapa siswi masih berlalu-lalang di toilet itu, membuat kecanggungan
Elisa bertambah.
“Lo
inget nama gue?” Alya tersenyum manis ke arah Elisa. “Padahal kita baru
beberapa kali ketemu, Tezar selalu memonopoli lo sih, kaya nggak mau orang
ngambil lo, hehehe.”
“Bu-bukan
salah Tezar kok. Gue... gue aja yang terlalu malu buat kenal lo.” Elisa
memberanikan dirinya mengungkap perasaannya. Mendengar itu Alya tidak bisa
menahan senyumnya. Namun, entah kenapa terlihat ganjil sekali.
“Ya
ampun, El... Kenapa harus malu? Kita bisa banget kok berteman baik.” Alya
sengaja mengarahkan tangannya untuk menyentuh lengan Elisa. Namun karena masih
ada rasa nyeri di lengannya, Elisa menghindari sentuhan Alya. Kini di toilet
hanya tinggal mereka berdua, karena itulah Elisa merasa ketegangan di antara
dia dan Alya semakin kuat. Atau sebenarnya itu hanya di pikiran Elisa saja?
“Um...”
Merasa tidak enak karena menghindar, Elisa menundukkan kepalanya
sedalam-dalamnya. Rasanya... usahanya untuk berubah telah gagal. Keadaannya
jadi canggung sejenak, keduanya terdiam, sampai akhirnya senyum Alya berkembang
lagi.
“Nggak
usah malu, El. Gue bukan ratu yang sulit diajak bergaul kok.” Kata-kata Alya
membuat Elisa bisa melihat ke arahnya lagi. “Gue menantikan kita bisa ngobrol
bareng dan main bareng.”
Baru
saja Alya ingin beranjak keluar dari kamar mandi wanita itu, Elisa memaksa dirinya
untuk memanggil Alya.
“Apa
boleh gue... berteman dengan lo?” Elisa menatapnya ragu, tapi tidak dengan
Alya. Seperti telah menjalankan misinya dengan baik, senyum Alya mengembang.
“Dengan
senang hati.” Alya mengeluarkan handphone dari kantong roknya, “Mungkin suatu
saat lo butuh gue, lo boleh menghubungi gue. Berapa nomor lo?” Setelah
menyebutkan sederet angka, Elisa menerima pesan di HPnya.
“Let’s be friend. Alya” pesan dari Alya.
Elisa melihat Alya tak percaya, tapi ketika melihat Alya tersenyum padanya,
Elisa pun tersenyum.
“Save ya. Gue duluan.”
Awal yang bagus. Tidak peduli bagaimana kondisi keluarganya
sekarang, Elisa harus mencoba hidup lebih baik. Persis seperti apa yang
dikatakan Tezar. Sekarang dengan bertambah seorang teman dalam hidupnya dia
berharap kekuatannya pun akan bertambah. Tapi mudah saja seseorang untuk berniat
dan berharap seperti itu...
HP Elisa bergetar lagi. Kali ini pesan chat masuk. Dari
Mama.
“Maafkan Mama... Mama
sudah capek...” membaca pesan itu membuat kaki Elisa tiba-tiba bergetar
lemas. Elisa segera bersandar pada dinding toilet.
Pikirannya menolak untuk bisa membaca maksud yang dari chat yang dikirimkan mama. Dia mencoba mengartikan sebaris kalimat itu dengan kemungkinan lain. Tapi ingatannya, orang tuanya kembali saling menghujat dan melemparkan semua barang yang ada di rumahnya. Bahkan Elisa sendiri lupa, kapan terakhir kali dia bisa membayangankan kedua orang tuanya saling mengasihi. Sudah lama sekali.
Apakah kali ini dia akan menerima kenyataan itu? Hal yang
selalu dia harapkan ketika orangtuanya berseteru, keinginan keji di hati Elisa
ketika sudah lelah dengan urusan mereka. Ya, perpisahan, perceraian kedua
orangtuanya.
Elisa berjongkok, berusaha menahan tangisnya. Namun gagal,
Elisa menangis. Elisa menutup mulutnya berusaha meredam suara tangisnya.
Bel masuk berbunyi, waktu istirahat kedua telah habis. Lalu lalang
di luar toilet samar-samar menghilang. Elisa tidak ingin kembali ke kelasnya. Bahkan
kalau bisa dia ingin kabur dari sekolah saat ini. Dia butuh sendiri.
--
Keadaan
kelas Alya ramai-ricuh, sang guru Fisika nampak tidak bisa hadir kali ini
karena ada urusan di kantor yang harus dikerjakan. Beliau hanya memberikan
beberapa tugas untuk dikerjakan.
“Al,
cowok-cowok itu main poker lagi tuh.” Ruri, teman sebangku Alya.
“Biarin
aja mereka. Gue bisa aja menjebloskan mereka ke penjara kalau mau...” Alya tesenyum
ganjil ketika teringat pernah mengambil video beberapa tindak kenakalan yang
dilakukan oleh sekelompok cowok bandel di kelasnya. Sadar Ruri terlihat bengong
mendengarkan respon dan melihat sikapnya barusan, dia mencoba menenangkan Ruri.
“Kalau
mereka buat ulah, baru kita laporin ke Pak Guru,” katanya sambil tersenyum
manis ke arah Ruri. Ruri membalasnya dengan senyum canggung. Alya kembali
memainkan Hpnya.
Beberapa
minggu ini Alya telah menyelidiki sebuah komunitas aneh yang dia temukan di
internet. Sebuah forum dari perkumpulan aneh yang terdiri dari orang-orang yang
memiliki kelainan dalam kejiwaannya. Di salah satu subdoard forum itu ada juga kumpulan anak-anak muda yang sakit hati
dan melakukan selfharm. Forum itu
menjadi wadah yang berfungsi untuk mengisolasi penderita dari kehidupan luar
yang kejam. Isinya sebagian besar adalah curahan hati dan aksi-aksi ‘janggal’
yang mereka posting dalam bentuk
tulisan, foto ataupun video. Namun banyak juga penderita yang akhirnya tidak
kuat dan memutuskan mengakhiri hidupnya. Demi bukti eksistensinya dan loyalitas
terhadap forum itu, tidak sedikit juga mendokumentasikan dirinya saat
mengakhiri hidupnya.
Alya
sudah memikirkan sejak lama, bagaimana kalau seandainya Elisa diberikan
fasilitas seperti ini. Tentu itu akan memudahkannya untuk menggiring Elisa
melakukan tindakan yang lebih brutal, misalnya seperti bunuh diri.
Komunitas
‘Young Blood’ ini memang cocok sekali untuk Elisa. Dia yakin sekali harus
merekomendasikannya kepada Elisa.
Lagi-lagi
Alya tersenyum ganjil.
Sebuah
ponsel lain dikeluarkan Alya dari tasnya. Mulai detik itu Alya memutuskan
meneror Elisa dengan SMS yang isinya alamat web menuju langsung ke forum
tersebut.
“Aku tahu kamu selalu merasa sakit melihat
orang sekitarmu, coba masuklah ke forum ini dan kamu akan menemukan
teman-temanmu yang lain. Ayo berbagi dengan mereka. YOUNG BLOOD LINK”
Teror
pertama yang Alya kirimkan kepada Elisa.
Ih... Alya jadi jahat banget.
ReplyDeleteAyo Tezar... dukung elisa. #lah
#lah? wakakak
DeleteAlya cinta buta sih, Ci xD