Sunday, March 15, 2015

[Cerpen] Akal Nurani

Setoran pertama OWOP bikin yang thriller, hahaha. Tapi kayaknya nggak thriller banget kok. Ini gara-gara mimpi buruk pas tidur siang tadi. Sebenarnya ini kembangan dari mimpi buruknya sih. Mimpi buruknya serem banget, tapi karena nggak langsung ditulis pas bangun, gambaran lengkapnya lupa (T^T)

Jadi gue coba bikin dengan konsep yang sama tapi beda jalan ceritanya.
Cekidot~
AKAL NURANI

Aku menyamai langkah kakinya. Kami berjalan di koridor kampus bersamaan. Dia selalu terlihat berkilau. Sedangkan aku di sampingnya akan terlihat biasa saja, mungkin lebih buruk. Sudah berulang kali aku memaksa pikiranku untuk membencinya. Tapi tubuhku tidak pernah mau menurut dan selalu kembali kepadanya.

Ya, Sabila, atau teman-teman biasa memanggilnya Sabil, adalah gadis cantik yang sanggup membius siapapun, termasuk aku.

Sabil selalu dengan manis memintaku melakukan apapun yang menjadi kewajibannya. Tanpa ingin bersusah payah, Sabil memanfaatkanku.

"Kak Sabil, bisa minta tanda tangannya?" dua orang mahasiswa baru menghentikan langkahku dan Sabil.

"Dengan senang hati..."

"Eh, Itu panitia ospek juga kan?" bisik anak di sebelahnya.

"Masa sih? Tau deh, nggak pernah liat."

"Minta aja kali ya tanda tangannya?"

"Nggak usahlah... Kayanya nggak penting."

Selalu saja. Suara-suara seperti itu sudah sering kudengar.
Yang aku heran, apa mereka itu bodoh? Seperti orang yang tidak tau bagaimana caranya bergunjing, kebanyakan dari mereka tidak bisa mengatur volume suaranya agar tidak sampai terdengar oleh telingaku.

"Ini..." Sabil menyerahkan buku harian OSPEK milik anak-anak itu. "Yang semangat ya ospek-nya."

"Iya, Kak. Makasih <3"

Seperginya anak-anak itu dari hadapan kami, entah kenapa kebencianku kepada Sabil kembali menyeruak. Aku yakin sebenarnya eksistensi kebencian ini sudah ada sejak lama, namun entah kenapa selalu terhenti dan mati begitu saja.

"Nura, kenapa hari ini terasa sepi ya?" Hari Ospek kedua biasanya para mahasiswa baru berbondong-bondong mencari kakak-kakak ospek mereka untuk meminta tanda tangan panitia Ospek. Ya, tahun lalu seperti itu.
Makanya Sabil senang sekali karena saat itu dia merasa dirinya bak artis yang sedang naik daun. Ini juga salah satu alasan kecil Sabil mengajukan diri untuk menjadi panitia ospek di tahun ketiganya kuliah.

"Kalau nggak salah tahun ini, Fakultas Bahasa berkumpul di GOR kampus. Beberapa acara memang akan melibatkan air, jadi panitia kemarin memutuskan untuk memakai tempat di dekat kolam renang."

"Apa!? Kok aku nggak tau!?"

Jelas saja, dia selalu menyuruhku menggantikannya menghadiri rapat. Sabil sangat tidak suka pertemuan yang atmosfirnya terlalu kaku seperti rapat-rapat pertemuan. Menurutnya dia akan mati bosan kalau harus berdiam diri di sana. Padahal tugasku sebagai panitia ospek sendiri mempunyai kewajiban yang berbeda.

"Terus kenapa juga harus deket kolam renang sih...." Salah satu dari sekian hal yang dibenci Sabil adalah yang berhubungan dengan air, lebih tepatnya yang berhubungan dengan renang. Sabil, tidak bisa berenang, dia memiliki trauma buruk di masa kecil yang sampai sekarang terus membekas.

Kalau kalian tanya kenapa aku tahu sekali segala hal tentang Sabil? 2 tahun bersamanya dan menjadi tangan kanannya membuatku sangat mengerti semua hal tentang Sabil.



Kaki kami melangkah ke arah GOR, meski ragu Sabil lebih memilih untuk menjaga image sebagai kakak ospek teladan yang cantik dan baik hati.

"Di sini aja. Kita lihat mereka dari sini aja..." kami berdiri 10 meter dari tempat mahasiswa baru dan kakak-kakak pembina ospek. Sabil tidak biasa berdiri lama, dia mengeluhkan kakinya yang sakit karena berdiri selama 10 menit tanpa menggerakan kakinya.

"Bisa nggak, lo ambilin kursi, Ra..."

"Oh, oke..."

Sekarang Sabil duduk, sedang aku berdiri. Tiga menit kemudian Sabil mengeluh kehausan dan dia memintaku untuk mengambilkannya minuman. Kuperhatikan baik-baik, Sabil sepertinya benar-benar ketakutan dengan kolam renang. Sedari tadi aku melihatnya tidak bisa tenang.

Sengaja aku datangi Raka, salah satu panitia ospek, untuk meminta minuman padanya.

"Ka, punya minuman nggak? Sabil kehausan nih..."

"Ada sih... Tapi Nura, kamu emang nggak bisa berhenti jadi kacung si putri manja itu?"

Kata 'kacung' memang sangat keterlaluan, tapi entah kenapa aku merasa kata itu memang pantas ditujukan untukku. Raka adalah satu-satunya teman seangkatanku yang selalu peduli dan membantuku dalam berbagai hal, rasanya sakit sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.

"Eh, Sori, Ra... Bukan maksudku...." Aku melihat Raka salah tingkah karena merasa bersalah.

"Nggak, Nggak papa Ka. Kata-katamu emang bener sih, hahaha" Aku mencoba untuk tertawa dan menganggap semua itu adalah candaan lalu. Namun Raka sepertinya tetap merasa tidak enak, dan menepuk kepalaku pelan.

"Kalau butuh apa-apa dateng aja ya ke aku ya. Ini minumnya."

"Iya, Ka. Thanks..." Aku tersenyum lemah ke arahnya.

Kembali aku menyentuh kepalaku yang baru saja di tepuk oleh Raka, entah kenapa rasanya ada suatu aliran aneh mengalir di sana, lalu menggelitik perutku dan membuatku tanpa sadar tersenyum simpul.

"Ini, Bil."

"NGGAK PERLU!!" aku terbelalak saat Sabil menyentakan tanganku yang hampir menjatuhkan air yang adadi tanganku. Suara Sabil menggema, membuat semua orang yang berada di sana melihat ke arah kami.

"Ke- Kenapa, Bil? Ini... minumannya memang nggak baru... Tapi Raka bilang dia baru meminumnya sedikit dan nggak kena mulutnya..." Sabil masih membuang muka dariku. Kemudian aku mencoba mendekatkan kembali botol minumannya, setelah membuka tutup botolnya.

"GUE NGGAK BUTUH! TULI YA LO!?" Kali ini dorongan tangan Sabil sangat kuat dan menumpahkan air itu mengenaiku.

Wajah dan bajuku tersiram air mineral itu.

"Lo minum aja sana, perempuan gatel!"

Sabil pergi meninggalkan aku dalam keadaan yang menyedihkan. Aku tidak berani untuk menatap ke arah para mahasiswa baru dan panitia ospek lainnya. Aku hanya menundukkan kepala sambil perlahan keluar ke arah GOR.

Aku berencana mencari Sabil dan meminta maaf kepadanya. Semenit kemudian setelah Sabil mengataiku seperti itu aku mengerti apa yang menjadi alasannya bersikap seperti itu.

Tepat di belakang gedung GOR, ada taman yang jarang sekali digunakan oleh orang-orang yang mampir ke GOR. Mereka selalu bilang aura di taman itu tidak menyenangkan. Sebatang pohon besar yang teronggok di sana menarikku untuk duduk di atasnya.

Kembali kuusap kepalaku dengan pelan.

Entah sejak kapan, aku memiliki perasaan seperti ini kepada Raka. Raka adalah satu-satunya teman paling tulus yang kumiliki. Raka juga satu-satunya orang yang sengaja kudekati agar bisa tahu segala hal tentang dirinya. Tentu saja itu bukan keinginanku, itu perintah Sabil. Ya, Sabil menyukainya sejak tahun pertamanya di kampus.
Jadi wajar saja, Sabil terlihat begitu marah ketika dia melihatku dengan Raka tadi.

Aku tidak menyalahkan Sabil, aku tahu bagaimana rasanya cemburu ketika melihat seseorang yang kita sukai bersama dengan orang lain. Itu telah kualami selama setahun ini, ketika akhirnya Sabil bisa mendekati Raka. Ketika melihat Sabil mendekati Raka.

Aku telah mengorbankan perasaanku selama ini. Seharusnya aku sudah menyerah akan perasaanku.
Tapi saat tadi Raka memperlakukanku dengan manis...
Bahkan terkadang aku merasa Raka telah memilihku karena tidak jarang cara panggilnya terhadap Sabil sangat berbeda. Seperti sebutan 'Putri Manja' barusan.

Aku pikir mungkin sekaranglah waktunya. Ini giliranku untuk bangkit.
Mungkin inilah saatnya aku menjadi seseorang yang benar-benar berarti bagi orang lain. Menjadi orang yang terpenting dalam hidup orang lain. Bukan hanya karena diperlukan saja.



Saat kakiku melangkahkan ke dalam GOR, anak-anak berbondong-bondong bersiap untuk melakukan permainan di dalam air. Kulihat Sabil sudah berada di sana. Di samping Raka!

Tidak lama setelah itu badannya terlihat akan tumbang ke samping Raka. Raka memeluk pinggangnya dan terlihat khawatir. Beberapa anak teriak histeris karena melihat mereka seperti sedang bermesraan. Raka berteriak memperingati mereka dan membawa Sabil menepi dekat dinding gedung. Entah kenapa Sabil yang masih dalam keadaan setengah sadar memajukan tubuhnya dan memeluk Raka dengan sangat erat.

Aku menjatuhkan kacamataku yang sejak tadi kupegang, yang tadi telah kubersihkan dari air. Langkahku gontai berjalan mundur dan akhirnya membalikkan diri. Berjalan terus ke belakang gedung.

Panas... Hatiku panas, seakan terbakar sesuatu. Rasa panas itu merembet ke arah mataku dan tanpa sadar, lelehan hangat memenuhi pipiku yang sejak tadi terasa dingin.

Aku menangis tanpa henti. Napasku terasa sakit dan menyesakkan. Udara dingin berhembus dengan kencang namun aku tidak menghiraukannya. Aku terus menangis, merasa telah kehilangan harapan dan tujuan hidup. Aku menangis tanpa terasa tubuhku sangat lelah. Dan tidak sadar kalau kesadaranku mulai menipis.


--

--


Kudapati diriku telah berdiri kembali di ambang pintu GOR. Aku melihat kembali Raka dengan Sabil bercanda dengan mesra. Sementara peng-ospek-an Mahasiswa Baru masih terus berlangsung di kolam renang penuh tawa dan canda.

Aku sepertinya telah banyak melewati hal-hal yang seru. Dan kini, yang tersisa hanyalah adegan 'Happy Ending' yang sangat indah. Namun entah kenapa, hatiku terasa kosong. Rasa benci dan rasa sakitku benar-benar telah menghilang. Entah apa yang aku lakukan, saat menyadari kakiku menuju arah Raka dan Sabil.

Aku menarik rambut Sabil dengan kasar, setelah menamparnya sekuat tenaga.

Kudengar Raka berteriak panik, dan mencoba menghentikanku. Namun entah dari mana kekuatan ini kudapat, mendorong Raka sampai terpental ke arah dinding. Aku menarik rambut Sabil sampai akhirnya dia berada di ujung kolam renang.

"Aa... Sakit.... Nura, ampun Nura... maafkan aku. Jangan dorong aku, aku mohon Nura... ampuni aku...."

Entah dari mana perasaan puas ini, kurasakan kedua ujung bibirku tertarik ke atas seperti membentuk senyuman. Aku segera mendorong Sabil ke arah kolam renang.

Sabil terdorong bebas ke dalam air, terlihat sekali dia kewalahan dan terus-menurus meminta tolong. Tapi semua anak-anak yang berada di situ kuperhatikan satu-persatu, dan mereka sama sekali tidak ada yang bergerak. Tawa puasku menggema, aku merasa sangat bahagia melihat Sabil yang kehabisan tenaga dan hampir sepenuhnya tenggelam.

Lalu... Duaaghh! Kurasakan hamtaman kuat mengenai belakang kepalaku. Kulihat Raka menghantamkan sebuah balok ke arah belakangku dan kemudian kesadaranku kembali meredup.


--


Kukerjapkan mataku. Pusing yang teramat terus menekan syaraf otakku. Aku mencoba bangun dan ternyata kepalaku sudah terbalut oleh perban putih. Aroma alkohol menyelimuti indra penciumanku. Aku berada di ruang klub PMR kampus.

"Ka-kamu udah nggak papa?" Yana, mahasiswa tingkat tiga Fakultas Ekonomi menyapaku dengan ragu. Tanpa menjawabnya aku mencoba bangkit dan mencoba untuk berdiri. Namun, sakit di kepalaku membuatku tidak bisa berdiri sendiri. Yana dengan sigap membantuku. Namun aku menepisnya.

"Sabil di mana?"
sambil memegangi kepalaku yang diperban dengan rapi.
"Di-dia juga baru saja sadar, dan akan dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya memburuk..."

Aku mencoba berdiri dan mencari Sabil segera mungkin. Aku tidak paham dari mana kekuatan ini datang kembali. Tadi bahkan untuk bergerak saja kepalaku sangat sakit. Tapi setelah berjalan cepat beberapa langkah aku dapat berlari dengan kencang.

Melihat di ujung sana, Sabil sedang dipapah ke tepi jalan raya. Sepertinya mereka sedang menunggu taksi. Raka meninggalkan Sabil kepada temannya sebentar, sedang dia membeli sebotol air kepada penjual minuman. Dengan sigap, saat Sabil sedang tidak berada pada pegangan apapun, aku berlari ke arahnya dan mendorongnya sekuat tenaga ke tengah jalan.

Sabil terjatuh ditengah jalan, setelah itu terdengar suara klakson memekakkan telinga, disusul suara benturan yang sangat keras dan teriakan orang-orang sekitar.

"SABILAA!"

Lalu setelah itu tawa puas datang dari lubuk hatiku paling dalam. Namun, tanpa kusadari, ada sesuatu yang hangat meleleh di pipiku. Setelah itu tawaku bercampur dengan tangis. Tangis yang sangat memilukan. Aku menangis sampai kehabisan tenaga, tangisku benar-benar menguras habis kekuatanku.


--

--


Lalu ketika aku mengerjapkan mata berkali-kali. Aku berada di kebun belakang GOR yang sepi dan gelap. Matahari sudah tidak lagi terlihat. Hari semakin malam, dan tubuhku terasa sangat lelah. Kuusap wajahku yang basah karena air mata. Kepalaku masih terasa sakit, namun tidak ada lagi perban di sana.

Terdiam sejenak. Aku menyadari semua ini hanya mimpi.

Mimpi yang sangat menakutkan... Kembali aku teringat ketika tanganku mendorong tubuh lemah Sabil ke tengah jalan.

Kupandang kedua tanganku yang gemetar hebat. Di mimpi itu aku telah membunuh Sabil.

Tapi betapa leganya ketika sadar semua itu hanya mimpi, tubuhku lemas sampai tidak bisa bergerak sama sekali.

Setelah setengah jam aku menenangkan diriku. Aku bangkit dari kebun itu, yang semakin gelap dan hawanya semakin menyeramkan. Buru-buru aku keluar dari kebun belakang itu, menuju kampus dan mengambil beberapa barangku yang masih di sana.

Suasana kampus di malam hari begitu mencekam. Kulihat jam di ruang panitia menunjuk pukul 19.00 malam. Namun, tidak seperti biasanya, suasana kampus ini terlalu sepi. Biasanya malah ada kegiatan ospek sampai jam 21.00 malam.

Aku berjalan sendiri dalam koridor kampus dan hampir teriak ketika ada suara langkah kaki terdengar.

"Nurani?" Raka terkejut melihatku, begitu pun aku ketika membuka mata saat melihatnya.

"Raka?"

"Kamu di sini?"

"Mm... iya, baru mau pulang, habis ambil tas tadi."

"Oh, begitu..." Raka dan aku kembali beriringan. "Aku pikir kamu di rumah sakit."

Langkahku terhenti. Menatap Raka heran, "Rumah sakit? Kenapa?"

"Lho? Kamu nggak tau?"

"Nggak tau apa?"

"Eh, kamu beneran nggak tahu ya?" Raka menimbang-nimbang sejenak sampai akhirnya dia bersuara kembali. "Sabil ada di rumah sakit. Ada yang bilang dia tertabrak mobil.... Jelasnya gimana sih aku nggak tahu...." Raka masih terus bercerita, namun pikiranku sudah tidak ada di sana.

Dadaku seperti dihantam sesuatu yang amat keras, dan tanganku bergetar hebat.

FIN~

4 comments:

  1. Hai Zu~ Comment time~ Hihihi....

    Komen pertama dan yang paling utama: Kau tuh seriiiiing banget bikin cerita tentang cewek biasa-biasa aja yang 'nggak keliatan' karena bersanding (baik dalam arti positif maupun negatif) dengan cewek/cowok populer. Plis, Zu. Jangan sering-sering dong.


    Tentang penulisan....
    What's wrong with you and commas? Kok jadi kebanyakan pake tanda koma gitu?
    1. "Kebanyakan dari mereka, tidak bisa mengatur volume suaranya agar tidak sampai terdengar oleh telingaku." Mending jangan pake koma.

    2. "Salah satu dari sekian hal yang dibenci Sabil adalah, yang berhubungan dengan air, lebih tepatnya yang berhubungan dengan renang." Harusnya komanya satu aja setelah air.

    3. "Sabil, tidak bisa berenang, dia memiliki kejadian buruk di masa kecil yang sampai sekarang terus membekas." Ini juga setelah Sabil mestinya nggak pake koma.

    4. "Kaki kami melangkah ke arah GOR, meski ragu Sabil lebih memilih untuk menjaga image sebagai kakak ospek teladan yang cantik dan baik hati." Mestinya pake titik, bukan koma.

    5. "Bisa nggak, lo ambilin kursi, Ra..." Setelah 'nggak' nggak usah koma. Dan akhirnya tambahin tanda tanya. Kalo mau mainin nadanya pakein narasi deh. Dia ngomongnya dengan nada gimana. Manis kah?

    6. "Raka adalah satu-satunya teman seangkatanku yang selalu peduli dan membantuku dalam berbagai hal, rasanya sakit sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya." Mendingan titik, bukan koma. Kalo mau koma, kata pertama bisa ditambah 'Karena'.

    6. "Kembali aku menyentuh kepalaku yang baru saja di tepuk oleh Raka, entah kenapa rasanya suatu aliran aneh mengalir di sana, lalu menggelitik perutku dan membuatku tanpa sadar tersenyum simpul." Koma yang pertamanya mending titik.

    7. "Aku tidak menyalahkan Sabil, aku tahu bagaimana rasanya cemburu ketika melihat seseorang yang kita sukai bersama dengan orang lain." Harusnya titik.

    Sisanya cari sendiri ya. Wahahaha.... Itu tadi tentang koma.

    Bagian yang aneh:

    1. Bagian "Aku hanya menundukkan kepala sambil perlahan keluar ke arah GOR." ke "Aku berencana mencari Sabil dan meminta maaf kepadanya." kayak ada 'panel yang hilang' (kalo baca komik). Jadi dia jalan ke luar tapi mau cari Sabil? Berarti cari Sabil di luar? Padahal Sabil masih di dalem kan? Mungkin maksudmu mau bilang si Nura keluar, tapi tiba-tiba sadar apa yang bikin Sabil marah jadi dia mau minta maaf? Mestinya tulisnya aja apakah tadinya dia mau berbalik buat cari Sabil tapi nggak jadi, ataukah dia mutusin buat minta maaf tapi sekarang mau menenangkan diri di luar dulu, atau kenapa gitu....

    2. "Beberapa anak teriak histeris karena melihat mereka seperti sedang bermesraan. Raka berteriak memperingati mereka dan membawa Sabil menepi dekat dinding gedung." Sebetulnya kalau 'histeris', yang kebayang duluan tuh histeris takut/panik sih.... Terus 'memperingati' kesannya acara. 'memperingatkan' kek. Tapi kalo memperingatkan tuh ngasih peringatan (peringatan apa?). Mungkin lebih tepat 'menegur'?

    3. Ng... Ini Ru sendiri agak bingun sih. Tapi kalimat:
    "Entah apa yang aku lakukan, saat menyadari kakiku menuju arah Raka dan Sabil." terkesan janggal
    Mungkin lebih enak kalo "Entah apa yang (ingin) kulakukan, tapi saat kusadari, kakiku menuju Raka dan Sabil."?
    Ini mau Ru bahas secara logika tapi takut kau malah bingung. lol. <-gimana cara nulisnya dia juga agak bingung.

    Intinya, ceritanya oke. Cuma nggak jelas ya jadinya mimpinya sampe mana. Dan apakah si Raka beneran berpihak ke Nura atau Sabil.

    Yosh, ayo nulis yang banyak, Zu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. " Kau tuh seriiiiing banget bikin cerita tentang cewek biasa-biasa aja yang 'nggak keliatan' karena bersanding (baik dalam arti positif maupun negatif) dengan cewek/cowok populer. Plis, Zu. Jangan sering-sering dong."

      Ah, perasaan aja kali... wakakaka. Tenang aja, nggak bakal sering-sering kok. Semua ada waktunya....#tsaah

      Mbak Editor, makasih masukannya. Perbaikannya PR aja ya, nanti di akhir bulan inyong betulin yang kena coret-coretan...

      Yosh, biar coretannya berlembar-lembar saya tetap semangat buat nulis yang banyak!!

      Delete
  2. Bahahahahahaha~
    Editor beraksi kembali xD

    Tapi di luar segala kesalahan penulisan ituh, ini emang keren kok. Nggak nyangka lo akhirnya nulis thriller, LOL :p

    Semoga semangat nulisnya nggak di awal-awal doang yah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aseek daah, aaah... Dibilang keren sama yang doyan thriller. Gue sih kalo abis buat thriller juga ngerasa nggak nyangka kok bisa bikin, dan suka bertanya-ytanya "apa jangan2 gue 'sakit'?" tapi ternya semua kembali lagi pada timing, timing gue nulis itu pas banget abis mimpi dan masih seger di otak gue itu cerita... hahaha

      Siiip, semoga yaaah :P

      Delete