Sunday, May 3, 2015

[Fiction] Sensi

Demi memenuhi tantangan bareng Saa yang saya buat sendiri, akan saya persembahkan cerita fiksi dari Barisan Sakit Hati (yang ditinggal nikah duluan oleh temen-temannya)...

Cek saja~

Edited : Tantangan yang iseng ini ternyata disambut serius oleh Nana juga. Nah, baca juga karya Saa dan Nana. Silahkan dinikmati~


[Fiction : Sensi]

Pikiran Aina sejak tadi terus berpusat pada umur yang sedang dia tanggung sekarang ini. Seorang gadis muda yang terbelenggu dengan pertanyaan yang menghantuinya akhir-akhir ini.

“Kapan nikah?”

“Jangan dateng ke kondangan terus, kapan mau ngundang?”

“Calon mana calon?”

Dan pertanyaan basi lainnya.
Pernikahan Rani kemarin sudah menggenapkan jumlah pertanyaan menjadi 100. Itupun kalau Aina tidak salah hitung.

Aina terus saja menggerutu kesal kalau ingat kata-kata itu. Kadang sambil menatap pantulan dirinya di cermin Aina bertanya-tanya dalam hati.

“Memangnya udah pantas berumah tangga ya?”

“Memangnya udah cocok jadi ibu-ibu?”

“Umurku kan masih 24 tahun... Dosakah kalau masih single?”

Sebenernya pertanyaan itu hanya ingin dia lontarkan tanpa alasan, tanpa harus dapat jawaban. Aina hanya sedang dilanda semacam sindrom sensi. Yang apabila seseorang membahas kata ‘nikah’, Aina tidak segan membalikkan meja yang sedang ditempatinya itu.


“Hai Kak, udah pulang?” sapa adik Aina yang sedang menginjak masa remajanya. Yuri sedang berada di masa-masa keemasannya, mendapat predikat siswa populer di sekolahnya dan menjadi bintang sekolah di angkatannya.

“Itu siapa?” saat mau masuk tadi Aina tidak sengaja melihat seorang cowok sedang duduk di motornya sambil memangku helm-nya.

“Andri. Tadi abis nganterin pulang, terus minta minum.”

“Ck, bocah SMA.”

“Temen loh kak, bukan pacar.” Jangankan kata ‘nikah’ kata pacar atau pasangan saja sudah bikin Aina naik darah.

“TERUS KENAPA? MASALAH BUAT GUE?” tanpa sadar Aina mengembalikan dirinya ke masa-masa jahiliyahnya dulu. Sang adik tak sempat memberikan penjelasan lain, kebingungan dengan sikap kakaknya barusan. Aina masuk kamar dan menutup pintu dengan kuat-kuat.


“Hih, cowok itu pacarnya atau bukan, emang urusanku?” gerutunya lagi. Beberapa detik setelah itu, sebelum Aina mendaratkan kakinya ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri sepulang kantor, Aina melihat Hpnya bergetar sesaat.

“Whatssap? Siapa?” Nomor yang tertera tidak dikenal. Aina segera meninggalkan Hpnya setelah membaca sejenak pesan singkat yang aneh.

‘Tes...’ hanya satu kata itu, tanpa poto profil yang jelas.
Selesai mandi, kembali dia melihat Hpnya dan ternyata beberapa pesan dari orang itu kembali datang.

‘Cuma mau tanya...’
‘Nomor lo ada di kontak gue, boleh tau lo siapa?’
‘Kenalan? :) ’

“Orang gila...” gerutu Aina. Pasalnya Aina sudah melewatkan masa-masa itu. Masa-masa di mana iseng dengan nomor random. Masa ketika pertama kali punya HP dan itu... sudah lama sekali.

‘Kok diread aja?’ Tanda contreng dua berwarna biru pasti membuat orang itu mengerti pesannya telah dibaca oleh Aina.

“Gak modal.”
Akhirnya Aina tinggal Hp itu tidur dan sama sekali tidak menggubrisnya.

--

“Ai, mau coklat atau stoberi?” tanya Ibu yang siap mengoleskan selai di roti yang akan disantap anak-anaknya.

“Dua-duanya boleh, Bu”

“Kakak mah maruk ih... ntar cepet abis selainya.”

“Kenapa emangnya? Kan aku yang beli.” Aina lebih galak lagi dari Yuri.

“Bu, kakak kenapa sih dari kemaren sensi mulu...” Yuri yang tidak berani menanyakan keadaan kakaknya langsung itu, beralih bertanya ke Ibunya perihal sikap kakaknya yang seperti kucing ingin melahirkan itu.

“Oh, biasalah...” Ibu langsung mendapatkan tatapan sengit dari Aina. Melihat itu Yuri mengerti dan berhenti bertanya. Tapi bukan Yuri namanya kalau tidak bisa diam karena tidak betah dengan suasana kaku.

“Oh iya Kak.”

“Apa?”

“Kemarin kakak tau, temanku Andri? Yang di luar itu lho...”

“Kenapa?”

“Dia nanyain kakak.”

“Hah?”

“Iya, terus minta nomor kakak.”

“HAH?”

“Kan? ” Yuri berbalik arah kepada Ibunya. “Gawat nih, Bu... cowok-cowok yang awalnya naksir aku, banyak yang pindah haluan kalau ke rumah dan ngeliat kakak.” Si ibu hanya tersenyum kaku.
“Banyak yang ngira kakak masih kuliah, jadi banyak yang ngincer kakak gitu...” lanjutnya.

“Terus kamu kasih nomor aku?” Aina masih menahan amarahnya yang sudah mengebul sampai ubun-ubun.

“Ya kasihlah. Andrinya maksa aku juga.” Jadi terjawab sudah siapa yang iseng malam-malam kirim chat yang tidak jelas dan tidak modal itu. Bisa jadi bocah ingusan teman adiknya itu. Aina kembali menenangkan dirinya, menganggap semua itu adalah nyamuk yang hanya mengganggu dan membuat gatal sesaat.
“Tapi ya... Kalau dipikir-pikir, teman-temanku semua menganggap kakak tuh masih kuliah loh.”

“Kayanya aku udah cukup dewasa deh dalam bersikap.”

“Itu dia, kakak keliatan kok udah tuanya.” Lama-lama kok gigitan nyamuknya membuat kesal dan minta digaruk terus.

“Coba kalau kakak udah nikah, mungkin bakal lain lagi ceritanya...” Ceritanya memang bakal lain kalau Aina mengambil garpu dan menusukkannya ke tangan Yuri. Tapi sebelum itu ibu dengan sigap membuat Yuri yang tidak peka itu bangun dari meja makan dan menariknya untuk keluar rumah.

“Ibu, roti Yuri belum abis...”

--

“Ainaaa...” Teriakan yang satu ini pasti sudah diketahui asal-usulnya dari mana. Fika, teman seperjuangan Aina di kantor datang dengan rusuh menghampiri Aina yang baru saja menaruh tas di lokernya.

“Plis, Fik... Toamu dikecilkan.”

“Hehehe, sowrry beb... Aku lagi seneng sih. Ada kabar gembira nih buat kamu.”

“Kulit manggis ada ekstraknya?” tanya Aina polos.

“Apa siiiih... Ai, basi banget deh!”

“Abis apa dong?”

“Riko, anak divisi sebelah... titip salam buatmu.”

“Hah!?” dengus Aina kesal. “Nggak sekalian suratnya?” tanyanya menantang.

“Kok kamu tau sih, dia mau nitip surat besok.” Fika malah melongok kaget.

“Cih, kelakuan ababil.” Jawab Aina sombong. Bukan, bukan maksud Aina sombong. Tapi lagi-lagi fase itu. Fase itu harusnya sudah lewat dari kemarin-kemarin di hidupnya. Sekarang bukan lagi jamannya hanya naksir, hanya suka, hanya berakhir pada hubungan yang tidak jelas. Aina sudah lelah dengan fase itu.

“Mending kamu kasih aku pekerjaan yang jelas-jelas tenggatnya udah deket.” meskipun merasa tidak senang karena berita yang dia anggap heboh ini disia-siakan, Fika menuruti kata-kata Aina dan memberikan setumpuk pekerjaan yang masih tertunda dari minggu kemarin.

Baru setengah jam Aina asik dengan pekerjaannya. Boss memanggilnya dan menyuruh Aina mengirimkan beberapa dokumen ke perusahaan klien.

“Jalan dulu ya, Fik...”

“Ati-ati, Ai...”

Di lobi, saat Aina sedang menunggu lift turun, ada seseorang yang mendekatinya. Dia Riko.

“Hai...” Tanpa memandang Aina dan ikut serius memandang pintu lift, Riko menyapa. Aina yang tidak merasa disapa, langsung melengos masuk ke dalam lift. Riko yang bingung mengikuti Aina masuk ke dalam lift.

Canggung. Hanya berdua saja dengan Aina. Riko panik. Aina memencet tombol lift dengan santai.

Pikirnya ingin menyapa Aina langsung, tapi rasanya timing-nya kurang tepat. Riko menyiapkan kertas yang tadi dia tuliskan nomor teleponnya dan pesan singkat ‘call me, maybe?’

Lalu dengan ragu dia tempelkan di pintu lift, tepat di depan Aina.
Pintu lift terbuka. Aina melengos pergi tanpa menghiraukan kertas itu. Riko pundung.

“Alay...” bisik Aina lirih sambil berjalan.

--

Terik matahari menggigit kulit, tepat saat raja siang menyibakan jubahnya ke seluruh negeri, adzan dzuhur berkumandang.

“Enak banget kamu, pulang-pulang langsung isoma...” Rajuk Fika.

“Berkat macetnya Jakarta...” Aina tersenyum sinis.

“Makan dulu, Ai?”

“Solat dulu-lah, biar segeran dikit.”

“Aku lagi nggak, kalo gitu aku duluan ya? Laper banget nih...” Fika memelas.

“Yaudah, sana...”

Aina memutuskan untuk berjalan sedikit ke arah mesjid umum yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana. Merasa akhir-akhir ini emosinya terlalu tidak stabil, Aina memutuskan untuk lebih khusyuk bersimpuh dan mengadu pada Penciptanya.

Baru selesai membuka heels nya, dan ketika beranjak dari tempat duduknya ponsel Aina tiba-tiba berdering mengaggetkan. Hanya tiga dering, lalu berhenti.
Penasaran, Aina mengecek siapa yang misscall.

Lagi-lagi, nomor tidak dikenal. Lalu sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.

‘Lagi ngapain? Udah makan?’

Seketika Aina ingin mencampurkan adik kesayangannya itu ke dalam adonan bakso. Pasalnya tidak bisa dihitung lagi, berapa kali adiknya telah memperjual-belikan nomor Aina kepada teman-teman sekolahnya yang tertarik padanya.

“Astagfirluloh...” Aina menghembuskan nafas pelan dan berat. “Punya adik pinter banget...” lanjutnya bergumam. Dilihatnya lagi pesan itu, lalu dia bergidik.

“Subhanallah... apa emang cowok zaman sekarang begini semua? Gak to the point

“Gak semua, Mba...” tanpa diduga, cowok di sebrang yang cukup jauh darinya berkomentar.

“Eh? Denger, Mas?”

“Kedengeran, Mba...” katanya langsung diikuti senyum simpulnya.

“Maaf ya kalau tersinggung. Tapi sebagian besar cowok yang saya temuin begitu semua.” Aina melirik sebentar ke arah orang itu, tapi orang itu hanya menatap menunggu Aina melanjutkan penjelaskannya. “Maksud saya, udahlah... nggak bisa apa ‘tembak’ cewek langsung? Kalau bisa nikah langsung, nggak bisa apa? Atau nggak berani?”

“Nikah yuk, Mbak?” senyum di bibirnya masih ada di sana. Tidak kata-kata dusta setelah itu, dan keduanya masih terdiam.

“Jadi?” tagih orang itu yang tiba-tiba sudah berada di depannya.

“Hah?” Aina kehilangan 50 persen keceradasannya setelah kalimat sakral tadi. “Ja-jangan bercanda, Mas...” katanya tertunduk malu.

“Saya serius. Hari ini ba’da ashar saya kirimin CV saya.” Melihat Aina salah tingkah, akhirnya lelaki itu menambahkan. “Kalau mba bersedia, saya tunggu ba’da Ashar di sini...” baru beberapa langkah setelah mengucap salam, dia berhenti dan berbalik, “Jangan lupa sholatnya, Mba.” Lalu pergi setelah kembali mengucap salam seraya tersenyum dengan penuh percaya diri.


Dan ketika keinginanmu datang saat itu juga, apa kamu siap?


Perkataan seorang teman menggema begitu saja di kepala Aina.


FIN

----

Sungguh fiksi yang aneh. 


Yang penting selese deh :D

14 comments:

  1. Wakakakakak. Siapa tuh Mas-masnya?

    Hihihi... Oke Zu fic-nya. Ru ga sempet
    merhatiin tanda bacanya sih, tapi oke kayaknya.

    Anyway, emang 'biduan' apaan Zu? Hayooo

    ReplyDelete
    Replies
    1. *cek KBBI*

      Oh, oke... salah u, biduan itu penyanyi... *catet*

      Serius ini ngga ada 'cacat tulisan' yang fatal? Yeaaaahhh....

      Mas-masnya? Saya juga ngga tau, itu hanya imajinasi aja... Kurang tau tuh beneran terjadi ngga di dunia nyata... Wakakaka

      Delete
  2. Wow Mbak Zu...
    Endingnya itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Talli, kenapa? Wakakaka
      Gantung ya... *lalukemudiannyanyiGantung-nyaMellygoeslaw*

      Delete
  3. guw juga belom nikah kok zu..hahahhaa #pukpuk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makanya nikah, Jah, bia gak sensi... wakakaka *ngaca*

      Delete
  4. Kajuuuuu~ Endingnya bikin merindiiiiing~ XDD Hahahhah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenapa emangnya Re? Berasa digituin ya...
      Jawab apa Re, kalo ada yang langsung 'tembak' gitu? Wahahaha *survey*

      Delete
  5. Ini bagus loh. Endingnya terutama. Gue kebawa sama ceritanya, hahahaha. Dan emang di masa-masa sekarang beneran males deh ngeladenin cowok-lagi-ngapain :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang kebawa gitu biasanya pernah mengalami, Na. Wakakaka
      Emang ya kalau dibuat yang setengah pengalaman pribadi dan pake mood sendiri lebih berasa. xDD

      Delete
  6. Zuu, endingnya koq kereeen! Gw ngebayangin itu di Summitmas, jaman2 kerja di JF. Adawww, sweet bangettt. Lanjutin dah bikin kumcer brg Saa dan Nana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak yang bilang endingnya bagus dan keren ya, padahal dibalik itu semua, itu ending sengaja digantung karena penulisnya stak, Miii... Wakakaka
      Wah, dapet support... jadi tertarik buat bikin kumcer beneran xD

      Delete
  7. Zuu,, lanjutin donk...
    Itu ngena bangett...

    ReplyDelete
  8. Mantabbhhh.. ka Zu,
    Kalimat yang dicetak miring terakhir itu...

    ReplyDelete